Share

Chapter 6

"El kita nggak balik, nih?" ucap Afdi. Sejak tadi mereka berdiri di depan kendaraan itu cukup lama, tapi tak ada tanda-tandanya El akan menawarkan untuk naik, malah dengan santainya menatap gerbang sambil memainkan kunci mobilnya.

El menoleh. "Kalian kalau mau balik, balik aja, ngapain nungguin gue."

Ketiganya saling pandang. "Jadi kita nggak pulang naik mobil lo, nih?"

"Nggak! lo semua pulang sendiri lah!"

Afdi langsung cemberut. El sama sekali tak mengijinkannya ataupun yang lain menaiki kendaraan berwarna hitam itu.

"Ya, terus lo mau bawa nih mobil sendiri, gitu? Ngapain coba nyuruh supirnya pulang naik taksi, kalau nyatanya nggak ngajak kita pulang bareng," celetuk Ardan.

El memandang ketiga temannya sambil berkacak pinggang. "Gue sengaja nyuruh Pak Jodi pulang duluan, biar Ralika pulang bareng gue. Bukan ngajak lo bertiga balik!"

Ilham yang mendengar penuturan El menepuk jidatnya. "Ealah, ternyata lo ogeb banget!"

El langsung menjitak kepala Ilham cukup keras. "Lo nggak nyadar lo ogeb juga!"

Ilham meringis, tangannya mengelus kepalanya. "Kalau nggak ogeb. Apa namanya? Sebelum bertindak seharusnya lo tanya dulu sama kita."

"Emangnya kenapa?" tanya El sedikit memiringkan tubuh. Walau sebenarnya ia merasa tak ada yang salah dari perlakuannya, sejauh yang dia tau, Cewek cenderung suka akan perhatian seperti ini.

Ardan mengedikan bahunya, mau menjelaskan pun rasanya El sudah terlanjur bertindak. "Tunggu aja, nanti lo bakalan tau."

El tampak berpikir dengan raut wajah menerka sambil melirik Afdi dan Ardan yang menatap ke arah gerbang. Sesaat kemudian, suara deru motor terdengar dan kebingungan El langsung lenyap saat melihat motor itu keluar dari pekarangan sekolah.

El tanpa sadar membuka mulut, bukan karena motornya melainkan seseorang yang ada di balik helm hitam itu. Ralika, cewek yang sejak tadi di tunggunya.

Ia nampak menggunakan celana training di balik rok abu-abunya dengan Helm berwarna hitam menutupi kepala. Sesaat cewek itu berhenti dengan jarak beberapa langkah dari mereka. Mata Ralika sempat melirik El sebentar, sebelum akhirnya menjalankan motor dengan kecepatan normal.

"Udah bekep tuh mulut," ucap Ilham, El spontan menutup mulutnya dengan wajah cengo, ia masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya tadi.

"Itu beneran Ralika?" tanya El memastikan.

"Bukan! Ya iyalah itu Ika, masa hantu!" balas Ilham gemas sendiri.

El masih menatap lurus jalan yang dilalui Ralika tadi. "Udah gue bilang 'kan, Ralika itu bukan sekedar cewek biasa. Dia itu cewek yang berjiwa cowok. Bahkan, beladirinya aja jago."

"Kalau beladiri sih, gue percaya tapi ini naik moge?!"

☁☁☁

Ralika berhenti tepat di depan sebuah rumah. Ia langsung melepas helm yang sejak tadi membuat kepalanya terasa berat, langkahnya dengan cepat memasuki sebuah rumah bercat putih yang tidak terlalu besar, namun sangat nyaman karena di kelilingi tanaman hijau di halamannya.

"Kamu sudah pulang, sayang?" Suara lembut itu membuat perhatian Ralika teralih, ia melirik ke arah ruang tamu. Di sana ada seorang wanita berumur sekitar tiga puluhan yang memiliki  potongan potongan pendek tengah mentapnya. Ia mendekati Ralika dengan senyum tipis setelah meletakkan majalah yang sejak tadi dibacanya.

"Iya Tante," jawab Ralika singkat. Niken---tantenya--- tersenyum lalu menyodorkan segelas air putih pada Ralika, dan langsung diminum gadis itu sampai habis.

Untuk sesaat tidak ada percakapan dari kedua perempuan beda usia itu, sampai akhirnya Ralika menyadari satu hal yang tampak tak terlihat di matanya saat ini.

"Nayla mana, Tan?" Ralika langsung bertanya.

