Share

Chapter 4

El bersiul pelan sambil menyisir rambutnya ke arah belakang. Afdi dan Ardan terfokus pada layar playstation yang menampilkan permainan football, sedangkan Ilham, cowok itu asyik sendiri menikmati keripik kentang bumbu balado ukuran jumbo di tangannya.

"Woh, ganteng banget gue," celetuk El menatap pantulan dirinya di cermin.

"Dari tadi yang ada ngurusin rambut mulu, kayak cewek aja," timpal Ilham kembali memasukan keripik kentang ke mulutnya.

Afdi dan Ardan masih setia pada permainan mereka. Sama sekali tak terganggu dengan celotehan keduanya.

"Kayak nggak tau aja, orang kasmaran kan emang 11 12 sama orang gila," ujar Afdi tanpa menoleh.

El mengambil bantal di atas kasurnya. Melempar asal ke arah Afdi yang masih setia menatap layar permainan, dan tepat sekali mengenai wajahnya.

"Allahuakbar."

"Yes, gue menang," girang Ardan detik itu juga.

Afdi mendengus kecewa. Ia kalah permainan karena tiba-tiba di timpuk. Yang tadi awalnya fokus mencetak gol jadi buyar seketika dan berujung kebobolan.

"Tuh kan El, gue kalah, lo sih!"

El mengedikan bahunya acuh lalu berjalan duduk di samping Ilham, langsung saja merampas keripik kentang di tangan cowok itu.

"Busyet dah, main rampas aja lo!"

El mengunyah keripik kentangnya. "Sekarang gue tanya, nih keripik lo dapat dari mana?"

"Di dekat PS."

"PS-nya punya siapa?"

"Lo,"

"Berarti ini punya ...."

"Lo,"

"Nah, tuh ngerti." El kembali memasukan tangannya ke dalam plastik, mengambil beberapa keripik dan langsung di masukan ke mulutnya. Ilham mendengus, pandangannya langsung berubah menatap Afdi yang masih bergumam tak jelas.

"Eh Afdodol gantian. Enak aja lo 'kan tadi udah perjanjian siapa yang kalah nanti gantian sama gue."

Afdi mendengus, meskipun tak rela, ia berdiri dari posisinya. Ilham sempat menepuk punggung Afdi, sebelum akhirnya mengambil Stick PS.

Afdi menghempaskan bokongnya ke sofa dengan mata yang melirik El yang sedang memakan keripik, sesekali menjilati tangan kanannya.

"Ih jorok amat sih, lo, jilatin tangan!"

El menoleh sebentar lalu kembali fokus pada keripiknya. "Abis enak, bumbunya nempel di tangan 'kan sayang."

"Ah, elah lo."

Untuk sesaat mereka terfokus pada layar permainan. Ardan dan Ilham menggerakkan tombol stick-nya, saling menyerang satu sama lain.

"Lo beneran suka Ika?" tanya Afdi penasaran.

El menggapai air yang ada di atas meja. Meminumnya sampai habis lalu kembali melihat Afdi. "Kalau iya, kenapa? Lo suka dia juga, kalau emang, gue saranin lo mundur baik-baik."

Afdi mendengus, bukan seperti itu maksudnya. Cowok itu salah mengerti, lagian sebelum mengincar Ralika ia harus siap secara mental dan fisik.

"Ya nggak, gue bukannya suka sama Ika. Gue cuman heran aja, lo kok bisa suka sama dia?" Kembali Afdi bertanya.

El mengedikan bahunya.

"Nggak tau, dia terlalu menarik." El kembali memakan keripiknya sampai habis, "lo tau nggak Ralika suka apa?"

Afdi menggeleng cepat. "Mana gue tau, emang gue emaknya."

"Ya elah, biasa aja keleus. Gue nanya baik-baik."

Afdi melirik El sekilas. "Iya-iya, yang gue tau Ika itu orangnya memang tertutup. Kaku gitu, tapi jago banget berkelahi."

El tercengang, kagum.

"Hebat banget."

Afdi memutar bola matanya. "Aduh, ternyata selain bego, lo juga pelupa. 'kan udah gue jelasin waktu awal lo masuk."

