Kebimbangan seketika menyelimuti hati Kirana. Jelas itu adalah pilihan yang sangat sulit.
Seno meskipun seorang yang suka memainkan wanita, dia tetaplah memiliki harta yang cukup. Kehidupannya pasti akan terjamin jika dia memilih Seno.
Akan tetapi, membayangkan dia harus melihat orang itu bermain dengan wanita lain membuatnya tak mungkin sanggup menjalaninya.
Sedangkan jika dia memilih Rayan yang hanya seorang tukang sol sepatu, masalah ekonomi sudah jelas di depan mata.
"Na, dijawab sana cepat," kata Herni.
Lamunan Kirana pun buyar. Dia kembali menatap pria yang belum dia ketahui namanya itu dengan pandangan bingung. "Kenapa kamu mau menikahi aku?"
Nadia yang duduk di samping ibunya langsung angkat bicara, "Astaga, Mbak. Pakai ditanya, udah terima aja."
"Kalau kamu enggak mau sama Seno, ya enggak apa-apa kalau mau yang ini," kata Parlan, tanpa menyebut nama pemuda itu.
Sedangkan Siska yang masih berpakaian rapi itu mendecak lidah, "Enggak perlu lama mikirnya, Mbak. Yang penting nikah."
Kirana menggelengkan kepala, "Bisa enggak kita bicara sebentar, Mas?"
Sang pria dengan profesi tukang sol sepatu itu menjawab, "Bisa, Mbak."
Kirana lalu menoleh ke arah bibinya.
"Bi, Bibi bisa ikut Kirana sebentar?" pinta Kirana.
Siti mengangguk setuju.
Herni mendengus tidak sabar, "Jangan lama-lama, Ibu bentar lagi mau arisan. Buruan bikin keputusan!"
"Iya, Bu," jawab Kirana yang kemudian mengajak Rayan dan Siti untuk keluar rumah dan berjalan ke bagian dekat pagar.
Setelah dirasa keluarganya tidak bisa mendengar pembicaraannya, Kirana segera bertanya, "Mas, kamu kenapa mau menikahi aku? Bi, kenapa dia, Bi?"
Rayan berdeham kecil, menyamarkan kegugupannya. Dia pun berkata dengan hati-hati, "Bi Siti mengatakan kalau ada gadis berusia matang yang belum menikah. Dan ... karena kebetulan memang saya sedang mencari istri ya sudah saya memutuskan untuk melamar ke sini."
Kirana menatap pemuda itu mengernyit heran. "Kamu melamar orang tanpa tahu identitasnya atau bagaimana?"
"Sudah cukup informasi yang diberikan oleh Bi Siti."
Jawaban pemuda itu membuat Kirana menoleh ke arah bibinya, meminta penjelasan.
Siti pun mengangguk mengerti, "Kirana, Bibi hanya coba buat mencegah agar kamu nggak jatuh ke tangan Seno. Kalau Bibi enggak lakuin ini, kamu bisa dipaksa menikah sama Seno."
"Ya, tapi ... kenapa harus ... harus dia, Bi?" tanya Kirana dengan nada pelan.
Siti mendesah pelan, "Karena Bibi kenal Rayan dengan baik dan dia tulus mau menikahi kamu, Nduk."
Kirana mendesah, memberanikan diri menatap mata pemuda itu.
Tak ditemukannya pandangan mencurigakan sehingga dia bertanya lagi, "Kamu benar-benar serius mau melamarku?"
"Iya, Mbak," kata Rayan tanpa ragu.
Kirana mengusap hidungnya, dia ingin menolaknya tapi masih belum menemukan kata-kata yang tepat.
"Mbak ragu karena profesi saya yang cuman tukang sol sepatu ya?" tebak Rayan.
Awalnya memang begitu, tapi Kirana sudah tak memikirkan masalah profesi pemuda itu sejak menatap mata yang penuh kejujuran pemuda itu.
Sehingga cepat-cepat sang gadis dengan rambut panjangnya yang diikat itu menggelengkan kepala, "Bukan, bukan begitu. Hanya saja ...."
