Sang sopir pun menoleh lalu menjawab setelah tersenyum, "Benar, Bu."Kirana menelan ludah, untuk pertama kalinya agak kaget karena dipanggil "Bu". Seketika dia langsung menoleh ke arah suaminya yang sedang menatapnya dengan dahi mengerut. "Kenapa, Kirana?""Aku terlihat tua ya, Mas?" tanya Kirana dalam nada suara berupa bisikan.Hal itu membuat Rayan malah semakin terkejut. Dia pun membalas dengan nada keheranan, "Memang kenapa kamu bisa bilang begitu?""Kamu memang nggak denger, Mas? Tadi bapak sopirnya manggil aku 'Bu'," jelas Kirana.Tawa renyah pun tak terhindarkan. Rayan sampai menyentuh rambut istrinya karena gemas. "Kok malah ketawa sih, Mas?" ucap Kirana lagi-lagi kembali cemberut.Rayan menggelengkan kepala dan segera menyentuh tangan istrinya lalu menggenggamnya, "Terima kasih, Kirana. Terima kasih.""Terima kasih untuk apa?" kini Kirana yang menatap suaminya dengan alis terangkat karena bingung.Rayan mengusap punggung tangan sang istri dengan lembut dan berkata, "Sudah ma
Kirana dibimbing menuju ke sebuah ruangan di mana untuk pertama kali dalam hidupnya dia mendapatkan perawatan singkat di salon, baru kemudian dia dibawa ke sebuah ruangan lain.Di sana gaun dan aksesoris yang dibelikan oleh suaminya sudah tertata rapi di bagian kanan. "Silakan, Bu!" ucap karyawan wanita yang kali ini masih berusia sangat muda.Akan tetapi, selama dia didandani olehnya Kirana benar-benar sangat kagum. Selain berhati-hati, wanita itu terlihat teliti. Sekitar empat puluh menit kemudian, seperti waktu yang telah diperkirakan oleh Rayan mengenai treatment itu selesai, sang karyawan berkata, "Sudah selesai, Bu."Kirana yang telah memakai gaun berwarna merah muda lembut berlengan panjang pun mematut dirinya di depan cermin besar. Betapa terkejutnya dia ketika melihat dirinya yang sangat jauh berbeda.Dia bahkan menyentuh rambut panjangnya yang dibiarkan terurai tapi dipasangi hiasan indah tapi tidak gelamor. Kalung dan gelang yang dipakainya juga turut membuat penampilanny
Ditatap dengan intens dan sentuhan di dagu seperti itu, tentu saja membuat Kirana semakin tak berdaya. Pesona sang suami tidak main-main. Lelaki itu seakan menjelma menjadi laki-laki yang begitu sangat berbeda. Aura dominannya terlalu kuat sehingga Kirana hampir-hampir berpikir bila suaminya mungkin memiliki dua kepribadian.Akan tetapi, saat sebuah senyum terlukis di bibir tipis Rayan dengan begitu lembut, Kirana segera menampik sebuah dugaan itu. Sifat suaminya tak berubah, masih hangat seperti biasanya. Hanya saja sekarang Rayan terlihat berbeda bentuk luarnya saja. Fisiknya yang berubah tapi sorot mata dan senyumnya masih sama seperti Rayan yang dia kenal. "Kenapa malah bengong?" tanya Rayan yang hembusan napasnya menyapu wajah Kirana.Ah, dia tidak bisa berdekatan dengan lelaki itu dalam jarak yang sangat terlalu dekat seperti itu. Dia merasa hal itu tidak aman untung jantungnya. Di matanya, Rayan terlalu tampan seperti sosok pria impian di drama-drama yang membuat para wanit
Kirana sontak menengadah, menatap suaminya yang tingginya menjulang itu. Dilihatnya, suami tampannya itu kembali melukiskan sebuah senyuman hangat hingga tanpa sadar Kirana membalasnya dengan senyuman yang manis."Nah, gitu dong. Istrinya Rayan itu cantik, kamu enggak perlu gugup," kata laki-laki itu yang reflek membuat Kirana memutuskan tatapan mereka.Rayan memahaminya dengan baik bahwa istrinya sedang malu. Dia yang masih merangkul Kirana dengan tangan kiri di pundaknya itu mengajak sang istri cantiknya itu berjalan mendekat ke arah teman-teman kerjanya. Rayan mengangguk pada mereka sebelum meminta istrinya untuk duduk di kursi yang kosong, tepat di samping Serin yang juga datang bersama dengan suaminya."Rin," sapa Kirana sebelum duduk.Serin yang terbengong-bengong itu membalas dengan tergagap, "I-iya, Mbak."Seseorang lainnya memberanikan diri bertanya, "Mbak Na. Itu ... suaminya?" Bagian terakhir kata 'Suaminya' itu diucapkan tanpa suara oleh wanita itu. Kirana pun mengangg