"Dia lagi tidur. Oh ya Bi Leli juga kayaknya nggak bisa dateng, katanya sakit," jelas Niken.

Sorot mata Ralika menunduk, selain menanyakan Nayla, ada sesuatu yang ingin ia tanyakan, hanya saja sedikit ragu. "Gimana keadaan mama?

Pertanyaan yang dilontarkan Ralika sangat lirih, bahkan, hampir tak terdengar. Niken menghela napas, mencoba tersenyum sambil mengelus kepala keponakannya itu dengan kasih sayang.

"Dia sudah membaik, nanti kita jenguk ya. Untuk sekarang, kamu fokus dulu sama sekolah. Dan juga, tante harap kamu bisa luangin waktu lebih buat Nayla, dia butuh kakaknya."

Ralika mengangguk masih dengan ekspresi yang sama. Meskipun, ia tau akan tanggung jawabnya sekarang, tapi ia masih belum bisa maksimal memenuhinya.

"Oh ya, gimana kamu di sekolah?" Niken mengubah topik pembicaraan.

Berusaha mengalihkan perhatian Ralika yang nampak terdiam dengan sorot mata berbeda.

"Baik," jawab Ralika singkat.

"Katanya sekolah kamu sebentar lagi ulang tahun ya?" Niken kembali bertanya.

"Iya."

Lontaran singkat dari Ralika sudah terbiasa terdengar digendang telinga Niken. Perempuan cantik itu juga sudah sangat maklum dengan wajah tanpa ekspresi yang terkesan judes.

Ralika berdiri dari duduknya. "Ika ke kamar dulu, Tante."

Setelah melihat Niken mengangguk Ralika melangkah menuju kamarnya dengan tas hitam yang masih tersampir di pundak.

Niken masih setia menatap keponakannya itu dengan tatapan teduh, kemudian, beralih ke sebuah foto yang berada di dekat meja kecil. Sebuah lengkung terbentuk begitu saja di bibirnya. Ralika sudah berbeda sekarang, ia lebih dewasa dan tangguh.

Ralika mengaitkan baju di balik pintu yang memang dipasang sebuah gantungan. Cewek itu langsung menghempaskan tubuhnya dengan posisi tengkurap di tempat tidur, hidungnya perlahan menghirup dalam aroma bedcover berwarna cream yang terasa sangat nyaman di kulit.

Ralika membuka matanya, mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk, kedua sikunya di tekuk dengan dagu yang menempel. Pikirannya melayang, ingin sekali menangis sekencang-kencangnya saat ini, tapi ini bukan saatnya untuk menangis. Ralika harus membuktikan pada semua orang bahwa dia bukan sesosok yang lemah.

"Ma."

Anak kecil itu mengerjap sambil memegang setangkai bunga mawar di tangannya.

"Ini buat Mama."

Tangan mungil anak perempuan itu terulur menyerahkan setangkai bunga mawar pada sang mama.

Awalnya senyum mamanya terbentuk, tapi sedetik kemudian senyum itu memudar digantikan dengan tatapan khawatir.

"Sini bunganya, ini tangan kamu sampe luka kena durinya."

Bukannya menangis, gadis kecil itu malah tersenyum.

"Nggak sakit?"

Sang mama meniup pelan tangan putrinya.

"Nggak dong ma. Ika kan cewek berani, kayak Mama."

Melihat senyum polos putrinya mama Ralika mengelus pipi putih sedikit kemerah mudahan itu sambil tersenyum.

"Ika anak kuat. Makasih ya sayang."

"Ika anak kuat, Ma," gumam Ralika lirih sambil merapatkan matanya dalam sebelum akhirnya terbuka.

Ralika bangkit dari tempat tidurnya. Mengambil sebuah baju kaos berwarna orange di dalam lemari serta celana pendek santai lalu segera mengenakannya.

Sepuluh menit berlalu, Ralika keluar dari kamarnya dan langsung menuju ruang tengah di mana Niken masih setia duduk. Sejenak perhatian Niken teralihkan dari layar sedang di depannya, di mana Ralika memilih duduk di single sofa.

"Ika, Tante mau pergi keluar kota besok."

Ralika diam. Tak jarang tantenya itu pergi keluar kota, status Niken sebagai pengacara memang mengharuskannya untuk ke daerah luar Jakarta. Ralika sendiri sudah terbiasa akan hal itu, jangankan di rumah di sekolah pun dia lebih sering menghabiskan waktu sendiri, ralat tak sendiri, bersama adik kecilnya tentu saja.