"Percayalah, Mbak! Saya pasti bisa bikin Mbak banyak senyum nanti," kata Rayan dengan penuh keyakinan.
Kirana mengangkat wajah, menatap Rayan yang sedang menatapnya lurus-lurus.
Belum sempat Kirana berkata-kata, suara ibunya sudah terdengar lagi, "Na, cepat!"
"Woi, Mbak. Ayolah, aku harus buru-buru pulang nih, suamiku mau pulang," teriak Nadia dari dalam rumah.
Kirana menghela napas lelah.
Rayan pun berkata lagi, "Yakinlah, saya pasti bisa bikin Mbak bahagia."
"Nikah tanpa cinta?" gumam Kirana pelan tanpa sadar.
Rayan tertawa kecil, "Cinta bisa ditumbuhkan nanti, asal kita saling membuka diri."
Kirana masih terlihat ragu, tapi Parlan sudah berdiri di depan pintu, "Kirana, apa yang sedang kamu tunggu?"
"Sudah, Na. Percaya sama Bibi, Rayan pasti pilihan yang lebih tepat buatmu," bisik Siti.
Dengan jantung berdebar, akhirnya Kirana kembali masuk ke dalam rumah bersama dengan Rayan dan Siti.
Keduanya pun duduk secara terpisah. Rayan duduk di sebelah Parlan, sementara Kirana duduk di dekat Herni. Sedang bibinya, Siti duduk di belakang.
"Jadi, keputusan kamu gimana? Terima tukang sol sepatu ini atau yang Bapak tawarkan tadi pagi?" tanya Parlan dengan melirik Rayan seolah memang tak menghargai profesi Rayan.
Nadia terenyum meremehkan, "Ya enggak apa-apa sih, Mbak. Daripada jadi perawan tua yang enggak laku-laku, mending sama tukang sol sepatu juga enggak masalah."
Anehnya Kirana terlihat kesal ketika keluarganya menghina profesi Rayan. Sedangkan pemuda itu sendiri terlihat santai saja dihina seperti itu.
"Yah, malah bengong. Terima atau enggak nih? Tinggal milih loh, tukang sol sepatu atau duda kaya?" ucap Siska.
"Na, cepat! Ibu lagi ditunggu Bu RW," desak Herni tidak sabar.
"Cepat putuskan, biar Bapak bisa ngabarin Seno kalau kamu udah ada yang melamar," kata Parlan.
Ditekan dan didesak seperti itu, Kirana semakin bingung mengambil keputusan.
Namun gadis yang mulai berkeringat itu kemudian mendengar Rayan berkata dengan nada pelan dan menenangkan, "Saya siap mendengar keputusan Mbak. Jangan khawatir, Mbak! Dengarkan saja hati kecil Mbak!"
Kirana mendongak dan menatap Rayan yang sedang tersenyum lembut ke arahnya. Seketika hatinya menghangat dan perlahan dia menjawab, "Iya, aku terima lamaran kamu."
Nadia dan Siska saling lempar pandang lalu tertawa tanpa suara.
"Baiklah, kapan akadnya?" tanya Parlan.
"Kalau bisa secepatnya saja," tambah Herni.
Tanpa ragu, Rayan berkata, "Dalam minggu ini juga saya siap, Pak."
Kirana meremas tangannya sendiri, gugup tapi dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri jika dia sudah memutuskan memilih Rayan sehingga dia harus siap dengan rencana apapun.
"Lusa, bagaimana? Enggak perlu besar-besaran, akad aja udah cukup," ucap Parlan.
Hati Kirana mencelos.
Secepat itu dia akan menikah?
"Baik, Pak, saya siap." Rayan menjawab dengan yakin.
Dua hari berikutnya, pernikahan Rayan dan Kirana pun akhirnya digelar.
Pernikahan itu berlangsung dengan dihadiri beberapa orang anggota keluarga inti mereka saja. Di pihak Rayan, Pak RT tempat dia tinggal di kampung Siti menjadi saksi baginya.
Kirana pun tidak didandani layaknya pengantin kebanyakan. Dia hanya mengenakan gamis putih yang dia beli saat lebaran tahun lalu serta merias wajahnya dengan sapuan make up tipis.
