Share

Chapter 8

Ralika mengelus kepala wanita yang terbaring lemah di hadapannya kini. Matanya tertutup dengan beberapa alat medis tertempel memenuhi tubuh. Suara alat deteksi jantung terdengar mengalun normal mengikuti irama jantungnya. Hal itu menandakan masih ada kehidupan di balik wajah pucat itu.

Ralika bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju pintu, ia sempat berbalik sebentar sebelum akhirnya keluar dengan wajah tertunduk.

Untuk beberapa jam yang lalu Ralika sempat khawatir saat Niken ke sekolahnya dan mengatakan 'rumah sakit' Seperti ada dentuman keras yang menyerang dada, pikiran buruk tak bisa dibendung akan kemungkinan yang terjadi.

Ruang tempat Nilam--mamanya-- dirawat saat itu sedang tertutup karena dokter sedang menanganinya. Lutut Ralika melemas untuk beberapa saat, yang hanya bisa dilakukannya hanya berdo'a dalam hati.

Setelah beberapa menit, pintu ruangan terbuka, dokter dan beberapa suster keluar. Buru-buru Niken mencecar sang dokter dengan berbagai pertanyaan. Dokter itu terdiam sesaat, sampai akhirnya ia mengatakan kondisi Nilam sudah stabil.

"Ika."

Ralika menutup pintu ruangan. "Maaf Tante nggak bisa lama, hari ini Tante harus ke luar kota."

"Nggak papa kok, Tante. Ika bisa jaga mama."

Niken menepuk pundak Ralika sebentar, lalu segera berjalan pergi.

Ralika mengusap wajahnya, kasar lalu menghembuaskan napas lega. Ia tak bisa membayangkan kalau terjadi apa-apa pada sang mama.

Hanya mamanya alasan Ralika masih bertahan di dunia ini. Hanya karena adanya wanita itu, Ralika bisa memasang pertahanan kokoh di tengah-tengah semua orang yang membencinya.

Kalau saja bukan karena perkataan Nilam waktu itu mungkin dirinya akan hancur saat ini.

"Ika harus janji sama Mama. Ika anak kuat, mau apapun yang terjadi Ika harus tetap jadi cewek tangguh."

Ralika terduduk di kursi tunggu, menarik napas dalam kemudian menghembuskan secara perlahan. Tangannya merogoh saku rok yang sedari terasa beberapa kali bergetar. Ternyata ada notifikasi chat dari seseorang.

Allea Kirana P

Lo di mana?

Allea Kirana P

Ada masalah apa sampe tante lo jemput  ke sekolah?

Allea Kirana P

Hello, Ika.

Allea Kirana P

Ralika Caitlin Andara.

Ralika hanya membaca pesan itu tanpa ada kemauan membalas. Seniat itukah Lea ingin menjadi temannya?

Ia menatap kembali pesan itu cukup lama, sampai akhirnya tanpa sadar mengetik sesuatu.

Ralika C.A

Nggak ada apa-apa.

☁☁☁

Sejak tadi El celingak-celinguk mengintip kelas XI IPA 3 di balik ruang olahraga yang hanya berkelang 2 kelas dari kelas itu. Ia sedang menanti seseorang keluar, tapi nampaknya orang yang ditunggu belum muncul juga. Pada dasarnya El memang bukan cowok sabaran, segera setelah beberapa detik ia segera mendekat, berdiri di depan pintu kelas masih dengan mata yang mencari.

Beberapa anak yang masih duduk di kelas memandang El heran. Begitupun dengan Lea yang sedang duduk di barisan tengah, cewek itu nampak mengerenyit apalagi tampang El yang terlihat seperti orang bodoh.

Lea berjalan menuju pintu. "Ngapain lo ke sini?"

"Mau nyariin Rara," ucapnya dengan mata menyusuri kelas.

Lea kembali mengerenyit. "Di sini nggak ada yang namanya Rara, lagian lo kemaren bilang mau jadi calon pacarnya Ika, kok sekarang nyariin cewek lain. Wah 'kan bener dugaan gue, lo playboy!"

El menghembuskan napas kasar, dituduh lagi 'kan?

"Aelah lo, Rara itu panggilan khusus gue buat Ralika. Gitu aja nggak tau," sungutnya, "Sekarang jawab pertanyaan gue Rara di mana?"

Lea memutar matanya sambil berkacak pinggang. "Apa untungnya gue ngasih tau ke lo?"

