Share

Chapter 5

Ralika masuk ke kelas pada jam istirahat. Ia tak bisa masuk pelajaran pertama karena harus mengawasi cowok tak tahu malu itu membersihkan toilet, meski sebenarnya Ralika harus menghela napas ribuan kali, mendengar gombalan receh tak bermanfaat El. Bagaimana pun ia tak mau mengabaikan amanat Bu Rina, dengan pergi karena jenuh mendengar perkataan tak berguna cowok itu.

"Ika!"

Matanya tertuju pada seorang cewek berambut ikal yang mendekat ke arahnya dengan membawa sebuah buku sambil senyum melebar.

"Nih."

Ralika bergeming menatap sebuah buku yang di sodorkan Lea. "Untuk apa?"

Lea tersenyum, cewek itu menarik tangan Ralika lalu meletakan buku tulis itu di telapak tangannya.

"Ini buku catatan gue, tadi 'kan lo nggak masuk kelas gara-gara gantiin Bu Rina. Jadi, lo pinjem aja buku catetan gue."

Ralika menatap Lea tidak berekspresi kemudian matanya turun menatap buku tulis tersebut, perlahan tangannya membuka tiap lembar buku itu dengan teliti. Catatan materi di buku itu lengkap, semua rangkuman tersusun rapi.

Ralika kembali mendongak menatap Lea yang seperti menunggu responnya. Ia cukup tau, cewek di hadapannya ini paling malas dalam urusan catat mencatat, walau ia cuek dengan segala yang berhubungan dengan dunia, tapi Ralika tak bisa mengelak, dirinya cukup tau bagaimana sikap Lea selama ini, walau tak banyak.

"Bukannya, kamu paling nggak suka mencatat?"

Lea menggaruk tengkuknya. "Iya sih, gue emang males kalau yang namanya nyatet. Tapi, gue paksain nyatet buat lo."

Ralika diam. Matanya menatap ke sekeliling kelas yang nampak sepi. Ia berjalan ke arah bangkunya langsung memasukan buku catatan yang di berikan Lea ke dalam tasnya.

"Ka, ke kantin yuk! Gue yang traktir, deh," tawar Lea.

"Saya nggak laper."

"Ya sekali ini aja, gue 'kan temen lo. Masa sama temen sendiri aja kayak gitu," ujar Lea pura-pura merajuk.

Ralika menghembuskan napas pelan saat mendengar kata teman.

"Kamu? Teman saya?"

Lea mengangguk cepat. "Ya teman, emang sih, lo nggak pernah anggap gue temen. Tapi gue tetap mau jadi temen lo, gue maksa lo jadi teman gue!"

Lea dengan semangatnya berucap seperti itu. Mungkin, bagi orang sekitar, Ralika hanya cewek flat tanpa ekspresi, si tangan kanan guru yang kerjanya cuman menghukum murid. Tapi, baginya Ralika adalah gadis hebat. Seperti wonder woman.

"Lo 'kan kerjaannya ngehukum orang, sekarang giliran lo yang gue hukum. Yaitu makan bareng gue." Tanpa persetujuan dari Ralika Lea menarik tangan cewek itu keluar dari kelas.

☁☁☁

"Duh, sumpah gue laper banget!"

El langsung mengambil semangkuk mie ayam di hadapan Ilham setelah memakan semangkok mie ayam yang baru saja dihabiskannya. Tentu saja Ilham langsung melotot. "Eh, itu mie ayam gue!"

Ilham mendengus melihat El yang kini memakan mie ayamnya dengan lahap. Dia seperti orang yang belum makan selama seminggu dan baru mendapat jatah makan hari ini.

"Lo kayak orang kurang makan, tau nggak?" celetuk Ardan dengan santainya.

El melirik Ardan kemudian kembali melanjutkan makannya sampai ke mie terakhir di mangkuk, sama sekali tak peduli---yang penting kenyang.

"Gue laper banget, tadi nggak sempet sarapan," ucap El, sambil meraih segelas air lalu meminumnya. Ketiganya saling pandang.

"Kan emang lo sengaja nelatin diri buat ketemu Ika," balas Afdi santai.

El menghentikan kunyahannya dengan mie yang masih bergelayut di mulut, ia menyengir sambil mengusap tengkuk. "Iya sih, nggak apa deh gue laper. Perjuangan mendapatkan sang pujaan hati."

Ketiganya mencebik bersamaan, menanggapi perkataan El yang sok puitis lagi dramatis.

"El, tuh ...."

El mengernyit, sama sekali tak mengerti dengan apa yang Afdi katakan, alisnya naik turun dengan dagu sedikit terangkat, menunjuk satu arah. "Apaan sih?"