Namun, Rayan terlihat terpukau saat melihat penampilan sederhana Kirana. Bahkan, pemuda itu berkomentar, "Kamu cantik, Mbak."
Kirana terdiam, tanpa tahu bagaimana dia harus membalas. Sebab, Rayan adalah pria pertama yang memberinya pujian seperti itu.
"Pak penghulu, tolong dipercepat!" desak Herni sambil mengipasi diri dengan kipas hias.
Sang penghulu pun meminta Parlan menjabat tangan Rayan. Kirana meremas tangan dan tiba-tiba saja sayup-sayup terdengar kata "Sah" dari beberapa orang.
Astaga, Kirana meneteskan air mata. Tidak pernah dia sangka bila dia akan melangsungkan pernikahan dadakan seperti itu. Namun, dia tak mau berlarut-larut memikirkan hal yang telah terjadi dan segera mencium tangan suaminya, "Mas."
Rayan tersenyum lembut pada wanita yang telah sah menjadi istrinya. Siti memberi ucapan selamat dan langsung pergi karena ada tamu dari luar kota sehingga di rumah itu tinggalah keluarga inti Kirana saja.
"Ciee ... ciee, udah resmi jadi istrinya si tukang sol sepatu nih!" ejek Nadia secara terang-terangan.
"Udah enggak jadi perawan tua lagi ya Mbak," sahut Siska dengan senyum menyebalkan.
"Mbak, kalau sepatuku rusak bisa dong ya dibenerin sama suami Mbak ini," ujar Rio, suami Nadia dengan nada merendahkan.
Kirana hampir saja akan membuka mulut, tapi lengannya tiba-tiba dipegang oleh Rayan, "Kita masuk kamar dulu aja yuk! Saya mau ngomong sesuatu sama kamu."
Parlan dan Herni terlihat cuek saja, sementara Bagas, suami Siska berkata, "Eh, mau ke mana? Kok main masuk kamar aja? Ini diberesin dulu."
Kirana mengedipkan mata, "Beresin apa?"
"Ya ini tikar, semuanya," jawab Parlan dengan nada ketus sambil berdiri.
"Mentang-mentang pengantin, mau jadi pemalas ya kalian?" kata Herni.
"Tapi, Bu. Kami kan-" "Bereskan!" potong Herni sambil menunjuk ke arah lantai sementara dia duduk di kursi sofa bersama dengan suami dan dua putrinya yang lain serta dua menantunya. Kirana mengepalkan tangan karena kesal. Dengan terpaksa dia membungkukkan badan untuk melipat tikar. Tapi, tanpa dia duga Rayan menahan lengannya, seolah melarangnya untuk melakukan hal itu. Herni menaikkan alis kanan, "Heh, tunggu apa lagi?" "Mas," panggil Kirana dengan nada bingung. Rayan pun berujar, "Kamu masuk ke dalam aja, biar saya yang urus." Nadia yang mendengar hal itu seketika menyeletuk, "Owh, so sweet!" Dia juga bertepuk tangan untuk Rayan tapi lalu menambahkan, "Kalau begitu jangan lupa cuci gelas-gelas kotor ini juga ya!" Dia menggunakan mata untuk memberitahu Rayan. Kirana pun berkata, "Mas, aku-" "Kamu masuk aja ya," ucap Rayan. Kirana menggeleng tapi Rayan bersikeras, "Kamu masuk aja. Percaya sama saya, biar saya yang urus." Wanita muda itu ingin sekali membantah, tapi meli
