Share

Chapter 1

Suara pijakan kaki El terdengar setelah cowok itu keluar dari mobil. El menyandang sebelah tasnya, melirik ke Jodi lalu memberi arahan agar menjemputnya saat pulang. Sang sopir mengangguk, memutar haluan lalu pergi dengan kecepatan normal. El diam beberapa saat, lalu mengambil kerikil kecil di ujung sepatunya, ia melempar benda itu ke atas berulang-ulang menjadikannya sebagai mainan.

Kalau dilihat dari luarnya, sekolah ini tidak jauh berbeda dari sekolahnya dulu, sama-sama tempat belajar dan tergolong cukup bagus.

“SMA Dharma, semoga aja nih tempat nggak ngebosenin.”

El melangkah masuk, dilihatnya ke arah samping, seorang satpam sedang duduk menyeruput kopi, sepertinya ia belum menyadari kehadiran El yang sudah terlihat santai bersandar di tiang pos.

“Pak, kalau minum kopi harus ada yang nemenin, contohnya kayak roti.”

Pak satpam yang diketahui namanya Dadang itu mendongak. “Eh mas datang dari mana?”

Mata El sedikit menyipit. “Ya dari gerbang lah Pak, masa dari lubang semut.”

Dadang terkekeh. “Bukan maksud saya, ini mas baru dateng? Anak baru ya?”

El tersenyum, menggapai tas yang ada di punggungnya kemudian mengeluarkan sebungkus roti rasa coklat.

“Nih, Pak, enak tuh kalo dimakan ama kopi,” ucap El sambil menyodorkan roti itu.

“Eh, buat saya? Makasih, Mas. Baru kali ini ada anak sekolah yang perhatian ke saya.” Dadang nampak memperhatikan bungkusan roti tersebut dengan mata berbinar.

“Nama saya El Pak, kalau sama saya mah santai aja, besok saya bawain lagi deh yang rasa keju,” jawabnya, “sampe lupa, duluan ya Pak, nanti kepsek ngamuk.”

Dadang mengangguk menatap kepergian El sejenak lalu kembali menyeput kopinya.

El memasuki area sekolah, semua orang memandang ke arahnya. Tak sedikit para siswi melempar senyumpadanya. Ia menatap ke sekeliling, berpikir sejenak, bingung harus ke arah mana. Kata mamanya tadi ia harus menemui Bima di ruangannya. Tapi sejak tadi mencari, ia sama sekali tak menemukkan ruangan yang dimaksud.

El mendekat ke arah segerombolan siswi, ini saatnya untuk menggunakan pesona dalam dirinya. Salah satu siswi tampak tersenyum lalu saling menyenggol temannya yang lain.

"Hai kakak cantik, bisa kasih tau nggak ruang kepsek di mana?”

Untuk beberapa detik tidak ada yang menjawab, cewek-cewek itu menujukan senyum semanis mungkin. “Lu ... lurus aja. Nanti ada ruangan yang tulisannya kepala sekolah.”

“Oh makasih ya.”

El mengedipkan sebelah matanya lalu berjalan santai. Sama sekali tak menghiraukan pekikan dari para cewek yang tersipu karenanya. Siapa yang bisa lolos dari pesonanya.

Risiko orang ganteng...

Cowok itu berhenti, saat mendapati ruangan dengan tulisan KEPALA SEKOLAH menempel di atas pintu. Samar-samar terdengar suara perbincangan dari depan. Sepertinya, ada orang lain yang sedang berbicara.

El masuk tanpa permisi. Ia nampak santai menatap seorang lelaki paruh baya yang sedang berbicara bersebrangan dengan salah seorang siswi. Bima mendongak, mendengar derap langkah langkah El.

“Hai, Om!” sapanya.

Cewek yang duduk membelakangi El, menoleh. Raut wajah El tampak terkejut, ia tak menyangka harapannya akan terkabul dalam secepat ini, El berdehem tetap pada wajh tersenyumnya.

Ralika menaikan sebelah alisnya, menatap cowok tak sopan yang masuk ke ruangan tanpa permisi. Tanpa terlihat malu sedikitpun, El duduk tepat di samping Ralika. Bahkan, dengan tak bersalahnya menunjukan senyum tanpa dosa.

“El kalau mau masuk, ketuk pintu dulu. Ini sekolah bukan rumah kamu.” El menggaruk tengkuknya yang tak gatal, kebiasaan saat berkunjung ke rumah Bima. Sampai lupa kalau ini tempat berbeda.

“Ya maaf Om—”

Omongannya langsung dipotong Bima. “Pak!”

“Oke, maaf Pak Bima,” ucap El, sambil melirik sekilas cewek di sampingnya.

“Ralika,” panggil Bima. “Sekarang kamu boleh kembali ke kelas kamu. Nanti untuk rekap lainnya saya tanyakan dulu pada Bu Asti."

Ralika mengangguk. Ia berdiri dan melihat El sekilas sebelum akhirnya pergi dari ruangan itu. Mata El mengikuti Ralika sampai cewek itu tak terlihat lagi dari pandangannya, senyum tipis terukir di wajahnya dengan mata yang tak kunjung beralih. Bima sejak tadi meliriknya, berdehem.

"Dariel, di sini saya sebagai kepala sekolah dan bukan Om kamu. Kamu wajib mengikuti semua peraturan dan tak boleh melanggarnya, karena setiap kenakalan yang kamu lakukan di sekolah ini akan dilaporkan kepada Mama kamu." Wajah El berubah datar, ini ia sedang mendengar ancaman atau apa.