El menggaruk tengkuknya, ia sama sekali tak tersinggung Afdi mengatakan bego. Bahkan julukan yang lebih parah malahan. Tapi, pelupa? Memangnya kapan Afdi bicara tentang Ralika?

"Emangnya kapan?"

"Udah lupain, mau denger lagi nggak?"

El langsung diam kemudian mengangguk kecil.

"Orangnya agak galak gitu. Bahkan, gue nggak pernah ngeliat dia berinteraksi sama orang lain, kecuali pas rapat OSIS atau ngehukum orang. Kayaknya dia nggak minat punya temen."

El tertegun. Apa Ralika sedingin itu sampai-sampai teman saja tidak punya?

"Tapi, cewek rambut pendek yang nyamperin Ralika di lapangan kemarin, katanya temennya. Pake bawain Ralika air minum malah."

El tidak tau nama cewek itu. Lagian juga dia tidak mau tau, enak saja mengatakan dirinya playboy walau kenyataan ia sering menggoda cewek. Tapi, bukan berarti playboy 'kan?"

"Maksud lo Lea? Tuh cewek memang dari awal sok akrab sama Ika. Memang sih, dia sering bilang temennya Ika. Tapi, kayaknya Ika nggak pernah anggap Lea temennya deh, kasian amat."

☁☁☁

El melirik arloji yang melingkar di tangannya. Di telinganya terpasang earphone yang memutar salah satu lagu dari One Direction, sesekali kepalanya mengangguk-angguk mengikuti nada musik.

"Mas, daritadi muter-muter. Kapan saya nganter mas ke sekolahnya?" tanya Jodi, supirnya, yang sejak tadi bingung. El melepaskan sebelah earphone-nya.

"Tunggu 10 menit lagi, Pak. Muter-muter aja dulu. Nanti baru ke sekolah," ucap El tetap tenang.

"Kalau nanti Mas telat gimana?"

"Santai aja, Pak, emang itu tujuan saya."

Jodi melihat El dari kaca spion depan mobil, dengan pandangan bingung. Aneh sekali? Disaat semua orang datang lebih pagi ke sekolah agar tidak terlambat majikannya itu justru sengaja melambatkan diri.

Untuk beberapa menit Jodi terus melakukan mobilnya memutari area jalan, selama sepuluh menit tentunya.

"Nah, udah pas jamnya, baru ke sekolah, Pak."

Jodi mengangguk. Ia memutar setop kontak mobil menuju arah tempat yang seharusnya menjadi tujuan.

Tepat di depan gerbang sekolah. El turun dari mobil, setelah melambaikan tangan pada Jodi. Mobil hitam itu melaju dengan kecepatan normal meninggalkan area.

El menjinjitkan tubuhnya menatap ke dalam gerbang. Dari sana, ia bisa melihat seseorang sedang berdiri. Dengan langkah santai El berjalan mendekat.

"Selamat pagi!"

Dadang menoleh mendapati El tengah tersenyum. Beberapa murid ikut menoleh dengan tas yang masih tersampir di punggung mereka. Mereka murid terlambat.

"Gue telat ya. Duh sorry kesiangan."

El dengan seenaknya baris. Langsung berdiri di depan seseorang yang sedang kini sedang menatapnya datar.

"Gue dapat hukuman 'kan, Ra?"

Semua orang menatap El tak percaya. Ralika menatapnya sekilas, sama sekali tak berniat membalas perkataan El yang dengan terang-terangan meminta hukuman.

Perhatian Ralika teralih memandangi semua murid tak tau aturan di depannya.

"Kalian tau sekolah ini punya peraturan?" Mereka semua diam. Beberapa, memang adalah kakak kelas Ralika. Namun, tak ada yang berani protes.

"SMA Dharma menerapkan peraturan agar datang jam 7.15 pagi," lanjutnya. "Sekolah ini punya peraturan, kalian tidak bisa datang seenaknya."

Ralika jadi seperti guru BK yang sedang menegur muridnya, wajahnya sangat kontras dengan hawa sekitar yang terasa menegangkan. Semuanya masih tetap diam tak berani bersuara, meski begitu El tetap saja memperhatikan Ralika tanpa sedikitpun beralih.

Ternyata perkataan Afdi kemaren tidak sia-sia.