Rayan tidak tersinggung dan malah tersenyum kecil, "Iya, halal. Enggak mungkin saya kasih istri saya uang haram." Kirana terpana mendengar cara Rayan menyebut dirinya. Dengan tergagap dia membalas, "Tapi, ini dari mana? Mas, sepuluh juta lho ini. Ini sama kaya gaji aku selama lima bulan, Mas." "Ya dari kerjalah," jawab Rayan sembari menatap istrinya dalam-dalam. "Dari benerin sepatu?" ucap Kirana, masih terlihat tidak percaya. "Ya kan kamu sudah tahu saya memang tukang sol sepatu," angguk Rayan, membenarkan ucapan Kirana. Namun, Kirana masih belum dengan jawaban itu dan bertanya lagi, "Berapa lama kamu ngumpulin uang ini, Mas?" Rayan membalas, "Sudah, kamu enggak perlu pikirin itu. Yang penting kamu pakai aja ya." Kirana masih terlihat ragu dan belum yakin. Tapi saat dia teringat akan ibunya yang membutuhkan uang tambahan modal untuk toko kelontongnya di pasar yang sudah tutup selama satu minggu itu, dia segera bertanya pelan pada sang suami, "Mas, kalau gitu boleh enggak aku ka
Kirana terhenyak saat mendengar ucapan tidak mengenakan ibu dan bapaknya."Ya Allah, Pak, Bu. Kok bilang gitu? Mas Rayan udah beliin ini mahal-mahal loh, Bu. Belinya di-""Mahal? Memang beliin apa sih? Bakmi? Nasi goreng? Ayam kentucky di depan minimarket?" sela Herni dengan tatapan malas.Sebelum Kirana bisa menjawabnya, Parlan yang sedang merokok itu berkata, "Mahal apanya? Paling juga dua belas ribu kalau itu. Oalah, Na. Makanan pinggiran enggak jelas kok dikasih ke bapak ibumu.""Bukan makanan pinggiran. Ini belinya di ...."Gadis itu tak jadi melanjutkan perkataannya, lengannya disentuh lagi oleh Rayan. Suaminya yang tampan itu menggelengkan kepala seakan meminta Kirana untuk tidak mengatakan apapun.Rayan pun mengambil alih, "Ya udah, kalau memang Bapak sama Ibu tidak ingin memakannya, biar saya antar makanan ini ke rumah Bi Siti saja."Herni membalas dengan cuek, "Oh, bagus. Kami juga enggak bisa makan makanan yang enggak jelas kaya gitu.""Ya, ya. Siti sering kekurangan makana
Rayan tersenyum misterius, "Nanti kamu akan tahu, Kirana."Kirana menatap suaminya dengan tanpa berkedip, berharap suaminya akan menjelaskan sesuatu. Tapi, ternyata suami yang umurnya belum dia ketahui itu malah berujar, "Ya udah, yuk siap-siap!""Hah?" mulut Kirana terbuka sedikit.Rayan menunjuk ke arah depan dengan jari telunjuknya, "Itu di depan, kita udah sampai."Kirana segera menoleh ke arah yang dimaksud oleh Kirana dan seketika. Tanpa dia sadari, mobil yang dia tumpangi itu sudah tiba di dekat jalan rumah Siti."Eh, kok cepet banget ya!" ucap Kirana seraya memperlihatkan ekspresi keheranan.Rayan terkekeh pelan, "Karena kamu asyik ngobrol sama saya, makanya sampai enggak sadar."Kirana mengerucutkan bibir, tapi dia tak membalas apapun. Kenyataannya memang mengobrol dengan suaminya memang membuatnya sampai lupa waktu.Aneh memang. Meski baru dua kali bertemu, dia merasa cukup nyaman berbicara dengan Rayan.Begitu mereka turun, mobil itu meninggalkan sepasang suami istri itu.