Afdi berdecak, sepertinya tingkat kepekaan El telah terkuras habis gara-gara dihukum tadi, sehingga tak mengerti kode yang sudah sangat jelas Afdi lemparkan. "Itu, ada Ika," bisiknya.

Mendengar nama Ralika, El langsung memutar tubuhnya. Matanya tertuju pada dua orang cewek yang baru saja memasuki kantin. Dari kejauhan nampak jelas Ralika diam tanpa ekspresi sementara Lea nampak sedang berbicara, lebih tepatnya mengoceh, entah apa itu.

Senyum bulan sabitnya mulai terbentuk, pandangan mata El terkunci pada pada mata bulat Ralika yang selalu ingin ditatapnya.

"Cantik banget, sih, kayak gitu aja udah cantik, gimana kalau senyum," gumamnya yang tentu saja terdengar oleh ketiga temannya. Bagi mereka itu terdengar mustahil.

"Ika? Senyum? Yang bener aja El. Kita hampir dua tahun sekolah di SMA Dharma, nggak pernah yang namanya ngeliat tuh cewek senyum."

El mengalihkan perhatiannya menatap Afdi yang mengatakan hal yang membuatnya mengangkat alis, penuh tanya. "Beneran Ralika nggak pernah senyum?"

"Yey beneran lah. Kalau nggak percaya tanya aja Ardan, betul nggak, Dan?" Ardan mengangguk tanda membenarkan.

"Emang kita nggak pernah ngeliat Ralika senyum," timpalnya.

El kembali melihat ke arah Ralika yang tak jauh darinya, gadis itu sekarang duduk sendiri tanpa ditemani Lea, mungkin cewek itu sedang memesan makanan. El menopang kepalanya dengan mata yang masih terfokus pada satu titik, memang selama beberapa hari ini, Ralika nyaris tak berekspresi apa-apa. Bahkan, selalu menampakan wajah yang terkesan flat dan cuek.

Tanpa diduganya Ralika balik menatap ke arahnya, membuat El langsung memperlihatkan senyum lalu melambaikan tangan. Tapi tak berlangsung lama, seketika Ralika mengalihkan tatapannya.

El berdiri dari duduknya. Ketiga temannya hanya saling pandang kemudian menghela napas bersamaan, mereka sudah tau ke mana tujuan El sekarang.

"Hai!"

Ralika menatapnya sekilas, sama sekali tak berniat membalas sapaan cowok itu. El sama sekali tak melunturkan senyumnya, bahkan persetujuan Ralika, ia langsung duduk tepat berhadapan dengan cewek itu.

"Ngapain kamu di sini?" tanya Ralika akhirnya.

"Mau duduk, gue nggak akan dihukum 'kan kalau duduk di meja kantin?" Nada bicaranya santai, tapi terkesan menyidir di gendang telinga.

"Kamu bisa 'kan cari tempat duduk yang lain?"

El menggeleng. "Pengennya gitu, cuman, kayaknya ada sesuatu yang narik gue ke sini."

Ralika tak menjawab. Percuma ia berkata, yang ada cowok itu akan terus mengoce dan berujung dirinya yang emosi. Untuk sesaat tidak ada percakapan di antara mereka. Bagi Ralika suasana tenang sangat disukainya, tapi lain halnya untuk cowok berambut coklat itu. Biasanya ia akan berkata ceplas-ceplos mengenai banyak hal, sekalipun pada orang yang baru dikenal, tapi sekarang, suasananya berbeda, diam tanpa bicara. Itu sangat bukan dirinya.

"Tumben banget lo mau ke kantin."

Ralika melirik ke arah samping. Entah sejak kapan, Neta sudah berdiri dengan tangan terlipat sambil menatapnya sinis. El mendongak, nampaknya Neta tidak menyadari bahwa di sana masih ada orang lain, selain Ralika.

"Kalau Ralika ke kantin, apa urusannya sama lo?"

Neta menggerakan matanya, untuk sekejap tertegun menatap cowok tampan di hadapannya.

Gila, ganteng banget nih cowok.

Ia langsung melupakan tujuan awalnya mendekat. Neta merapikan sebagian rambutnya ke depan kemudian menampakan senyum semanis mungkin. "Lo anak baru ya?"

El mengernyit. Bukannya menjawab pertanyaannya Neta, ia malah menanyakan namanya dengan nada yang dibuat-buat.

"Misi-misi bakso panas."

Lea datang membawa dua mangkuk bakso panas di sebuah nampan. Lea mendekat, berjalan ke samping bangku di mana Neta ada di sana, ia tak peduli dengan mata Neta yang melebar karena sikunya menyenggol lengan gadis itu.

