Jemima segera menoleh kebelakang, dia jadi tidak enak hati.
“Bukan.” Jawabnya tegas.Dia merasa malu sendiri karena fantasi konyolnya yang terlintas begiru liar di dalam kepalanya.Saat keluar dari rumah sakit, pria itu pikir wanita aneh itu akan menghentikan taksi untuk transportasi mereka pulang, tapi dia salah karena dia masih harus terus berjalan mengikuti wanita tersebut..“Mau kemana kita?” tanya pria itu lagi, tampaknya dia mulai sangat penasaran.Jemima menunjuk sesuatu yang masih cukup jauh di depan sana.“Halte bus?”Jemima mengangguk dengan wajah datar, “ayo hitung-hitung kita berolahraga.” Katanya.“Tunggu dulu? Ada apa dengan dia, bukannya pekerjaan gelandangan itu berpindah-pindah dan berjalan kaki tanpa akhir?” tanya Jemima, lirih karena tak bermaksud sarkas. Dan tentu saja pertanyaannya itu tak mungkin terdengar oleh pria itu karena dia berbicara sendirian.Akhirnya mereka tiba di halte bus, pria itu mengikuti Jemima dan duduk di kursi yang tersedia, siang bolong di musim dingin begini tak ada satu orang pun penumpang yang menunggu bis manapun, kecuali para pengangguran.Bus berwarna biru bertuliskan ‘jalan Springbrook’ itu pun berhenti di depan mereka, Jemima berdiri lalu menaiki kendaraan itu, diikuti pria di belakangnya. Mereka berdua duduk satu jajar, pria yang jarang bicara itu pun memilih menutupi kepalanya untuk kembali berpura-pura tidur.Begitupun dengan Jemima, pikirannya saat ini sedang semrawut, hidupnya saja sudah kacau dan kini dia malah membawa pria asing pulang ke rumahnya. Tapi selagi dia berpikir negatif, gadis itu kembali sadar diri, kalau saja bukan karena gelandangan ini… mungkin dia sudah diculik dan dilecehkan oleh Ian bersama kedua temannya.“Hey, ayo turun!” Ajak Jemima berseru sambil sedikit menarik pakaian pria penolongnya.Pria yang memang berpura-pura tidur itu pun segera bangun, “sudah sampai?” tanyanya sambil celingak clinguk.“Hump!” jawab Jemima terdengar malas.Pria itu tampak mengikuti saja kemana arah gadis itu membawanya, lagipula saat ini dia tak memiliki uang sepeserpun jika melanjutkan rencananya.Dari halte bus tempat keduanya berhenti, mereka masih harus berjalan melewati gang untuk menuju ke rumah si gadis, entah kenapa pria itu sangat penasaran tentang semiskin apa gadis yang sudah ditolongnya ini.“Masih jauhkah?” tanya pria itu datar, berusaha memecah keheningan.“Tidak, satu gang lagi.” Jawab Jemima sambil menunjuk ke arah yang dituju.Beberapa lama kemudian mereka tiba di sebuah rumah susun, mereka masih harus berjalan menaiki banyak sekali anak tangga karena ternyata tempat tinggal gadis itu berada di lantai paling atas.“Rumah yang sepi, lalu kenapa juga susah payah dengan tinggal di balkon atas?” tanya pria itu lirih, maksud hati berbicara dan bertanya pada dirinya sendiri.“Hanya yang paling atas yang paling murah.” Jawab Jemima yang tak sengaja mendengarnya.Pria itu terlihat terkejut dengan jawaban Jemima.Jemima melirik sejenak sambil tersenyum lembut, “untuk orang yang nyaman tinggal dijalanan seperti kamu, sepertinya kurang wawasan tentang betapa mahalnya sewa rumah di kota besar ini.” ungkapnya setengah mencibir.Pria itu pura-pura mengangguk saja, lagipula rasanya tidak sopan dan bisa-bisa diusir kalau dia terus-terusan berkomentar seperti tadi.“Sudah sampai, ayo silahkan masuk.” Ajak Jemima sambil menjulurkan tangannya, mempersilahkan tamunya masuk lebih dulu.Pria itu melangkahkan kakinya sambil melihat kesana kemari, dia sangat terkejut begitu sudah berada di dalam ruangan itu.Apa ini tempat tinggal atau sarang burung? Batin pria itu sambil memandang sekeliling.