“Ah elah Om, baru juga masuk udah main ancem-anceman.”

“Pak!” peringatnya lagi, “tenang saja kalau kamu bersikap baik, hidup kamu aman.”

El kesal sekali melihat senyuman meledek omnya itu. Tapi sepertinya ancaman Bima tak cukup ampuh, El akan tetap menjadi dirinya sendiri, lihat saja nanti berapa lama pria itu bisa mengaturnya.

☁️☁️☁️

Kedua tangan El dimasukkan ke saku celana, berjalan mengikuti seorang guru yang diketahui Bernama Bu Sita, yang memang ditugaskan mengantarnya ke kelas baru.

Ia mengekori guru itu bak anak ayam sambil terus melirik beberapa ruangan yang dilewati. Suasana terasa sepi karena bel masuk telah berbunyi 10 menit yang lalu, sehingga para siswa harus kembali ke kelas masing-masing.

Langkahnya terhenti di sebuah kelas yang seperti sedang melakukan presentasi. El menarik dirinya, lalu melihat ke kaca jendela.

“Fauna daerah oriental meliputi Jawa, Bali, Sumatera, dan Kalimantan... kita bisa ambil contoh seperti gajah, banteng ....”

El malah fokus pada seorang cewek yang kini sedang menjelaskan pelajaran di depan kelas melalui infocus pada powerpoint yang iya tak begitu paham tentang apa. “Takdir banget gue bisa ketemu tuh cewek di sini.”

Selama beberapa detik mengamati El sedikit tersentak ketika sadar guru yang tadi memandunya ke kelas baru sudah berjarak sangat jauh darinya. El sedikit berlari menyusul Sita yang tak menyadari sejak tadi berjalan sendirian.

“Permisi Bu Tini, ini saya mengantarkan murid baru.”

El menatap sekeliling sesaat, semua murid menatapnya dengan reaksi berbeda-beda. Ada yang berbisik-bisik, tak peduli, dan ada pula yang tersenyum ramah. Yah reaksi orang pada umumnya.

“Dariel, ini kelas baru kamu. Pesan dari kepala sekolah, jangan buat kerusuhan di hari pertama.”

El mengangguk patuh meski dalam hati dongkol sendiri. Bima bahkan menitipkan pesan seperti itu melalui guru. Harus berapa kali lagi dirinya diberi peringatan?

Setelah Sita pergi, El dengan santainya masuk setelah diizinkan Tini. Ia nampak menelisik tiap orang yang kini memandangnya. Ayolah, apa mereka tak pernah melihat cowok seganteng dirinya? Kenapa memandang mengintimidasi begitu?

"Oh ya silakan perkenalkan diri kamu, Nak," ucap Tini mempersilahkan.

El menarik napasnya dalam. “Hai teman-teman. Nama gue—”

“Gunakan bahasa indonesia yang baik dan benar,” tegur Tini.

“Eh? Baik Bu, perkenalkan nama saya Dariel Magenta Arrafi . Kalian bisa panggil El, umur 17 tahun lebih 2 bulan, tinggi 178 centi meter, berat badan 55 kilogram, ukuran sepatu 41, hobby memikirkan masa depan dan melupakan masa lalu, nomor wa 089999901015. Kalau ada yang kurang atau nggak jelas, silahkan teman-teman tanyakan.”

“Kocak nih anak!” celetuk salah satunya.

Seluruh isi kelas termasuk Tini melongo sesaat. Lalu berubah gaduh setelahnya. El masih dengan raut yang sama sambil terus memperhatikan seisi kelas, padahal iya belum memulai aksi apapun tapi mereka sudah tertawa.

“Sudah-sudah,” Tini memukul mejanya beberapa kali,

“Kamu…,”

“El, Bu,” ucap El, karena Tini seperti kesulitan menyebut namanya.

“Sepertinya pengenalan El sudah cukup jelas, apa ada yang mau bertanya?” ucap Tini.

Seorang mengangkat tangannya. “Eh kok nama lo ada Magenta-nya kenapa nggak pink aja?”

“Magenta bukan pink bro, itu kombinasi dari warna ungu dan merah. Warnanya juga lebih cerah, sama cerahnya kayak muka gue, jadi bonyok kasih nama itu!” jelas El, ia terlalu sering menjawab pertanyaan seperti itu mengenai namanya yang cukup unik.

Tini hanya menghela napas, sepertinya kelas ini kedatangan murid limited lagi. “Baiklah, kalau sudah silahkan duduk di…,”

“Di samping saya Bu, kosong nih,” celetuk Afdi.

“Oke, kamu duduk di sebelah Afdi.”

El hanya menggangguk, berjalan ke arah bangku yang ditunjuk.

"Gue suka gaya lo, kayaknya kita bisa jadi sejoli deh, gue Afdi dan yang belakang Ardan sama Ilham,” tunjuknya pada dua orang di belakang mereka.

“Hai El, perkenalan lo kek ngisi biodata, keren!”

El ikut tertawa mendengarnya. Ternyata tak begitu sulit baginya mendapat teman di sekolah ini. Sepertinya ada juga yang bersikap seperti dirinya. Akan seru.

“Eh yang belakang perhatikan ke depan!” tegur Tini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status