Share

2. Pilihan yang Sulit

Siska juga ikut menambahkan, "Daripada jadi perawan tua, Mbak. Terima aja, lagian belum tentu ada yang mau sama Mbak kan? Nungguin siapa lagi juga?"

Dua adiknya itu seakan begitu kompak memberi dukungan atas ide dua orang tuanya itu. Tapi, lidah Kirana masih kelu hingga dia tidak bisa langsung membantah.

"Teman-teman SD-mu itu sudah menikah semua, tinggal kamu yang belum. Masa kamu enggak malu belum nikah sendiri?" Herni menambahkan dengan nada ketus.

Kirana membasahi bibir dan akhirnya bisa berkata, "Enggak, Bu. Kirana enggak suka dijodoh-jodohin."

Nadia dan Siska sudah bersemangat ingin berbicara lagi tapi Herni menyuruh dua putrinya itu untuk diam terlebih dulu. 

"Eh, Ibu enggak suka ya kamu nolak-nolak. Mereka sudah mau ada rencana ke sini," ujar Herni mulai terdengar marah.

"Kan baru rencana, Bu. Bisa dibatalkan," balas Kirana.

Parlan yang kesal dengan balasan sang putri pun berkata, "Jangan bikin Bapak malu! Udah, pokoknya kamu siap-siap saja. Minggu depan kamu lamaran sama Seno."

"Tapi, Pak. Kirana-"

"Bapak enggak mau tahu, kamu harus nikah sama duda kaya itu. Kalau kamu nolak, mendingan enggak usah tinggal di sini," ancam Parlan, terdengar serius.

Dia bahkan juga melotot ke arah putri sulungnya itu, menyiratkan bahwa kata-katanya itu benar-benar tidak main-main.

Kirana mencengkeram sisi meja. "Ba-bapak ngusir Kirana? Kok Bapak tega. Memang salah kalau Kirana nolak, Pak?" 

Parlan yang memang hatinya sudah keras berkata, "Kenapa tidak tega? Kamu saja tega sama Bapak dan ibumu."

"Apa salahnya sih menikah sama duda, Na? Kalau dia bisa menjamin hidup kamu, kenapa ditolak?" ucap Herni, masih dengan nada ketus.

Melihat kedua orang tuanya semakin bersikeras memaksa, Kirana tetap masih yakin dengan keputusannya, "Maaf, Pak, Bu. Kirana tetap enggak bisa."

Nadia menatap kakaknya dengan tatapan tidak suka, "Ya elah, Mbak. Kok keras kepala banget. Mbak itu sadar diri kenapa. Jangan jadi beban keluarga dong. Udah jadi perawan tua, masa mau pilih-pilih jodoh."

Wanita yang sedang hamil itu menggeleng sebal, sementara Siska juga menanggapi, "Belum tentu ada yang lebih baik, Mbak. Udah, terima aja. Kapan lagi dapat suami kaya?"

Siska lalu melirik Kirana dan mengernyit, "Mbak itu enggak cantik, enggak punya background pendidikan bagus, terus pekerjaan juga cuman jadi karyawan minimarket. Udah ada yang naksir, harusnya udah bersyukur dong , Mbak."

"Tuh, dengerin adik-adikmu." Herni berkata dengan ekspresi masih kesal.

Wanita berwajah kotak itu melanjutkan, "Kamu enggak seperti adikmu yang cantik-cantik, menarik dan punya pendidikan bagus jadi bebas milih jodoh. Kamu itu harus ngerti kalau kamu enggak punya pilihan, Na."

Kirana jadi tak ingin makan pagi. Sungguh perutnya yang semula kosong dan minta diisi itu pun mendadak menjadi penuh.

"Kalau enggak punya kelebihan itu ya jangan sok pilih-pilih deh, Mbak," tambah Nadia tanpa perasaan.

Sudah cukup.

Kirana tidak tahan lagi. Semua kata-kata yang keluar dari mulut keluarganya sungguh sudah mengiris hatinya.

Air matanya hampir saja terjatuh tapi dia mati-matian berusaha menahannya agar tidak tumpah di sana.

"Kirana memang tidak secantik Siska atau Nadia, Bu. Kirana juga enggak punya pendidikan yang tinggi atau pekerjaan bagus, tapi meskipun begitu Kirana ingin milih pria yang jadi suami Kirana sendiri, bukan karena dijodohkan."

Parlan langsung murka, "Anak bodoh! Masih juga sombong. Udah ada yang mau melamar saja itu udah bagus, eh sok-sokan menolak. Kamu ini enggak tahu kalau Seno itu banyak yang mau?"

Kirana menoleh ke arah bapaknya, masih dengan menahan air mata agar tidak terjatuh.

"Iya, kamu enggak salah dengar. Banyak yang ngantri jadi istrinya Seno, tapi dia milih kamu. Harusnya kamu merasa beruntung karena kamu dipilih," kata Parlan dengan berapi-api.

Kirana menggelengkan kepala.

"Maaf, Pak. Kirana tetap enggak bisa," tegas Kirana.

Usai mengatakannya, gadis itu berlari ke luar rumah dan baru berhenti ketika dia sampai di halte. Dan saat itulah dia tak lagi menahan air matanya. 

Dia bersandar pada tiang halte dan biarkannya air matanya itu jatuh dengan begitu deras. Kala itu sedang sepi, kebetulan dia memang datang terlalu awal untuk bus yang seharusnya baru sampai di halte lima belas menit ke depan.