“Duduklah, aku akan membuatkanmu minuman.” Kata Jemima.Pria itu membalas dengan anggukan bingung, dalam satu ruangan itu ada satu sofa panjang yang terdapat meja di depannya, lalu di belakang sofa itu ada dapur kecil yang hanya disekat oleh meja makan kecil dengan model memanjang, sepertinya itu meja makan minimalis. Lalu di depan sofa juga dapur itu ada sebuah ranjang khas ranjang seorang gadis yang bertingkah bak seorang putri dengan tempat tidur berwarna pink pastel yang dilengkapi kelambu berwarna senada, kasur dan bantalnya tampak sangat empuk, terlihat akan sangat nyaman bila tidur di atasnya.Ruangan yang cukup menarik, batin pria itu sambil manggut-manggut.Melihat tingkah tamunya itu, Jemima hanya sesekali tersenyum.“Bukankah tempatku sangat nyaman?” tanya Jemima dari belakang.Nyaman? Apanya yang nyaman? Ruangan ini benar-benar tak layak dihuni manusia. Batin pria itu dengan kepala mengangguk, tingkahnya berbanding terbalik dengan ungkapan yang ada di dalam hatinya.“Hump, silakan diminum.” Kata Jemima menyodorkan minuman jeruk yang baru saja dibuatnya.Pria itu kembali mengangguk sambil sesekali terlihat meraba-raba sofa yang didudukinya.“Nah, apa kubilang… nyaman ‘kan? Daripada harus tinggal dijalanan?” tanya Jemima lagi.Aduh… susah menanggapi orang yang terlalu percaya diri begini. Batin pria itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, ekspresi itu dibalas senyuman oleh Jemima yang menurut pikirannya jika pria itu sangat kagum dengan rumah tempat tinggalnya tersebut.“Ayo diminum, biar sehat. Ingat, tubuh kamu itu butuh nutrisi.” Kata Jemima lagi, keningnya berkerut dan matanya melihat ke arah minuman di depannya.Pria itu membalas dengan anggukan dan senyuman hambar, entah senyuman apa itu baginya tapi bagi Jemima masih diartikan senyuman kagum yang ditujukan untuknya.Ck! Pria yang sisa hidupnya dihabiskan di pinggir jalan, mana paham yang namanya kenyamanan. Batin Jemima sambil berdiri dari duduknya.“Oh iya, nanti sore aku harus pergi kerja. Kamu boleh tidur, istirahat di rumah ini sampai kamu sembuh.” Kata Jemima.“Kerja? Bukankah kamu terluka?” tanya pria itu tampak terkejut.Jemima mengibaskan telapak tangannya, “belum melukai usus. Ini hanya luka ringan,” balasnya.Pria itu tak bisa berkata-kata saat mendengar jawaban gadis itu, sepertinya gadis ini sangat pekerja keras dan tak mudah terpuruk. Padahal semalam dia sudah melewati tragedi yang membahayakan hidupnya, dia jadi malu sendiri karena sebagai pria pikirannya ternyata terlalu dangkal juga lemah.“Oh iya, apa kamu sudah lapar? Aku mau buatkan makan siang dulu, kamu bisa makan apa aja ‘kan?” lanjutnya bertanya.Tentu tidak. Batin pria itu, tapi dia tak berani langsung menjawab dengan kalimat tak tepat itu.“Bagaimana dengan ini?” tanya Jemima sambil menggoyang-goyangkan sesuatu, terdengar seperti makanan yang dibungkus.Pria itu menoleh, apa itu? batinnya lagi saat melihat dua bungkusan di tangan Jemima.“Bagaimana? Kamu suka yang pedas?” tanyanya lagi disertai kelingan mata dan ekspresi imut, seakan bungkusan itu sangat enak dan berharga.“Musim dingin begini… paling enak makan yang pedas.” Katanya sambil menuangkan air ke dalam wadah alumunium dan meletakkannya di atas kompor yang baru saja dinyalakannya.Cih! dia yang bertanya, dia juga yang menjawab. Batin pria itu.“Kamu mau yang mana? Yang pedas atau yang gak pedas?” tanya Jemima lagi, dia masih menunggu keputusan pria asing itu.“Terserah kamu saja.” Jawab pria itu lirih, sebaiknya kalimat itu saja yang dia katakan dan memendam rasa penasaran terhadap bungkusan itu belakangan saja.Jemima tampak memilih-milih kedua bungkusan mie instan itu, lalu dia mengangguk-angguk sendiri.“Oh iya, nama kamu siapa?”