Share

5. Yakin Aman?

Rayan tidak tersinggung dan malah tersenyum kecil, "Iya, halal. Enggak mungkin saya kasih istri saya uang haram."

Kirana terpana mendengar cara Rayan menyebut dirinya. Dengan tergagap dia membalas, "Tapi, ini dari mana? Mas, sepuluh juta lho ini. Ini sama kaya gaji aku selama lima bulan, Mas."

"Ya dari kerjalah," jawab Rayan sembari menatap istrinya dalam-dalam.

"Dari benerin sepatu?" ucap Kirana, masih terlihat tidak percaya.

"Ya kan kamu sudah tahu saya memang tukang sol sepatu," angguk Rayan, membenarkan ucapan Kirana.

Namun, Kirana masih belum dengan jawaban itu dan bertanya lagi, "Berapa lama kamu ngumpulin uang ini, Mas?"

Rayan membalas, "Sudah, kamu enggak perlu pikirin itu. Yang penting kamu pakai aja ya."

Kirana masih terlihat ragu dan belum yakin. Tapi saat dia teringat akan ibunya yang membutuhkan uang tambahan modal untuk toko kelontongnya di pasar yang sudah tutup selama satu minggu itu, dia segera bertanya pelan pada sang suami, "Mas, kalau gitu boleh enggak aku kasih ini ke ibu?"

"Ibu katanya perlu buat nambah modal dagang, Mas," lanjut wanita itu dengan nada agak takut-takut.

Rayan terkejut, tapi melihat ekspresi polos istrinya itu dia mendesah pelan dan berujar, "Boleh, itu hak kamu. Terserah kamu mau kamu gunain untuk apa. Tapi, enggak kamu kasih semuanya kan?" 

Kirana menggeleng penuh semangat, "Enggak kok, Mas. Aku kasih separuh."

Rayan membalas dengan sebuah anggukan, "Ya udah, jangan lupa pakai itu buat kebutuhan kamu ya."

"Iya, Mas," jawab Kirana dengan senyum cerah.

Dikarenakan saat itu masih belum masuk waktu dzuhur, Kirana bertanya, "Mas mau makan sekarang atau nunggu azan dulu?"

Rayan melirik jam dinding berukuran kecil di bagian dinding sebelah kanan kamar sederhana yang mereka tempati. 

"Habis salat aja sekalian, tinggal bentar lagi," kata Rayan.

"Mau salat bareng?" tawar Rayan.

Kirana menggeleng dengan penuh penyesalan, "Maaf, Mas. Aku masih haid."

"Oh, enggak apa-apa. Ya udah, kalau gitu saya ke masjid dulu ya," pamit Rayan.

"Iya, Mas. Nanti aku siapin makan siangnya," balas Kirana yang ditanggapi oleh Rayan dengan sebuah anggukan dan senyuman lembut.

Setelah Rayan meninggalkan rumah, Kirana bergegas pergi ke dapur dan hendak menyiapkan makan siang untuk sang suami. Tetapi, saat dia membuka tudung saji, hanya ada nasi di atas meja. 

Dia mengerutkan dahi karena bingung. "Loh, ayam goreng yang aku masak tadi pagi kok enggak ada?"

"Udah Ibu kasih sama Nadia, kasihan lagi hamil muda, harus banyak makan yang bergizi," ucap Herni saat wanita itu membuka kulkas.

Kirana mendesah, "Ya tapi kok dikasih semuanya, Bu? Kirana kan masak itu buat Mas Rayan. Lagian Kirana masak satu kilo lho."

"Alah, perkara ayam aja diributin, Na. Sana gorengin telur atau bikinin mie instan aja kan bisa," sahut Herni enteng.

Kirana menahan kesal. 

Karena hal itu, wanita itu bahkan sudah tak ingat lagi niatnya untuk memberikan ibunya modal tambahan dagang.

Dia lalu segera mencari-cari bahan makanan yang masih ada, tapi lagi-lagi saat dia memeriksa isi kulkas, bahan-bahan makanan sudah lenyap tak tersisa.

"Bu, telur sama tahu dan tempe kok enggak ada? Kirana kan beli banyak kemarin, Bu," kata Kirana dengan nada penuh keheranan.

"Oh, tadi Siska ke sini minta bahan-bahan makanan, belum belanja katanya," jawab Herni tanpa beban.

Kirana mulai meradang, "Kenapa dikasih semua sih, Bu? Kan rumah dia dekat dengan minimarket. Kenapa dia enggak belanja ke sana? Kenapa malah minta ke sini?"

Herni mendecak lidah, "Apaan sih, Na? Perkara tempe tahu aja diributin. Kamu kan bisa belanja lagi."

"Ya tapi kan, Bu-"

"Memang berapa sih harga tahu, tempe, telur? Perhitungan banget sama saudara sendiri," desis Herni.

Kirana ingin sekali membantah, tapi jika dia melakukannya, dia tak akan sempat ke warung dan membeli bahan makanan. Maka, dia memilih untuk tak membalas ucapan sang ibu dan segera pergi ke luar.

Sialnya, dua toko yang dia datangi ternyata tutup. Dan ketika dia melewati masjid, dia malah berpapasan dengan suaminya yang baru saja selesai menunaikan salat dzuhur.

"Kamu mau ke mana?" Rayan bertanya saat menatap istrinya yang terlihat berkeringat akibat kepanasan.

Kirana menjawab, "Warung, Mas. Mau beli bahan makanan. Di rumah habis."

"Sebenarnya aku udah masak buat kamu tadi, tapi ... sama ibu malah dikasih ke Nadia, Mas. Maaf ya, Mas nanti kamu mau kan nunggu aku masak dulu?" tambah Kirana, takut suaminya tidak sabar..

Rayan mendesah dan mengelap keringat yang telah membasahi dahi sang istri dengan ujung kemejanya, "Enggak usah. Kita makan di luar aja."

"Eh, tapi, Mas-"

"Ini kan hari pernikahan kita, anggap aja kita lagi syukuran. Ayo!" ajak Rayan sambil menggandeng tangan sang istri.

"Kita pulang dulu atau gimana, Mas?" tanya Kirana.

Rayan menjawab, "Langsung aja. Kita cari yang dekat."

Kirana pun akhirnya menurut. 

Saat itu, Rayan memilih menggunakan taksi dan ketika ditanya, jawaban pria itu tetap sama. "Ini hari pernikahan kita, enggak apa-apa sesekali memanjakan diri."

Rayan ternyata membawa Kirana ke sebuah restoran makanan khas jawa yang cukup besar.

"Wah! Aku baru pertama kali ke sini," ucap Kirana penuh kekaguman menatap interior klasik tapi estetik.

Rayan tersenyum senang melihat keceriaan sang istri, "Ya udah, ayo pesen apa saja yang kamu suka."

Kedua orang itu pun menghabiskan beberapa saat di restoran itu dan membawa beberapa bungkus makanan untuk orang-orang rumah.

Ketika pasangan suami istri baru itu tiba dengan berjalan kaki, mereka melihat Parlan dan Herni sedang duduk di teras rumah.

Dengan riang Kirana berkata, "Pak, Bu. Makan yuk! Ini Mas Rayan beliin banyak makanan buat Bapak sama Ibu."

Parlan menatap keresek yang dibawa oleh Kirana dan seketika mengernyit, "Makanan beli di mana itu? Yakin aman dimakan? Enggak bikin sakit perut?"

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status