"Saya tidak mencuri," kata Rayan tegas, menatap bapak mertuanya tanpa rasa takut."Terus kamu mau kami percaya kalau tukang sol sepatu seperti kamu bisa hasilin uang sebanyak ini? Memang kamu pikir kami ini tolol?" balas Parlan, masih mendelik tidak suka pada menantunya.Rayan berkata, "Semua itu bisa saja, Pak. Apa yang tidak mungkin di dunia ini?"Herni mendecak lidah tapi tidak berkomentar lagi. Hingga kemudian Kirana yang merasa jengah dengan sikap kedua orang tuanya itu pun berujar, "Gini aja deh, Pak, Bu. Kalau enggak percaya uang itu hasil kerja Mas Rayan, balikin ke Kirana aja uangnya."Wanita itu berniat mengambil kembali uang yang ada di tangan ibunya itu, tapi tiba-tiba Herni menepis tangan Kirana dengan kasar. "Enak aja, uang udah dikasih sama Ibu, mau kamu ambil lagi? Iklash nggak sih ngasihnya?" ucap Herni sembari menggenggam uang sejumlah lima juta rupiah itu dengan erat.Parlan ikut menambahkan, "Pamali ngasih orang tapi diminta lagi. Kamu lupa Bapak selalu ngajarin k
Kirana melongo, kaget adik iparnya itu berani menyuruh suaminya seperti itu. Sedangkan Bagas sendiri menambahkan, "Kan sayang punya kakak ipar bisa benerin sepatu tapi enggak dimanfaatin.""Iya, Mbak Na. Daripada kami harus cari tukang sol sepatu lain ya mending ke sini lah ya," ujar Siska yang berdiri sambil bersandar pada tiang dengan bersedekap.Rayan masih tak memberi tanggapan sehingga Bagas berkata lagi, "Tenang aja, aku bayar kok. Berapa sih ongkosnya? Sepuluh ribu? Lima belas ribu?"Bagas mengambil dompetnya dan hendak mengeluarkan uangnya, tapi Siska mencegahnya dengan cepat, "Ih, kok bayar sih? Kan sama keluarga sendiri. Masa iya ditarik bayaran?"Kirana memutar bola matanya malas. Dia bahkan berpikir bila suaminya tak mungkin sudi mengerjakan hal itu. Akan tetapi, rupanya suaminya dengan santai malah berkata, "Saya enggak bisa kalau hari ini." "Eh, Mas?" ucap Kirana kaget tak percaya, tapi dia tak bisa berkomentar lebih lanjut.Bagas mendesah kesal. Senyumnya tadi sudah
Kirana sontak menatap mata suaminya yang terlihat menatapnya dalam-dalam. Mata pertama yang menatapnya dengan begitu sangat hangat dan tulus.Astaga, bahkan mantan kekasihnya dulu saja tidak pernah menatapnya seperti itu. Handi, mantannya yang dulu berkata sangat mencintainya itu tak pernah benar-benar menatapnya. Perasaan bersalah pun langsung menyelimutinya. Wanita itu pun memberanikan diri berkata, "Mas, maaf. Sebenarnya bukan kaya gitu."Wanita itu jelas terlihat tidak nyaman dengan situasi saat itu dan hal itu juga bisa dirasakan oleh Rayan.Rayan mendesah pelan lagi, "Saya yang harusnya meminta maaf sama kamu."Kirana menatap bingung pada suaminya.Rayan malah tersenyum, "Iya, saya yang salah. Saya terlalu memaksa kamu, mendesak kamu. Kamu ... pasti butuh waktu.""Tapi, Mas ....""Enggak apa-apa, Kirana. Saya akan sabar nunggu kamu siap," jawab Rayan sembari merapikan anak rambut istrinya yang sedikit agak berantakan.Seakan baru saja teringat akan sesuatu, Kirana pun akhirnya
Dikarenakan Serin ataupun teman-temannya yang lain hanya bengong dan tidak menjawab perkataannya, Kirana pun berkata dengan tidak sabar, "Lho, ayo! Siapa saja boleh kok ikut aku ke kamar mandi buat lihat aku beneran lagi haid atau cuman bohong aja."Ditantang seperti itu, salah seorang dari karyawan itu pun akhirnya merespon, "Jijik banget deh, Mbak! Ngapain sampai segitunya.""Nah, bener. Kayanya ini akal-akalannya Mbak Na aja deh. Mbak Na sudah tahu kalau semua orang pasti jijik, makanya percaya diri aja ngomong begitu. Soalnya udah pasti enggak ada yang mau ikut Mbak Na ke toilet," sahut temannya yang lain.Kirana menghela napas, mulai lelah menanggapi orang-orang yang memang tidak menyukainya itu.Tetapi, dia tetap tidak mau dituduh atas hal yang tidak dia lakukan. Dirinya bahkan masih suci sampai detik itu dan dia akan membela dirinya sampai dia dinyatakan tidak bersalah. "Oh, masih ada cara lain sih," kata Serin secara tiba-tiba.Vena langsung bertanya, "Apa caranya, Mbak?"Ser