“Namaku Jemima, kamu bisa memanggilku Jemi.” Ungkap Jemima, entah kenapa dia merasa senang saat ada seseorang yang bisa diajaknya bicara seperti ini.Hump… mulutnya benar-benar tak bisa diam. Batin pria itu sambil menghela napas.“Hey! Nama kamu siapa?”“Namaku Jemi.” Tegurnya lagi.“Ekhem! Namaku… namaku… Julian, ya. Julian.” Jawab pria itu terdengar ragu.“Oh ya? Nama yang bagus. Aku yakin kamu hanya bangkrut atau diusir dari rumah.” Kata Jemima berasumsi semaunya sendiri.“Maksudnya?” tanya pria yang yang kini memiliki nama Julian itu, dia tak mengerti maksud dari perkataan gadis itu.“Ya, mak
Jemima hanya berdiri mematung, air matanya terlihat mulai mengalir, gadis itu sudah berusaha tak menjatuhkan air mata dengan menggigit kuat bibir bawahnya. Tapi sepertinya itu tak berhasil, adegan itu terlihat sangat miris hingga rasa sakitnya terasa sampai ke ulu hati Julian.“Hey! Kamu siapanya? Pelanggannya?” tanya wanita itu pada Julian sambil menarik lengannya yang segera Julian tangkis, rasanya jijik dipegang-pegang wanita paruh baya yang dandanannya menor begitu.Julian hanya diam sambil menatap bengis ke arah wanita itu.“Uh! tatapanmu itu sungguh mengerikan.” Cibir wanita itu sambil bergidik.“Apa kau kira aku takut? Hah!” lanjutnya berseru, seolah menantang.Entah mengapa, baru kali ini Julian ingin menampar mulut seorang wanita setelah Sarah.“Dengar anak muda, saya berhak karena saya adalah ibu tirinya.” Ungkap wanita itu.Mendengar perkataan wanita itu, batin Julian merasa lega karena tadi dia sempat menebak profesi Jemima yang bukan-bukan.“Terus apa bagus seorang ibu tir
Jemima tampak terkejut dengan ancaman juga tamparan yang diterimanya barusan, dia refleks memegangi pipinya yang terasa panas, matanya terlihat merah karena amarah tapi dia juga tak bisa berbuat apa-apa.“Kenapa diam, Jemima?!” bentak sang ibu tiri, seolah tak merasa bersalah sedikitpun.Jemima menggeleng lembut, “maaf, Ibu. Aku tak bisa melakukannya.” Jawabnya tak berdaya tapi tetap pada pendiriannya yang keras kepala.Wanita itu tampak marah dan sekali lagi dia mengangkat telapak tangannya, namun entah kenapa dia tak jadi memukul wajah Jemima lagi.“Benar-benar tak tau terimakasih!” dengusnya sambil sesekali melihat ke arah pria asing yang masih duduk membeku di ruangan itu.Wanita itu maju mendekat ke arah Jemima, lalu membisikan sesuatu sebelum akhirnya pergi begitu saja.“Hutang ini harus kamu yang bayar, Ian tidak mau tubuh Sania!”Kedua mata Jemima sampai melotot, dia benar-benar tak habis pikir dengan wanita ini. Bahkan anak kandungnya sendiri pun diperjualbelikan, apalagi dir
Tubuh Julian bergerak disertai kedua matanya yang melebar, lalu dia melirik ke arah Jemima yang dari tadi sudah membuka kedua matanya, mereka saling menatap, Julian merasa terkejut sekaligus canggung.“Maaf.” Ucapnya pendek.“A-a-aku, turut berduka cita.” Lanjutnya lagi.Jemima mengangguk paham.“Lalu, berapa hutangmu hingga ayahmu itu terus menagihnya? Aku benar-benar tak habis pikir?” tanya Julian berupaya agar mereka melanjutkan obrolannya dan membuang jauh rasa canggung serta rasa bersalahnya terhadap Jemima.Jemima memperbaiki posisi duduknya dengan kembali menatap ke arah depan sambil menghela napas.“Delapan ratus lima puluh tiga juta.” Lanjutnya menjawab, kalimat tersebut terdengar begitu berat.“A-apa? Itu uang yang kecil.” Ucap Julian terdengar terkejut.Jemima melirik dan kembali menatap Julian, “apa? Uang kecil?”“Ekhem! ma-ma-maksudku… bagi ayahmu, itu uang yang kecil.” Jawabnya terdengar ragu.“Oh, ya, seharusnya itu uang yang kecil. Sayangnya… dia memang tak memiliki ua