"Ika itu orangnya tertib banget dan kalau ngehukum nggak tanggung-tanggung, kayak guru BK."

"Kalau guru BK-nya cantik kayak Ralika gue rela dihukum."

Afdi memutar bola matanya. "Setiap Hari Rabu, biasanya Ika gantiin Bu Rina, yang ada keperluan di luar sekolah. Dia yang bakal ngehukum murid yang terlambat," jelas Afdi.

El memegang dagunya. "Kalau gitu gue harus telat," ujarnya mantap.

"Hah?"

Ternyata benar apa yang dikatakan Afdi, El kira temen sebleng-nya itu berbohong. Tapi tidak, mungkin setelah ini dia akan mentraktir Afdi nanti.

"Kalian pergi ke lapangan, hormat pada bendera."

Mereka pergi dari tempat berdiri langsung pergi menuju lapangan. Tapi, tidak dengan El, cowok itu sama sekali tak beranjak dari tempat berdirinya, bergeser saja tidak.

"Kamu ngapain masih di sini? 'Kan saya sudah bilang tadi hukumannya."

"Ya, gue nggak mau sama kek gitu, terlalu mainstream. Yang lain deh, kayak dinovel-novel gitu. Hukumannya gue jadi pacar lo," ujarnya tanpa beban sedikitpun.

Ralika melebarkan matanya. Yang benar saja, cowok itu berkata sesantai itu?

"Ini kehidupan nyata bukan cerita fiksi. Kamu itu sekarang murid SMA Dharma dan wajib mengikuti segala peraturan yang ada!"

El memasukan kedua tangannya ke saku celana. Di sekolahnya dulu saja ia tidak mau mengikuti peraturan, bahkan absennya bolong-bolong.

"Justru itu, gue kira hukumannya nggak sebanding. Kalau cuman berdiri sambil hormat di tiang bendera itu terlalu biasa buat gue."

Ralika menghembuskan napas kasar. Percuma saja berdebat dengan cowok itu. "Baiklah, sekarang kamu bersihin toilet yang ada di dekat kelas 10."

El tersenyum. "Okey, tapi nggak ada jaminan kalau gue nggak bakal kabur.

"Kamu mau kabur?"

El mengedikan bahunya. "Nggak tau, tapi daripada gue kabur lebih baik lo awasin gue di sana, yuk."

El sedikit lagi menggapai tangan Ralika, tapi dengan cepat cewek itu menepisnya kasar

"Kasar banget," gumamnya sambil meringis.

"Saya sudah bilang, kamu jangan kurang ajar! saya bisa saja bikin kamu babak belur!" Setelah berkata seperti itu Ralika berjalan terlebih dahulu.

"Eh tunggu dong!"

El berusaha mengejar hanya saja ia sedikit kesusahan menyamai langkah Ralika yang bisa dikatakan cepat.

Mereka berdua melalui koridor yang nampak sepi dikarenakan pelajaran sudah dimulai.

Sesampainya di toilet Ralika berhenti, ia memutar tubuh menghadap El yang berlari di belakangnya lalu berhenti dengan nafas masih terengah.

"Lo jalan cepat banget, sih?!"

Ralika tetap diam, tidak berniat membalas ucapan El. Ia melirik ke arah toilet yang terbuka. "Cepat bersihkan! saya tunggu disini."

El menghembuskan nafas kasar. Tak pernah dalam hidupnya yang namanya menerima hukuman. Okey, memang di sekolah lamanya dulu ia sering membolos dan seringkali keluar masuk BK, guru pun juga sudah angkat tangan menanggapi sikapnya yang kelewat jahil. Kalau pun dia mendapat hukuman, El pasti akan segera kabur dan menyuruh adik kelas atau anak cupu yang menggantikannya.

El mengambil alat pel di dekat dinding. "Okey, gue bakal bersihin nih toilet."

Belum sampai menuju pintu toilet El berbalik menatap Ralika kemudian tersenyum. "Kalau yang ngawasin cantik kayak lo, gue bakal mau di hukum tiap hari."

Ralika masih diam. Melihat tingkah El yang membuatnya heran sendiri. Bahkan, saat dihukum pun tetap saja punya cara untuk merayunya. Aneh sekali.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status