Share

6. Enggak Ibu Pinjamin!

Kirana terhenyak saat mendengar ucapan tidak mengenakan ibu dan bapaknya.

"Ya Allah, Pak, Bu. Kok bilang gitu? Mas Rayan udah beliin ini mahal-mahal loh, Bu. Belinya di-"

"Mahal? Memang beliin apa sih? Bakmi? Nasi goreng? Ayam kentucky di depan minimarket?" sela Herni dengan tatapan malas.

Sebelum Kirana bisa menjawabnya, Parlan yang sedang merokok itu berkata, "Mahal apanya? Paling juga dua belas ribu kalau itu. Oalah, Na. Makanan pinggiran enggak jelas kok dikasih ke bapak ibumu."

"Bukan makanan pinggiran. Ini belinya di ...."

Gadis itu tak jadi melanjutkan perkataannya, lengannya disentuh lagi oleh Rayan. Suaminya yang tampan itu menggelengkan kepala seakan meminta Kirana untuk tidak mengatakan apapun.

Rayan pun mengambil alih, "Ya udah, kalau memang Bapak sama Ibu tidak ingin memakannya, biar saya antar makanan ini ke rumah Bi Siti saja."

Herni membalas dengan cuek, "Oh, bagus. Kami juga enggak bisa makan makanan yang enggak jelas kaya gitu."

"Ya, ya. Siti sering kekurangan makanan. Lempar ke sana saja!" tambah Parlan dengan nada mengejek.

Kirana semakin heran dengan sikap kedua orang tuanya yang semakin keterlaluan. Ingin sekali dia membalas perkataan bapak ibunya itu, tapi suaminya lagi-lagi terlihat menggelengkan kepala.

"Ya udah, Pak, Bu. Kami pamit sebentar ke rumah Bi Siti ya," pamit Rayan masih dengan nada sopan.

"Hm," sahut Parlan singkat tanpa menoleh pada dua orang itu.

Sedangkan Kirana tiba-tiba berkata, "Mas, kita pakai motor aja ya?"

Belum sempat Rayan menjawab, Herni yang mendengar perkataan putrinya itu sudah berkata dengan nada sinis, "Motor Ibu maksud kamu?"

"Enggak, enggak Ibu pinjamin," lanjut Herni sambil mengiris bawang putih.

Kirana berujar, "Kenapa enggak boleh, Bu? Kami cuman pinjam sebentar kok. Rumah Bi Siti kan lumayan jauh, Bu. Lama nanti kalau jalan kaki."

"Lho, itu bukan urusan Ibu. Lagian, sebelumnya dia juga jalan kaki ke sini. Terus kenapa sekarang mau pinjem motor?" kata Herni sembari menaikkan alis tebalnya yang digambar dengan pensil alis.

"Enggak ada pinjem-pinjem motor segala, ntar kebablasan tiap saat pinjem. Enggak ada, enggak ada," tambah Herni ketus.

Kirana menghela napas dan menoleh ke arah suaminya dengan tatapan penuh rasa bersalah, "Mas."

"Enggak apa-apa, yuk jalan aja!" ajak Rayan dengan tatapan lembut.

"Yakin, Mas? Ini panas banget lho, Mas." Wanita itu melihat sinar matahari yang cukup terik di jam dua siang.

Rayan tersenyum kecil, "Lho, saya kan udah biasa cuaca begini. Ingat, Kirana. Saya kan tukang sepatu keliling, saya malah takut kalau kamu yang enggak tahan panas."

Kirana segera menggelengkan kepala, "Aku enggak masalah kok. Sering juga keluar minimarket di siang terik gitu."

"Oh, iya udah kalau gitu ayo jalan!" ajak Rayan yang siap menggandeng tangan istrinya lagi.

Kirana mengangguk tanpa berpikir panjang dan menautkan tangannya pada tangan Rayan.

Sedangkan Parlan yang melihat sepasang suami istri itu mulai berjalan pun berkomentar, "Nah, bagus tuh jalan kaki. Lebih sehat, daripada buang-buang bensin. Bensin mahal, belum tentu juga kalian mau ganti bensin motornya."