Setelah mendengar pertanyaan dari Jemima kedua mata Julian melebar karena tercengang. Wanita itu masih tampak menatap ke arahnya dengan penuh harap.Berani sekali wanita ini, batin Julian dengan wajah ditekuk dingin.“Ah, lupakan saja. Maafkan aku,” kata Jemima tiba-tiba.“Sungguh pertanyaan yang konyol,” desahnya lagi sambil menahan tawa.Julian hanya melirik dan masih terdiam, sesekali pria itu mengernyitkan dahinya karena bingung.“Akh… lupakanlah pertanyaanku tadi, lagipula kita mau hidup seperti apa nanti.” Kata Jemima lagi.“Kita miskin, kita tak memiliki apapun, meskipun sebenarnya… itu bukan masalah.” Lanjutnya terdengar putus asa.“Ada apa dengan sikapmu?” tanya Julian karena penasaran.Jemima melirik ke arah pria itu sambil mengedikkan bahunya.“Kamu bilang itu bukan masalah, apa kemiskinan bukan masalah bagimu?” tanya Julian lagi.Jemima mengangguk tegas, “tentu saja.” Jawabnya.“Oh ya? lalu… kalau kamu miskin, mau berobat, mau makan enak, mau apapun itu, bukannya susah? me
Malam haripun berlalu, Julian sangat cemas karena sudah jam sepuluh malam, namun Jemima belum juga kembali pulang.Julian keluar dari ruangan itu dan saat berada di luar, dia bisa melihat jalanan dari atas sana, jalan itu adalah jalan yang tadi siang dia lalui bersama Jemima.Itu dia, batinnya saat melihat kemunculan seorang gadis yang dari tadi dicemaskannya.Terdengar suara langkah kaki semakin mendekat, Julian segera masuk kedalam rumah dan berpura-pura tidur.“Aku pu-lang … “ suara Jemima yang tadinya keras langsung dia pelankan.Apa dia sudah tidur? batinnya bertanya.“Sudah pulang?” tanya Julian sambil berpura-pura seakan dia baru saja terbangun dari tidur pulasnya.“Hey! maaf mengganggu,” ujar Jemima dengan tangan masih sibuk membuka sepatunya.“Kenapa tidur di sofa? badan kamu terlalu panjang, terlihat tidak nyaman.” Sambungnya.Julian memperbaiki pos
Julian menggeleng-gelengkan kepalanya setelah puas memandangi Jemima yang tampak mulai tertidur.“Ah… untung saja orang asing itu, aku.” Desahnya lembut sambil berdiri, memadamkan lampu dan tidur di tempat yang sudah Jemima siapakan untuknya.Tanpa mereka berdua sadari, keduanya tertidur dengan pulas, keberadaan Julian membuat Jemima merasa dijaga seseorang sehingga dia bisa tidur pulas dan bagi Julian entah kenapa kasur lantai itu membuatnya terhipnotis hingga bermimpi indah.Sungguh ajaib, batin Julian saat dia terbangun karena sinar matahari dari jendela ruangan itu menyorot tepat pada wajahnya.Beberapa saat kemudian, Jemima terbangun dari tidurnya, namun dia kaget saat kasur lipat yang ditiduri Julian sudah terlipat rapi dan orangnya tidak ada dimanapun,Jemima sampai mencarinya ke kamar mandi hingga ke balkon, sayangnya tidak ada lagi sosok itu.“Apa dia pergi?” tanya Jemima berbicara sendirian.“Ah, aku sungguh konyol.” Sambungnya terdengar putus asa.Bagaimana dia tak merasa put
Cukup sabar Julian menghadapi tatapan hina sopir taksi tersebut, dengan tenang dia mengeluarkan beberapa lembar uang, dia rasa uang itu cukup untuknya pulang ke kota Redapple.Julian menghela napas panjang, untung saja selama pengalamannya hidup di luaran dan jauh dari keluarganya, dia telah belajar sabar yang cukup banyak.“Ini, bukankah ini lima ratus dolar?” tanya Julian sambil menunjukkan uangnya.“Hump! cih!” decih sang sopir seakan masih belum puas mengejek Julian.“Apa kau mencurinya?” lanjutnya.“ … “Julian hanya terdiam dengan banyak pemikiran di dalam kepalanya, bagaimana mungkin ada manusia seperti sopir ini? dia bahkan sudah sabar menghadapi hinaannya, dia minta diperlihatkan uang, sudah Julian keluarkan uangnya, tapi apa yang terjadi? sopir itu masih belum puas terhadapnya, bukankah cukup sudah urusannya mengantar dia ke tempat yang mau ditujunya? tanpa harus banyak bertanya dia dapat u