El tersenyum aneh membuat perasaan tak enak timbul dibenak Lea. "Oo jadi lo nggak mau ngasih tau. Okey gue bakal bilang kalau kemarin lo diam-diam .... " El mendekatkan wajahnya beberapa senti, "ngirim surat misterius ke meja ... Geri," bisik El diakhir kalimat.

Lea membulatkan matanya. Geri, cowok yang disukainya sejak lama, tapi, jujur dirinya tak berani berterus terang. Alhasil setiap seminggu sekali, Lea selalu mengirimkan surat tanpa nama ke laci meja cowok itu pagi-pagi sekali.

"I ... iya gue bakal ngasih tau. Ika tadi di panggil ke ruang OSIS, kayaknya ada urusan sama Alex."

"Alex? Tuh cowok nyolong start gue," gumamnya.

El berbalik ingin pergi. Namun, satu detik kemudian ia teringat akan sesuatu, El mundur beberapa langkah.

"Ngapain masih di sini?"

"Satu lagi ... kasih gue nomor w******p-nya Rara."

☁☁☁

Ralika menatap proposal dengan bagian luar berwarna hijau yang di sodorkan Alex beberapa saat yang lalu. Ia mengamati tiap baris kalimat secara detail, berusaha meneliti apa masih ada yang terlewatkan atau ditambahkan.

"Gimana, udah lo baca?" tanya Alex.

Ralika menengadahkan pandangannya, menatap Alex yang menunggu reaksinya. "Di sini memang sudah ada konsep yang bisa dikatakan sesuai rencana, semuanya juga udah tertata. Apa ini udah disodorin ke kepsek?

"Oh kalau proposal ini emang belum gue serahin. Gue minta pendapat lo dulu, tapi untuk gambarannya Pak Bima juga udah tau."

Ralika melihat Alex sekilas lalu kembali lagi pada benda yang ada di tangannya.

"Ada yang bilang nggak, kalau cowok sama cewek berduaan. Yang ketiganya itu setan."

Ralika dan Alex refleks menoleh mendapati El sedang berdiri di ambang pintu dengan wajah santai. Cowok itu berjalan mendekat.

"Ini ruang OSIS lo nggak bisa masuk seenak jidat. Kami lagi diskusi," ucap Alex dingin.

"Emang diskusi harus berduaan, ya? Baru tau gue, kalau gitu kapan-kapan gue mau deh ngajak temen cewek gue berduaan kayak lo bedua, dengan nyeret 'diskusi' sebagai alasan."

Alex mengerenyit. Cowok itu tersenyum padanya saat ini, tapi, entah hanya perasaannya saja, pandangan El seolah menyulut permusuhan.

"Bentar-bentar, lo ke sini mau ngajak gue ribut atau gimana? Kalau kemarin lo ngerasa hebat karna gue tawarin ikut basket. Sebaiknya jangan terlalu bangga diri," balas Alex sedikit sengit.

Senyum El masih tetap sama, cowok itu mengangkat tangan kanannya menepuk beberapa kali bahu Alex.

"Tenang gue nggak ngerasa hebat kok, justru gue ngerasa di sini, lo yang hebat."

Ralika melihat interaksi keduanya mulai terasa berbeda, ia tak mau membuang waktu hanya dengan pembicaraan tak penting.

"Apa maksud kamu ke sini?" Ralika angkat bicara.

El mengalihkan pandangannya. "Nggak kok, cuman lewat. Eh nggak taunya, ada yang lagi berduaan."

Ralika mulai jengah. "Kami sedang ada urusan OSIS di sini. Seharusnya kamu tau itu, dan soal perkataan kamu tadi kalau cewek dan cowok ada disatu ruangan maka yang ketiganya setan. Berarti kamu sedang menyebut diri sendiri."

Alex menunduk, menahan tawa yang hampir saja keluar dari mulutnya. Semua orang tau akan sikap datar dan dingin Ralika, cewek itu paling anti kalau harus mengeluarkan suara, apalagi masalah sepele. Tapi kalau suaranya sudah keluar, kata-katanya pasti akan menyakitkan.

"Nggak papa dikatain setan, yang penting hati gue bidadari." El menaik-turunkan alis.

Ralika mendengus mendengar jawaban tak terduga cowok itu. "Alex untuk urusan ini kita bicarakan nanti."

Ralika berjalan pergi. Percuma ia di sini, yang ada El akan terus mengganggunya. "Eh Ra, lo mau ke mana?"

