Share

Suamiku Bukan Tukang Sol Sepatu Biasa
Suamiku Bukan Tukang Sol Sepatu Biasa
Author: Zila Aicha

1. Perawan Tua

"Gaji kamu nggak seberapa, umur juga udah 25. Mendingan kamu cepet nikah sebelum jadi perawan tua, Na."

Wanita berambut panjang keriting bernama Herni itu pun mendesah penuh kesal sembari melirik ke arah putrinya, Kirana yang hendak berangkat bekerja.

"Ibu udah bosen denger orang-orang nyebut kamu 'perawan tua'. Lagian, kalau kamu nikah, tuh suamimu bisa bantu kasih Ibu tambahan uang," lanjut Herni dengan begitu entengnya.

Kirana hanya terdiam, tanpa berniat membalas perkataan sang ibu. Dia justru ingin lanjut pergi saja, tapi kemudian suara sang ayah terdengar.

"Kalau kamu enggak bisa cari suami, biar Bapak yang carikan. Kamu tinggal terima beres aja," ucap Parlan yang sedang meniup kopi panasnya tanpa repot-repot menoleh pada putrinya ketika dia berbicara.

Gadis manis dengan tubuh cenderung kurus itu pun seketika membeku di tempatnya berdiri, tak bisa begerak selama beberapa detik lamanya. 

Apa ini? 

Maksudnya dia sedang dipaksa menikah? Dia akan dijodohkan? 

Begitukah?

Kirana ingin memutar badan dan segera membantah ide kedua orang tuanya itu, tapi saat ini dia sedang terburu-buru sehingga dia akhirnya memilih mengabaikan perkara itu terlebih dulu. 

Dia harus berjalan kaki kira-kira sekitar 300 meter dari rumah berukuran tidak terlalu besar itu untuk mencapai halte Bus Solo Trans. 

Dan dua puluh menit kemudian, Kirana telah sampai di minimarket yang cukup besar. 

Minimarket itu memiliki delapan karyawan dan Kirana merupakan karyawan biasa yang telah bekerja di sana selama lima tahun lamanya di sana tapi belum mendapatkan kenaikan posisi.

Pemilik minimarket itu beralasan tidak memberikan posisi yang lebih bagus pada Kirana lantaran gadis itu hanyalah seorang tamatan sekolah menengah atas. Tetapi, sesungguhnya Kirana tidak mempercayainya. 

Sebab, dia ingat dengan benar bila dulu salah satu orang yang pernah menjabat sebagai kepala minimarket hanyalah lulusan sekolah menengah atas, sama seperti dirinya.

Sayangnya, sang pemilik seolah tak ingin didebat sehingga dengan terpaksa Kirana menerima keputusan tak adil itu. 

Hal ini dikarenakan bapak dan ibunya tak bisa membiayai dia untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi dikarenakan adik-adiknya.

Hanya dirinyalah di keluarganya yang hanya lulusan sekolah menengah atas akibat mengalah.

Terkadang Kirana selalu merasa hal itu tidak adil tapi dia tak bisa berbuat apapun lagi untuk sekarang dan memilih untuk melanjutkan hidup tanpa mengeluh.  

Tak lama setelah Kirana mulai mengerjakan tugasnya, para karyawan lain pun mulai berdatangan. Beberapa di antara mereka terlihat memandang sinis ke arah Kirana yang sedang menata barang-barang di bagian perlengkapan bayi.

"Alah, Mbak Na. Nggak usah rajin-rajinlah. Orang kamu juga enggak mungkin diangkat jadi kepala toko juga," ujar Serin, gadis bermata belo dengan rambut diikat ke belakang.

Seseorang lainnya menanggapi, "Bener, mau jadi penjilat pun enggak akan dilirik kok sama bos. Biasa aja deh jadi karyawan, Mbak."

Kirana tak menanggapi ucapan dua rekan kerjanya itu dan hanya melanjutkan pekerjaannya.  

"Ah, sampai lupa. Ini aku mau kasih undangan pernikahan aku," salah seorang karyawan menyeletuk. 

"Wuih, udah laku aja ini kamu, beb. Kapan acaranya?" tanya Serin sambil tersenyum cerah.

Sang karyawan yang akan menikah itu menyerahkan undangan pada satu per satu teman kerjanya sambil menjawab, "Masih 12 hari lagi sih, tapi sekalian aja aku bagi undangannya sekarang. Soalnya bentar lagi aku mau cuti, udah bilang sama si bos."