"Kapan Tante berangkat?" tanya Ralika.

"Em, besok. Nggak lama cuman dua hari."

Untuk sesaat kedua perempuan itu larut dalam suasana masing-masing. Niken dengan buku majalahnya sedangkan Ralika menatap lurus ke arah TV.

Suara dering ponsel mengalihkan perhatian Niken. Perempuan itu berdiri dari duduknya mengambil sebuah benda pipih berwarna gold yang ada di nakas dekat tv.

"Oh iya, saya Niken."

"Iya-iya."

"Ika, bisa tolong ambilin pulpen sama kertas di lemari?"

Ralika berdiri dari duduknya, berjalan menuju lemari yang berada di dekat sudut ruangan. Ia sedikit menunduk, Tangannya membuka laci kedua kemudian mengeluarkan pulpen dan sebuah buku, Ralika meletakan kembali pulpen itu. Tangannya membuka buku tulis dan langsung merobek bagian tengah.

Ia menegakan tubuhnya dengan pulpen dan kertas masing-masing berada di kedua tangannya, kakinya baru ingin beranjak namun Perhatiannya tiba-tiba terfokus pada sesuatu yang mencolok di balik jendela bening.

Ralika mendekat ke arah jendela. Tampak jelas sebuah mobil hitam berada di luar rumah. Tidak sampai masuk ke halaman, jaraknya agak jauh tapi, masih bisa terlihat.

"Jadi ini rumahnya Ika, bagus juga." El dengan mudahnya berkata demikian. Tak memedulikan ketiga temannya yang masih syok.

Tidak sia-sia perjuangannya. Walau Ralika gagal untuk pulang bersama dengannya, yang terpenting El tau sekarang di mana rumah Ralika.

Ilham, Ardan dan Afdi masih tidak percaya. Beberapa saat yang lalu El mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi hanya karena ingin mengejar motor Ralika. Bahkan, tadi hampir menabrak ayam yang melintas Asal di jalan dan membuat mereka kehilangan jejak selalu beberapa saat.

Walau demikian El tak langsung menyerah. Dia mengitari kawasan tersebut, sambil melihat ke sekeliling komplek sampai akhirnya terhenti saat melihat sebuah motor ninja berwarna merah yang tadi dikendarai Ralika terparkir di depan rumah.

"Lo gila banget sumpah! Baru kali ini gue liat orang yang penasaran sama cewek sampe segila elo!"

El menoleh menatap Afdi yang duduk di sampingnya. Cowok itu masih memegangi dada, merasakan detak jantungnya yang terlampau cepat, tangannya masih bergetar. Belum lagi keringat mengalir dari pelipisnya.

"Lo udah nggak sayang nyawa?!" ujar Ilham yang berada di belakang, kondisinya sekarang tak lebih parah dari Afdi.

"Untung gue masih idup." Giliran Ardan menyahut.

"Salah sendiri kalian maksa ngikut!" El kembali mengamati rumah bercorak putih itu, sampai matanya melihat seseorang yang sedang mengintipnya lewat kaca jendela.

"Ralika."

Ilham, Ardan dan Afdi langsung menoleh ke arah pandangan El, tepat melihat seseorang yang melihat melalui jendela. El tersenyum melihat Ralika, ia mengeluarkan tangan kanannya dari dalam mobil---bermaksud melambaikan tangan.

Untuk sedetik Ralika terdiam kemudian langsung membalikan badan. Dalam benaknya masih tak percaya cowok berambut coklat itu sedang berada di depan rumahnya. Apa cowok itu mengikutinya, tadi?

"Ika, pulpennya?!"

Niken sedikit berteriak. Ralika menghela napas, mencoba mengabaikan cowok biang onar itu.

"Ini Tante."

Ralika menyodorkan pulpen dan kertas pada Niken.

"Makasih sayang," ucap Niken, Ralika menganguk kemudian kembali terduduk di sofa.

Ralika mencoba tak peduli tapi, pikirannya masih tertuju pada El. Ralika kembali mendekat ke arah jendela memastikan cowok berambut coklat itu telah pergi. Benar saja, mobil hitam yang berada di depan rumahnya kini sudah pergi.

"Ternyata dia udah pergi," gumamnya. Setidaknya, dia harus berhati-hati mulai hari ini, bisa saja cowok itu akan semakin masuk dalam hidupnya. Ralika tak mau ada orang yang mampu menembus benteng pertahanannya, termasuk cowok itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status