El setengah berlari menuju pintu, tapi ia kembali memutar tubuhnya teringat akan sesuatu. Alex masih berdiri di sana.

"Oh ya, gue mau ngasih tau kalau tawaran lo soal basket ... gue terima."

Seusai berkata seperti itu El menghilang dari pintu itu meninggalkan Alex yang masih melongo melihat tingkah El yang bisa dikatakan ajaib.

Ralika melangkah cepat menuju ke arah belakang kelas.

"Eh Ra, lo mau ke mana, sih? Kok ke belakang, mau mojok sama gue, ya? Oke ayo!"

Ralika berhenti seketika langsung menatap El dengan sorot mata permusuhan. El sedikit berjalan ke depan dan langsung berhenti, ia menoleh ke samping. Sama sekali tidak terusik dengan delikan Ralika.

Sejenak Ralika terdiam. Cewek itu melirik El sekilas, kemudian kembali berjalan. Sungguh cowok itu benar-benar mengangunya, dia bahkan tak terpengaruh dengan kalimat pedas yang ia lontarkan.

"Ra, ngapain sih, kita ke sini? Jangan-jangan beneran mau mojok! Ya ampun, gue nggak serius kok, gue nggak mau digerebek terus dinikahin, masih pengen sekolah guenya."

Benar-benar sulit mengontrol mulut cowok di hadapannya ini. "Sebaiknya kamu diam atau lebih baik pergi dari sini kalau kerjaan kamu hanya mengoceh saja!"

El langsung diam daripada Ralika kembali marah karenanya. Cowok itu mengikuti Ralika ke arah sudut tembok, sedikit melewati lorong yang tidak terlalu lebar.

"Cepat keburu ada guru sama kak Ika."

Samar-samar El dapat mendengar suara seseorang dari ujung lorong. Nampak terlihat tiga orang cowok berusaha memanjat tembok. Yang satu naik ke atas punggung temannya dengan kedua tangan berusaha menggapai atas tembok. Sedangkan yang satu lagi sedikit berjinjit menatap ke arah berlawanan, seperti mengawasi.

"Cepatan naiknya! Pegel nih punggung gue."

"Sabar nyet, susah naiknya."

Ralika lebih dulu mendekat, El yang terlihat bingung menyusul tepat satu langkah di belakang cewek itu. Sepertinya tiga orang itu belum menyadari kehadiran mereka.

Ralika melipat tangan di depan dadanya lengkap dengan pena yang selalu sedia di tangan kanannya.

"Ehm ... kalian lagi ngapain?"

Dua diantaranya menoleh perlahan, tepat seperti kepergok mecuri. Yang awalnya berusaha naik tembok langsung bungkam, sedangkan temannya yang di bawah meneguk saliva susah payah. Ralika masih setia melihat mereka dengan tatapan santai.

"Udah bel ..." ucapan cowok---mengawasi ke arah depan tadi langsung terhenti, "eh, kak Ika."

Ralika masih menatap mereka. Pandangannya yang datar justru membuat Ralika itu lebih menakutkan. Satu tangannya merogoh saku rok abu-abunya, mengeluarkan sebuah buku kecil---catatan hukuman.

El melirik Ralika dari ujung matanya selama beberapa detik, kemudian beralih ketiga cowok yang kini sedang menunduk. Dapat dilihat dari badge namanya, ketiganya berasal dari kelas 10.

"Nama?"

"Ti ...Tio kak."

"Semuanya!" ujar Ralika dingin.

"Ti ... Tio, Fiko, sama Aldi."

Ralika kembali menunduk menulis semua nama yang di sebutkan tadi di buku catatan.

"Kelas?"

"Kita semua kelas 10 IPS 2."

El melirik buku kecil itu sedikit. Ia sempat terkejut selama beberapa detik, yang benar saja semuanya ditulis secara rinci dan rapi di sana. Bahkan, disertai tanggal, hari, serta kesalahan yang diperbuat.

"Kalian tau kesalahan apa yang kalian diperbuat? Baru kelas 1 saja sudah berani bolos. Seharusnya kalian menjaga nama baik SMA Dharma, bukan sebaliknya!"

El sedikit meringis sambil menatap kasihan ketiga cowok itu. Walau mereka semua adalah laki-laki yang bisa dikatakan kekuatannya melebihi perempuan, mereka sama sekali tak berani berkutik.

Apa tidak ada yang berani melawan kata-kata Ralika yang notabene-nya adalah seorang cewek? Oh iya lupa Ralika bukan cewek biasa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status