"Gaji kamu nggak seberapa, umur juga udah 25. Mendingan kamu cepet nikah sebelum jadi perawan tua, Na." Wanita berambut panjang keriting bernama Herni itu pun mendesah penuh kesal sembari melirik ke arah putrinya, Kirana yang hendak berangkat bekerja. "Ibu udah bosen denger orang-orang nyebut kamu 'perawan tua'. Lagian, kalau kamu nikah, tuh suamimu bisa bantu kasih Ibu tambahan uang," lanjut Herni dengan begitu entengnya. Kirana hanya terdiam, tanpa berniat membalas perkataan sang ibu. Dia justru ingin lanjut pergi saja, tapi kemudian suara sang ayah terdengar. "Kalau kamu enggak bisa cari suami, biar Bapak yang carikan. Kamu tinggal terima beres aja," ucap Parlan yang sedang meniup kopi panasnya tanpa repot-repot menoleh pada putrinya ketika dia berbicara. Gadis manis dengan tubuh cenderung kurus itu pun seketika membeku di tempatnya berdiri, tak bisa begerak selama beberapa detik lamanya. Apa ini? Maksudnya dia sedang dipaksa menikah? Dia akan dijodohkan? Begitukah? Kira
Siska juga ikut menambahkan, "Daripada jadi perawan tua, Mbak. Terima aja, lagian belum tentu ada yang mau sama Mbak kan? Nungguin siapa lagi juga?" Dua adiknya itu seakan begitu kompak memberi dukungan atas ide dua orang tuanya itu. Tapi, lidah Kirana masih kelu hingga dia tidak bisa langsung membantah. "Teman-teman SD-mu itu sudah menikah semua, tinggal kamu yang belum. Masa kamu enggak malu belum nikah sendiri?" Herni menambahkan dengan nada ketus. Kirana membasahi bibir dan akhirnya bisa berkata, "Enggak, Bu. Kirana enggak suka dijodoh-jodohin." Nadia dan Siska sudah bersemangat ingin berbicara lagi tapi Herni menyuruh dua putrinya itu untuk diam terlebih dulu. "Eh, Ibu enggak suka ya kamu nolak-nolak. Mereka sudah mau ada rencana ke sini," ujar Herni mulai terdengar marah. "Kan baru rencana, Bu. Bisa dibatalkan," balas Kirana. Parlan yang kesal dengan balasan sang putri pun berkata, "Jangan bikin Bapak malu! Udah, pokoknya kamu siap-siap saja. Minggu depan kamu lamaran sam
Kebimbangan seketika menyelimuti hati Kirana. Jelas itu adalah pilihan yang sangat sulit. Seno meskipun seorang yang suka memainkan wanita, dia tetaplah memiliki harta yang cukup. Kehidupannya pasti akan terjamin jika dia memilih Seno. Akan tetapi, membayangkan dia harus melihat orang itu bermain dengan wanita lain membuatnya tak mungkin sanggup menjalaninya. Sedangkan jika dia memilih Rayan yang hanya seorang tukang sol sepatu, masalah ekonomi sudah jelas di depan mata. "Na, dijawab sana cepat," kata Herni. Lamunan Kirana pun buyar. Dia kembali menatap pria yang belum dia ketahui namanya itu dengan pandangan bingung. "Kenapa kamu mau menikahi aku?" Nadia yang duduk di samping ibunya langsung angkat bicara, "Astaga, Mbak. Pakai ditanya, udah terima aja." "Kalau kamu enggak mau sama Seno, ya enggak apa-apa kalau mau yang ini," kata Parlan, tanpa menyebut nama pemuda itu. Sedangkan Siska yang masih berpakaian rapi itu mendecak lidah, "Enggak perlu lama mikirnya, Mbak. Yang pent
"Tapi, Bu. Kami kan-" "Bereskan!" potong Herni sambil menunjuk ke arah lantai sementara dia duduk di kursi sofa bersama dengan suami dan dua putrinya yang lain serta dua menantunya. Kirana mengepalkan tangan karena kesal. Dengan terpaksa dia membungkukkan badan untuk melipat tikar. Tapi, tanpa dia duga Rayan menahan lengannya, seolah melarangnya untuk melakukan hal itu. Herni menaikkan alis kanan, "Heh, tunggu apa lagi?" "Mas," panggil Kirana dengan nada bingung. Rayan pun berujar, "Kamu masuk ke dalam aja, biar saya yang urus." Nadia yang mendengar hal itu seketika menyeletuk, "Owh, so sweet!" Dia juga bertepuk tangan untuk Rayan tapi lalu menambahkan, "Kalau begitu jangan lupa cuci gelas-gelas kotor ini juga ya!" Dia menggunakan mata untuk memberitahu Rayan. Kirana pun berkata, "Mas, aku-" "Kamu masuk aja ya," ucap Rayan. Kirana menggeleng tapi Rayan bersikeras, "Kamu masuk aja. Percaya sama saya, biar saya yang urus." Wanita muda itu ingin sekali membantah, tapi meli