Jemima hanya berdiri mematung, air matanya terlihat mulai mengalir, gadis itu sudah berusaha tak menjatuhkan air mata dengan menggigit kuat bibir bawahnya. Tapi sepertinya itu tak berhasil, adegan itu terlihat sangat miris hingga rasa sakitnya terasa sampai ke ulu hati Julian.
“Hey! Kamu siapanya? Pelanggannya?” tanya wanita itu pada Julian sambil menarik lengannya yang segera Julian tangkis, rasanya jijik dipegang-pegang wanita paruh baya yang dandanannya menor begitu.Julian hanya diam sambil menatap bengis ke arah wanita itu.“Uh! tatapanmu itu sungguh mengerikan.” Cibir wanita itu sambil bergidik.“Apa kau kira aku takut? Hah!” lanjutnya berseru, seolah menantang.Entah mengapa, baru kali ini Julian ingin menampar mulut seorang wanita setelah Sarah.“Dengar anak muda, saya berhak karena saya adalah ibu tirinya.” Ungkap wanita itu.Mendengar perkataan wanita itu, batin Julian merasa lega karena tadi dia sempat menebak profesi Jemima yang bukan-bukan.“Terus apa bagus seorang ibu tiri bersikap begini? Bahkan sampai menjual harga diri anak tirinya?” tanya Julian karena selain rasa penasaran, dia juga ingin memberi motivasi agar Jemima berani melawan wanita yang menindasnya itu.“Sadarlah! kamu tidak pantas menerima perlakuan ini, Jemi.” Kata Julian, tepat di depan wajah gadis itu.Jemima hanya berdiri sambil menundukkan kepalanya dengan air mata berjatuhan ke lantai.“Ayo bicara sesuatu!” desak Julian, pria pendiam itu jadi terdengar banyak bicara setelah kedatangan wanita paruh baya itu.“Cukup Julian! Biarkan saja wanita itu bersikap semaunya.” Balas Jemima yang akhirnya bersuara.Julian merasa kecewa tapi dia juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi hingga wanita ini terlihat begitu membenci Jemima, setelah selesai mengusap kepala Jemima yang basah oleh kuah mie instan tadi, akhirnya Julian memilih kembali duduk. Lagipula dia tidak mau keluar, dia tidak mau memberi ruang wanita itu untuk terus-terusan menindas Jemima.“Apa kau senang menjadi penonton?” cibir wanita itu, dia tampak ingin duduk tapi disana hanya ada satu sofa yang sudah diduduki pria asing bernama Julian itu.“Katakan padaku, apa maksud Anda datang kesini?” sahut Jemima, dia tak peduli meskipun ada pria asing di ruangan itu.“Kalau tentang Ian, maaf. Aku tak pernah meminjam uang pada pria itu, Anda sendiri yang meminjamnya untuk modal tambahan bisnis perusahaan suami Anda.” Lanjutnya.“Seharusnya Anda meminta pertanggungjawaban Sania, dia yang harus membayarnya. Bukan aku, semua yang terjadi dalam keluarga kalian tak ada hubungannya denganku. Bukankah keluarga kita sudah putus hubungan sejak lama?!” lanjutnya lagi.Wanita itu terlihat tak senang mendengar perlawanan Jemima, “bagaimanapun juga kau itu darah daging suami saya. Perusahaan ayahmu diambang kehancuran, Jemi.”“Apa kau tega melihat ayahmu jatuh miskin?” tanyanya.Jemima mengangkat kepalanya, lalu membalikkan tubuhnya dan membalas tatapan tajam wanita yang mengklaim sebagai ibu tirinya itu.“Lalu, apa selama ini kalian peduli keadaanku? Atas dasar apa, aku harus memperdulikan keadaan kalian?” balas Jemima, balik bertanya.“Dasar anak durhaka kau, Jemi. Seharusnya kau tak pernah dilahirkan, tidak berguna.” Maki wanita itu.“Sebaiknya Anda keluar dari rumah ini dan jangan pernah menginjakkan kaki di rumah ini lagi.” Usir Jemima sambil menunjuk ke arah pintu keluar.Wajah wanita itu tampak sangat murka, dia berjalan mendekat ke arah Jemima, lalu melayangkan tamparan kerasnya tepat di pipi gadis malang itu.PLAK!“Sebaiknya segera cari suami, kalau kamu tidak mau memberikan tubuhmu itu pada Ian!”Jemima tampak terkejut dengan ancaman juga tamparan yang diterimanya barusan, dia refleks memegangi pipinya yang terasa panas, matanya terlihat merah karena amarah tapi dia juga tak bisa berbuat apa-apa.“Kenapa diam, Jemima?!” bentak sang ibu tiri, seolah tak merasa bersalah sedikitpun.Jemima menggeleng lembut, “maaf, Ibu. Aku tak bisa melakukannya.” Jawabnya tak berdaya tapi tetap pada pendiriannya yang keras kepala.Wanita itu tampak marah dan sekali lagi dia mengangkat telapak tangannya, namun entah kenapa dia tak jadi memukul wajah Jemima lagi.“Benar-benar tak tau terimakasih!” dengusnya sambil sesekali melihat ke arah pria asing yang masih duduk membeku di ruangan itu.Wanita itu maju mendekat ke arah Jemima, lalu membisikan sesuatu sebelum akhirnya pergi begitu saja.“Hutang ini harus kamu yang bayar, Ian tidak mau tubuh Sania!”Kedua mata Jemima sampai melotot, dia benar-benar tak habis pikir dengan wanita ini. Bahkan anak kandungnya sendiri pun diperjualbelikan, apalagi dir