"Wuih, keren! Masih 22 tahun kan kamu, Ve?" Serin bertanya sembari membuka undangan bersampul biru muda itu.

Vena mengangguk dengan penuh senyum, "Iya nih. Kemudaan ya buat nikah?"

Serin menggelengkan kepala cepat-cepat, "Ya enggak dong. Daripada umur 25 tapi masih belum nikah-nikah juga, dih. Jadi perawan tua ntar."

Mereka pun cekikikan sambil sesekali melirik ke ara Kirana. Sedangkan Kirana sadar dirinyalah yang sedang disindir. Sebab, di minimarket itu, hanya dia yang sudah berusia dua puluh lima tahun tapi belum juga kunjung menikah. 

Vena yang ikut menertawakan hal itu tiba-tiba menoleh ke arah Kirana, "Mbak Na. Jangan lupa datang ya ke acaraku!"

Kirana memaksa diri untuk tersenyum dan membalas, "Iya, Ve. Aku pasti datang kok."

"Jangan lupa bawa pacar ya, Mbak! Ntar nggak lucu kalau kamu sendirian di sana sementara kami datang sama suami-suami kami," ucap Serin sambil menahan senyum.

Kirana hanya mengangguk kecil sebagai balasan.

Pacar? 

Tentu saja dia tak punya. Sejak putus dengan Handi sekitar satu tahun yang lalu, dia belum sekalipun menjalin hubungan dengan pria manapun. 

Di saat jam kerjanya telah berakhir, Kirana berjalan menuju ke halte bus sembari menatap undangan pernikahan Vena dengan lesu. 

Dia pasti akan merasa canggung sendirian di sana nanti. Tapi, mencari pacar dalam waktu dua belas hari juga bukan merupakan sesuatu yang mudah. Apalagi dia sadar dirinya tidak cantik dan berpenampilan biasa-biasa saja.

"Harus bagaimana aku sekarang?" gumam gadis muda itu, bingung.

Esok paginya, semuanya masih berjalan sama seperti biasa. Kirana menjalani rutinitas paginya. Setelah dia memakai seragam minimarketnya, yakni polo T-shirt dengan warna biru tua itu dia berjalan keluar kamar. 

Namun, pagi itu terasa agak berbeda. Dilihatnya di ruang makan tidak hanya dua orang tuanya yang duduk di sana, melainkan juga ada Nadia dan Siska, dua adik kandungnya. Sedangkan dua suami adik-adiknya itu justru tak terlihat di sana.

Kirana tiba-tiba memiliki firasat buruk, tapi dia tetap duduk di kursinya yang biasa dan menatap mereka dengan pandangan heran.

"Ih, tenang aja kali, Mbak. Aku ke sini bukan untuk minta duit," kata Siska merasa sebal ditatap sang kakak.

Biasanya Siska memang sering meminta uang pada Kirana jika wanita muda itu datang ke sana.

Nadia memutar bola mata, "Aku ke sini juga bukan untuk makan pagi tapi dipanggil sama bapak ibu."

Tapi, nyatanya di depan Nadia sudah ada sepiring nasi goreng lengkap dengan lauk yang siap untuk disantap.

Namun, Kirana sedang tidak ingin mendebat dua adiknya itu sehingga memilih untuk memutar kepala, menatap ibu dan bapaknya.

Kirana mengamati Herni dan Parlan yang duduk di seberangnya dengan wajah datar sambil menyendok nasi goreng mereka.

"Ada apa sih, Pak? Bu?" Kirana bertanya dengan menatap was-was.

Parlan melirik istrinya dan Hernilah yang kemudian berbicara, "Ada duda dari desa sebelah yang naksir kamu. Dia mau nikahin kamu. Minggu depan mau melamar kamu. Siap-siap ya, Na!"

Kirana membelalakkan mata. Mulutnya pun juga terbuka. 

"Terima saja, Na. Dia duda kaya kok, punya ruko dua lantai. Anaknya dua, tapi yakin aja, kamu enggak bakal kekurangan uang," kata Parlan, terlihat mencoba meyakinkan sang putri.

"Iya, Mbak. Aku udah cari tahu juga tentang calon suami Mbak itu. Umurnya masih 45 tahun, masih tergolong muda juga. Enggak jelek-jelek amat. Rugi kalau kamu nolak, Mbak," ujar Nadia dengan senyum setengah menyemangati tapi ada tatapan mengejek yang bisa Kirana tangkap dari mata jernih adiknya itu.

Hah? 

45 tahun dikatakan masih muda? Kirana semakin tak percaya mendengar perkataan adiknya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status