Share

7. Nyolong di Mana?

Rayan tersenyum misterius, "Nanti kamu akan tahu, Kirana."

Kirana menatap suaminya dengan tanpa berkedip, berharap suaminya akan menjelaskan sesuatu. Tapi, ternyata suami yang umurnya belum dia ketahui itu malah berujar, "Ya udah, yuk siap-siap!"

"Hah?" mulut Kirana terbuka sedikit.

Rayan menunjuk ke arah depan dengan jari telunjuknya, "Itu di depan, kita udah sampai."

Kirana segera menoleh ke arah yang dimaksud oleh Kirana dan seketika. Tanpa dia sadari, mobil yang dia tumpangi itu sudah tiba di dekat jalan rumah Siti.

"Eh, kok cepet banget ya!" ucap Kirana seraya memperlihatkan ekspresi keheranan.

Rayan terkekeh pelan, "Karena kamu asyik ngobrol sama saya, makanya sampai enggak sadar."

Kirana mengerucutkan bibir, tapi dia tak membalas apapun. Kenyataannya memang mengobrol dengan suaminya memang membuatnya sampai lupa waktu.

Aneh memang. Meski baru dua kali bertemu, dia merasa cukup nyaman berbicara dengan Rayan.

Begitu mereka turun, mobil itu meninggalkan sepasang suami istri itu. 

Kirana menaikkan alis kanan, "Lho, Mas. Kamu kok nggak bayar?"

"Udah tadi," jawab Rayan sambil menyungging senyum samar.

"Eh, kapan? Aku kok enggak lihat?" Kirana menatap sang suami dengan setengah melotot.

"E-wallet, Kirana. Sekalian pas order tadi," jawab Rayan, memperjelas ucapannya.

"Oh!" ucap Kirana dengan wajah memerah semerah tomat segar.

Astaga! Dia merasa begitu malu karena lupa akan hal itu. Wanita yang memiliki kulit kuning langsat tersebut bukannya tidak tahu e-wallet atau M-banking. Dia tentu saja tahu. 

Wanita bernama lengkap Kirana Adinda itu tidak hidup di goa. Hanya saja dia sangat-sangat jarang menggunakan hal semacam itu. Terlebih lagi, gajinya dari bekerja sebagai karyawan minimarket selalu berupa uang tunai sehingga dia pun jarang menyimpan uang di bank.

Memang di minimarket itu sudah ada fasilitas pembayaran menggunakan scan QCR, tapi lagi-lagi dikarenakan Kirana tidak pernah menjadi kasir, dia pun tidak terlal akrab dengan hal itu.

Melihat wajah tersipu Kirana, Rayan menahan senyum. Dikarenakan dia tidak mau membuat istrinya lebih malu, dia pun segera berkata, "Eh, ayo, masuk! Bentar lagi udah masuk waktu ashar lho."

"Eh, i-iya, Mas."

Di depan rumah Siti, terdapat sebuah gerobak yang bertuliskan "Kue Serabi Siti". Siti memang seorang penjual kue serabi. Profesi itu sudah dia tekuni sejak baru menikah hingga kini dia beusia 55 tahun. 

Suami Siti sudah meninggal dunia dan dia tidak dikaruniai seorang anak pun. Maka dari itu, Siti sangat dekat dengan Kirana dan telah menganggapnya sebagai putrinya sendiri. 

Dua anak muda itu pun memasuki rumah Siti dan disambut dengan ceria oleh sang pemilik rumah. Siti bercerita tentang tamu yang membuatnya tidak bisa lama-lama berada saat pernikahan Kirana dan Rayan berlangsung tadi pagi.

"Tadi Bibi ada pesanan, Nduk. Maaf ya, jadinya Bibi enggak bisa lama-lama," ucap Siti terlihat menyesal.

Kirana menggeleng, "Enggak apa-apa kok, Bi. Kirana ngerti."

"Pesanan serabinya banyak banget ya tadi, Bi?" Rayan bertanya dengan antusias.

Siti mengangguk penuh semangat, "Iya. Alhamdulillah, Yan. Itu sih mahasiswa UNS sama orang tuanya. Mereka lagi jenguk ke Solo, jadi sekalian beli oleh-oleh khas Solo, begitu. Pesan 100 biji."

Kirana ikut senang dan langsung bertanya lebih lanjut.

Namun, baru sebentar mereka bertiga mengobrol, azan ashar sudah berkumandang, membuat Rayan harus izin untuk pergi ke mushola demi menunaikan ibadah salat ashar.

Setelah suaminya pergi, Kirana tak sabar untuk bertanya pada sang bibi, "Bi, Mas Rayan itu kerja jadi Tukang Sol Sepatu sudah berapa lama sih? Terus Bibi kenal dia sejak kapan?"

Siti menyipitkan mata, menatap penuh selidik ke arah keponakannya, "Memang kamu belum tanya sama suamimu, Nduk? Kok malah tanya Bibi."

Kirana menggaruk bagian belakang telinga, "Belum, Bi. Kami kan baru nikah, belum ada sehari lagi. Ya belum sempat."

"Ya udah, kalau begitu, nanti kamu tanya sama suami kamu langsung," ucap Siti dengan senyum lebar.