"Eh, Neta ... ngapain lo ke sini mau makan juga?" tanya Lea seolah baru menyadari kehadiran Neta.

Neta melirik Lea  sinis, tanpa berniat membalas perkataan cewek itu. Sekarang yang perlu dilakukan Neta adalah jaga image, buat sikap seanggun dan semanis mungkin.

"Kita belum kenalan 'kan? Gue Neta cewek paling cantik di SMA Dharma."

Neta mengulurkan tangan dengan senyum yang masih mengembang, bermaksud membuat cowok itu terpesona.

Lea melihat El dan Neta bergantian. Pantas saja cewek itu tidak mengeluarkan kata-kata kasar seperti biasanya, ternyata sebabnya itu toh. El terdiam sesaat membiarkan tangan Neta mengambang di udara. Matanya diam-diam melirik Ralika yang juga sedang menatapnya.

Sedetik kemudian, El membalas uluran tangan Neta dengan senyum yang tak kalah manisnya. "Gue El, murid pindahan seminggu yang lalu."

El melepas jabatan tangannya, dengan mata yang terus melirik Ralika yang setia bungkam.

"Lo bilang katanya lo cewek paling cantik 'kan?" Neta dengan percaya dirinya mengangguk seraya terus tersenyum.

"Tapi bagi gue," matanya terfokus ke depan, "Ralika lebih cantik."

Skakmat!

Lea langsung membekap mulutnya sendiri, hampir saja suara tawa akan keluar dari mulutnya setelah mendengar perkataan El yang dirasa sangat menohok hati Neta. Kapan lagi coba, Neta, seorang cewek yang merasa dirinya cantik seperti bidadari mendapat perlakuan demikian dari dari seorang cowok, apalagi cowok itu adalah anak baru. Benar-benar langkah.

Neta pergi sambil menghentak-hentakan kakinya. Sekilas, ia melirik Ralika penuh kebencian, tak ada yang paling dibencinya selain cewek itu.

☁☁☁

"Masukin baju kamu!"

El dengan polosnya mengangguk, lalu menunuduk merapikan bajunya secepat kilat. Senyumnya setia mengembang, daritadi ia memang menunggu Ralika untuk bicara. Sejak kejadian di kantin, cewek itu semakin cuek padanya. Bahkan terkesan tidak menganggap dirinya ada, Lea sendiri sejak tadi menghilang dengan alasan ingin pergi ke toilet.

"Lo mau ke mana?" El sedikit berteriak melihat Ralika akan melangkah ke arah lorong. Cewek itu berbalik.

"Kamu punya jam?" El mengangguk cepat, "kalau gitu sekarang jam berapa?"

El mengangkat lengannya. "Jam sepuluh lima belas."

"Ini waktunya masuk kelas."

El baru ingat bel telah berbunyi nyaring tadi. Mungkin terlambat bagi El menyadari kalau tempatnya sekarang tak jauh dari kelas Ralika.

"Oh bel ya," El tersenyum bodoh. "Kalau gitu gue ke kelas dulu. Lo belajar yang rajin ya."

Ralika tak menjawab, ia memutar tubuhnya membelakangi El, tapi tidak bisa dipungkiri senyum miringnya terbentuk, perkataan El sungguh sangat polos atau pura-pura polos?

Namun, hal itu tak bertahan lama, cewek itu langsung tersadar saat dirinya teringat akan sesuatu. Ralika langsung melangkah masuk ke kelasnya.

"Kayaknya Ralika ngehindar banget dari gue," gumam El dengan pandangan lurus, memperhatikan punggung Ralika yang menjauh hingga akhirnya menghilang.

"Ya kalau mau dapatin Ika itu perlu perjuangan."

Ia segera menoleh ke belakang. Lea berjalan mendekat.

"Ika bukan cewek sembarangan. Dia nggak ada duanya, harus cowok sejati yang bisa nyairin hati bekunya." El memicingkan mata, dengan alis menaut.

"Ngapain ngeliatin gue kayak gitu?" ketus Lea.

"Bukannya lo kemaren nggak suka gue deketin Ralika?"

Lea mengedikan bahu. "Mungkin lo harus diberi kesempatan. Ika itu butuh orang yang selalu sayang dia, tapi tetap lo bakalan terus gue awasi!"

Usai berkata seperti itu Lea berjalan masuk ke kelasnya. Meninggalkan El yang masih melongo, tak percaya dengan apa yang didengarnya. Sedetik kemudian, El langsung melompat seperti orang gila, membuat beberapa orang yang tak sengaja lewat memandangnya heran.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status