Kirana terlihat sekali ingin membalas, tapi suaminya menahan lengan gadis itu dan berkata dengan nada yang sangat pelan, "Jalan aja, Kirana!"

Dengan sedikit kesal, Kirana pun akhirnya menuruti sang suami dan berjalan berdua menjauh dari rumah kedua orang tuanya.

Setelah berjalan agak jauh, Kirana yang kebingungan dengan semua sikap suaminya itu pun bertanya dengan ekspresi tidak sabar, "Kenapa Mas enggak biarin aku buat jelasin soal restoran tadi? Terus soal motor dan bensin tadi. Ya Allah, Mas. Kita kan bisa ganti bensinnya. Kenapa Mas kayanya enggak mau aku balas perkataan mereka, Mas?"

Wanita itu menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir. Tapi, Rayan tidak langsung menjawabnya dan malah mengetik sesuatu di ponselnya.

"Mas, kok enggak dijawab? Kok malah sibuk sama ponsel sih?" tanya Kirana dengan menahan kesal saat melirik ponsel suaminya.

Rayan mengangkat wajahnya dan malah tersenyum lagi, "Maaf, ini Mas lagi hubungin taksi online."

Mulut Kirana setengah terbuka, "Hah? Taksi online? Buat apa?"

"Buat antar kita ke rumah Bi Sitilah," jawab Rayan dengan santainya. 

Kirana berkedip-kedip, agak kaget. Tapi, sebelum dia bertanya lebih lanjut, sebuah mobil hitam plat AD melaju pelan ke arah mereka.

"Itu dia taksi online-nya!" seru Rayan.

Kirana tentu semakin terkejut. "Lho, kok cepet banget, Mas?"

Perasaan baru saja beberapa detik, enggak ada semenit kayanya. Kok bisa udah datang sih taksinya? pikir Kirana heran.

"Ya karena kebetulan dia lagi di sekitar sini saja, Kirana," sahut Rayan.

"Oh, benar juga!" balas Kirana yang tak lagi heran.

Rayan membukakan pintu mobil itu untuk Kirana. Aroma harum bunga pun langsung tercium di hidung mungilnya. 

Biasanya, Kirana akan mual jika mencium aroma parfum mobil, tapi kali ini anehnya dia tidak mual. Justru sebaliknya, Kirana merasa rileks setelah mencium aroma itu. 

Dia lalu melihat interior mobil itu dan terkesima.

"Kenapa?" tanya Rayan yang baru saja menutup pintu mobil itu dan duduk di samping istrinya.

Mobil pun sudah mulai melaju.

Kirana mendekatkan kepalanya pada telinga sang suami dan berbisik, "Kamu pinter pilih taksi online, Mas."

"Pinter gimana?" balas Rayan dengan nada pelan juga, agak heran.

"Aku memang enggak ngerti merk mobil sih, tapi kayanya ini mobil mahal jadinya nyaman aja di dalam sini. Bahkan, parfumnya enggak bikin aku mual, Mas," jelas Kirana dengan nada polos.

Rayan sontak tertawa kecil dan seketika Kirana langsung memasang wajah cemberut.

"Eh, maaf, Kirana. Saya enggak bermaksud ngetawain kamu."

Kirana masih terdiam, agak sebal. 

Rayan menjadi tidak enak dan berkata pelan, "Maafin suami kamu ini ya, Kirana. Sungguh, tadi saya hanya merasa kamu sangat lucu, tapi bukan berarti saya ngejek kamu."

Kirana menghela napas dan memilih untuk melupakan hal itu, "Ya sudah, aku maafin. Terus, gimana yang tadi? Kamu belum jawab pertanyaan aku, Mas."

Rayan tidak berpura-pura lupa dan akhirnya berkata, "Ada kalanya kita tidak perlu menjelaskan sesuatu yang orang pun terkadang belum tentu mempercayainya. Kita pun tidak harus membalas perbuatan yang tidak menyenangkan itu dengan bantahan juga."

Kirana malah terlihat bingung, "Lha terus, maksudnya harus dibalas dengan cara apa, Mas?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status