"Lho, Bi ...."

Wanita itu ingin bertanya lagi, tapi sayangnya saat itu Siti kedatangan seorang pelanggan yang memesan kue serabinya. Mau tak mau dia menunggu. Akan tetapi, begitu si pembeli pergi, suaminya pun datang sehingga dia tak lagi memiliki kesempatan untuk bertanya pada Siti.

Malam harinya, setelah Rayan mengerjakan ibadah salat Magrib, Kirana mengajak suaminya untuk makan malam bersama dengan Parlan dan Herni. 

"Duduk, Mas!" ucap Kirana.

Rayan pun duduk di sebelah Kirana. Kirana dengan cepat bertanya, "Mas mau makan apa? Ibu tadi masak sayur-"

"Eh, ini bukan dia ya. Ibu masak buat bapakmu aja," kata Herni sewot sambil memindahkan panci berisi sayur terong buatannya itu.

Kirana membelalakkan mata, "Astagfirullah, Bu."

"Ngapain istighfar segala?" ucap Herni tak suka.

Kirana benar-benar merasa sangat malu atas sikap orang tuanya. Wanita itu sampai tak berani menoleh ke arah suaminya.

"Enggak ada ya makan gratis di sini," tambah Herni.

Kirana mendesah pelan. Andai saja di luar tidak sedang hujan, dia pasti akan membeli lauk pauk di warung. Sayangnya tadi sejak sore, hujan tidak berhenti sehingga dia tak bisa keluar.

Namun, tanpa diduganya suaminya berbisik pelan, "Jangan dipikirin! Enggak apa-apa!"

Tapi Kirana tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Dan secara tiba-tiba dia ingat akan uang pemberian suaminya pagi tadi sehingga dia berujar, "Tunggu sebentar, Bu!"

Herni mengeryitkan dahi ketika Kirana bangkit dari kursi lalu masuk ke dalam kamarnya. Tapi, hanya dalam beberapa menit dia sudah kembali ke ruang makan dan menyodorkan sejumlah uang pada ibunya.

"Itu, Bu. Buat modal toko Ibu," kata Kirana dengan begitu percaya diri sambil melirik suaminya dengan senyuman manis. 

Rayan balas tersenyum, senang istrinya terlihat tenang.

Herni melotot kaget sampai hanya menatap uang itu saja tanpa menyentuhnya. 

Sementara Parlan yang melihat uang pecahan seratus ribuan itu langsung mengambilnya dan bertanya, "Kamu udah gajian? Tumben banget?"

Dia lalu menghitung uang itu dan semakin terkejut, "Lima juta? Bukannya gaji kamu dua juta, Na? Kamu juga biasa kasih kami satu juta lima ratus."

"Lima juta? Yang bener, Pak?" ulang Herni dengan tatapan tak percaya.

"Beneran, Bu. Nih, hitung kalau enggak percaya," balas Parlan, menyerahkan uang itu pada istrinya.

Herni dengan tidak sabar menghitungnya, lalu sontak menatap putrinya dengan alis kanan terangkat, "Ini uang dari mana? Kamu enggak nyolong di tempat kerjamu kan?"

Kirana yang tadinya tersenyum ceria kini langsung kehilangan keceriannya, "Nyolong, Bu? Astagfirullah, Bu. Enggak, Bu."

Rayan sendiri juga terlihat terkejut dengan reaksi sang ibu mertua. "Bagaimana bisa Ibu nuduh Kirana begitu?" ucap Rayan heran.

"Terus ini uang dari mana? Mana mungkin kamu punya sebanyak ini, Na?" tanya Herni pada Kirana sambil memainkan uang itu di atas meja.

Parlan menggelengkan kepala, "Kamu enggak takut dipecat, Na? Mau jadi apa kalau kamu dipecat?"

"Bapakmu benar. Mana bisa kamu andalin suamimu si Tukang Sol Sepatu ini?" ucap Herni dengan melirik menantunya dengan tidak suka.

Kirana menggigit bibirnya, "Bisa. Kirana bisa andalin Mas Rayan."

Parlan mendecih, menatap menantunya dengan tatapan meremehkan.

"Na, Na. Paling penghasilan tukang sol sepatu enggak ada seperempatnya dari gajimu," ejek Parlan.

Kirana menggeleng tegas, "Enggak, Bapak salah. Buktinya, uang yang ada di tangan ibu itu uang yang Mas Rayan kasih buat aku."

Herni yang memainkan uang itu seketika menghentikan kegiatannya. Wanita itu menoleh pada menantunya yang sedari tadi sangat jarang berbicara itu dan wanita itu tertawa mengejek.

"Jangan konyol! Mana mungkin-"

"Itu benar-benar uang dari Mas Rayan, Bu. Dan Ibu tahu kan kalau aku bukan orang yang suka bohong?" ucap Kirana meyakinkan. 

Herni menelan ludah, "Be-becanda kan kamu?"

Parlan malah menatap Rayan dengan galak.

"Heh, kamu. Jawab jujur! Nyolong di mana kamu?" desis Parlan dengan kilatan mata tajam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status