"Kenapa mereka tega? Apa aku enggak berhak menentukan semuanya sendiri?" gumam gadis itu di sela-sela tangisnya.

Kadang kala, Kirana sangat heran. Perlakuan kedua orang tuanya pada dirinya dan dua adiknya sangatlah jauh berbeda. Dia sampai pernah curiga jikalau mungkin dia bukan anak kandung mereka. 

Tapi, dia tak pernah menemukan sebuah bukti yang menyatakan kebenaran dari kecurigaannya itu sehingga dia hanya mencoba menerima nasib dan mengalah terus-menerus. 

"Tenang, Kirana. Enggak boleh sedih, nanti pasti ada jalan keluar," ucap gadis itu, mencoba meyakinkan dirinya.

Setelah merasa lebih baik, dia menghapus air matanya dan menunggu kedatangan busnya.

Ketika sore tiba, Kirana merasa tak sanggup untuk pulang ke rumah. Dia pun memilih untuk berjalan tanpa arah demi menjernihkan pikirannya yang sedang kusut.

Namun, saat dia melihat hari semakin gelap, dia memutuskan untuk pulang ke rumah karena sudah tak punya pilihan.

Kirana pun terbelalak kaget ketika melihat banyak orang di dalam rumahnya. Kaca rumah milik orang tuanya memang sedikit agak gelap, tapi di malam hari semua di rumah itu justru bisa terlihat dari luar akibat cahaya lampu.

"Loh, enggak mungkin sekarang kan lamarannya?" ujar Kirana langsung panik.

Dia pun berhenti melangkah, seolah tak ingin masuk ke dalam rumah.

Tapi sayangnya dia terlambat karena secara bersamaan, sang ayah, Parlan memergokinya, "Kirana."

Kirana tidak jadi berbalik, "I-iya, Pak."

"Ayo cepat masuk!" perintah Parlan.

Kirana menelan ludah, "Pak. Kirana kan udah bilang kalau Kirana-"

"Masuk!" potong Parlan cepat dengan mata melotot tidak ingin dibantah.

Kirana menggigit bibir, merasa tak berdaya. Dengan ekspresi bercampur aduk, gadis yang terlihat lelah itu pun akhirnya masuk.

Begitu dia melihat seorang pria duduk di bagian kanan itu, dia agak terkejut.

Bukankah yang dijodohkan dengannya adalah duda dengan dua anak yang berusia 45 tahun? Tapi, dilihatnya pria itu terlihat sangat muda. Malahan, tampak seperti seusia dengannya atau malah lebih muda darinya.

Lelaki itu duduk di samping Siti, bibinya yang merupakan adik ayahnya. Dikarenakan memiliki hubungan yang baik dengan Siti, Kirana langsung mendekati sang bibi dan menyapa dengan ramah, "Bi Siti."

Dia mencium tangan bibinya yang kemudian dibalas dengan usapan di kepalanya dengan sayang.

Siti tersenyum lembut, "Masih capek ya, Nduk? Maaf, Bibi dadakan ke sini."

Kirana yang masih tak mengerti hanya mengangguk tanpa berani melirik ataupun bertanya pada sang bibi mengenai laki-laki muda yang duduk di samping bibinya.

"Mbakyu, langsung saja," kata Parlan, tidak sabar.

"Iya, Mbak. Buruan, ini aku mau ada arisan, Mbak," ujar Herni.

Siti pun mengangguk, "Gini lho, Nduk. Bibi ke sini karena dengar kamu mau dijodohkan sama duda desa sebelah."

Kirana langsung tertarik dan menghadap bibinya dengan penuh perhatian, senang karena dia yakin bibinya yang baik hati itu pasti akan membela dirinya.

"Bibi tahu tabiat Seno itu enggak baik. Bibi enggak mau kamu menikah sama orang yang suka main perempuan," jelas Siti sembari melirik Parlan dengan tatapan tidak suka.

Kirana tersentak, sontak menatap ke arah orang tuanya dengan ekspresi kaget.

Bagaimana bisa dia dijodohkan dengan orang semacam itu? Kenapa orang tuanya begitu tega kepadanya?

Tapi, ternyata Parlan dan Herni tidak menunjukkan ekspresi bersalah sedikit pun. Mereka malah terkesan santai dan cuek.

Siti melanjutkan, "Jadi, Bibi pikir lebih baik kamu menikah sama Rayan."

Kirana akhirnya memberanikan diri untuk melirik ke arah Rayan yang masih diam tak bersuara. Dia ingin bertanya tapi suara ayahnya sudah terdengar kembali.

"Kamu kerja apa memangnya?" Parlan bertanya dengan nada tak ramah pada Rayan.

"Saya tukang sol sepatu, Pak," jawab Rayan.

Kirana melongo. 

Gadis itu sontak merasa sedang dipermainkan oleh keadaan.

Tukang sol sepatu? ulang Kirana dalam hati.

Mana yang lebih baik? Dilamar oleh seorang duda kaya dengan dua anak tapi usianya terpaut jauh darinya atau seorang tukang sol sepatu yang miskin?

Mengapa yang melamarnya bukan seorang pemuda yang masih single tapi kaya? 

Dua orang adiknya, Nadia dan Siska yang duduk di bagian paling belakang itu langsung tertawa mengejek.

Tapi anehnya, Parlan, sang bapak malah hanya berkata, "Oh, ya sudah. Keputusan ada di tangan kamu, Na. Mau terima si tukang sol sepatu ini atau Seno?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status