Tubuh Julian bergerak disertai kedua matanya yang melebar, lalu dia melirik ke arah Jemima yang dari tadi sudah membuka kedua matanya, mereka saling menatap, Julian merasa terkejut sekaligus canggung.“Maaf.” Ucapnya pendek.“A-a-aku, turut berduka cita.” Lanjutnya lagi.Jemima mengangguk paham.“Lalu, berapa hutangmu hingga ayahmu itu terus menagihnya? Aku benar-benar tak habis pikir?” tanya Julian berupaya agar mereka melanjutkan obrolannya dan membuang jauh rasa canggung serta rasa bersalahnya terhadap Jemima.Jemima memperbaiki posisi duduknya dengan kembali menatap ke arah depan sambil menghela napas.“Delapan ratus lima puluh tiga juta.” Lanjutnya menjawab, kalimat tersebut terdengar begitu berat.“A-apa? Itu uang yang kecil.” Ucap Julian terdengar terkejut.Jemima melirik dan kembali menatap Julian, “apa? Uang kecil?”“Ekhem! ma-ma-maksudku… bagi ayahmu, itu uang yang kecil.” Jawabnya terdengar ragu.“Oh, ya, seharusnya itu uang yang kecil. Sayangnya… dia memang tak memiliki ua
Setelah mendengar pertanyaan dari Jemima kedua mata Julian melebar karena tercengang. Wanita itu masih tampak menatap ke arahnya dengan penuh harap.Berani sekali wanita ini, batin Julian dengan wajah ditekuk dingin.“Ah, lupakan saja. Maafkan aku,” kata Jemima tiba-tiba.“Sungguh pertanyaan yang konyol,” desahnya lagi sambil menahan tawa.Julian hanya melirik dan masih terdiam, sesekali pria itu mengernyitkan dahinya karena bingung.“Akh… lupakanlah pertanyaanku tadi, lagipula kita mau hidup seperti apa nanti.” Kata Jemima lagi.“Kita miskin, kita tak memiliki apapun, meskipun sebenarnya… itu bukan masalah.” Lanjutnya terdengar putus asa.“Ada apa dengan sikapmu?” tanya Julian karena penasaran.Jemima melirik ke arah pria itu sambil mengedikkan bahunya.“Kamu bilang itu bukan masalah, apa kemiskinan bukan masalah bagimu?” tanya Julian lagi.Jemima mengangguk tegas, “tentu saja.” Jawabnya.“Oh ya? lalu… kalau kamu miskin, mau berobat, mau makan enak, mau apapun itu, bukannya susah? me
Malam haripun berlalu, Julian sangat cemas karena sudah jam sepuluh malam, namun Jemima belum juga kembali pulang.Julian keluar dari ruangan itu dan saat berada di luar, dia bisa melihat jalanan dari atas sana, jalan itu adalah jalan yang tadi siang dia lalui bersama Jemima.Itu dia, batinnya saat melihat kemunculan seorang gadis yang dari tadi dicemaskannya.Terdengar suara langkah kaki semakin mendekat, Julian segera masuk kedalam rumah dan berpura-pura tidur.“Aku pu-lang … “ suara Jemima yang tadinya keras langsung dia pelankan.Apa dia sudah tidur? batinnya bertanya.“Sudah pulang?” tanya Julian sambil berpura-pura seakan dia baru saja terbangun dari tidur pulasnya.“Hey! maaf mengganggu,” ujar Jemima dengan tangan masih sibuk membuka sepatunya.“Kenapa tidur di sofa? badan kamu terlalu panjang, terlihat tidak nyaman.” Sambungnya.Julian memperbaiki pos
Julian menggeleng-gelengkan kepalanya setelah puas memandangi Jemima yang tampak mulai tertidur.“Ah… untung saja orang asing itu, aku.” Desahnya lembut sambil berdiri, memadamkan lampu dan tidur di tempat yang sudah Jemima siapakan untuknya.Tanpa mereka berdua sadari, keduanya tertidur dengan pulas, keberadaan Julian membuat Jemima merasa dijaga seseorang sehingga dia bisa tidur pulas dan bagi Julian entah kenapa kasur lantai itu membuatnya terhipnotis hingga bermimpi indah.Sungguh ajaib, batin Julian saat dia terbangun karena sinar matahari dari jendela ruangan itu menyorot tepat pada wajahnya.Beberapa saat kemudian, Jemima terbangun dari tidurnya, namun dia kaget saat kasur lipat yang ditiduri Julian sudah terlipat rapi dan orangnya tidak ada dimanapun,Jemima sampai mencarinya ke kamar mandi hingga ke balkon, sayangnya tidak ada lagi sosok itu.“Apa dia pergi?” tanya Jemima berbicara sendirian.“Ah, aku sungguh konyol.” Sambungnya terdengar putus asa.Bagaimana dia tak merasa put
Cukup sabar Julian menghadapi tatapan hina sopir taksi tersebut, dengan tenang dia mengeluarkan beberapa lembar uang, dia rasa uang itu cukup untuknya pulang ke kota Redapple.Julian menghela napas panjang, untung saja selama pengalamannya hidup di luaran dan jauh dari keluarganya, dia telah belajar sabar yang cukup banyak.“Ini, bukankah ini lima ratus dolar?” tanya Julian sambil menunjukkan uangnya.“Hump! cih!” decih sang sopir seakan masih belum puas mengejek Julian.“Apa kau mencurinya?” lanjutnya.“ … “Julian hanya terdiam dengan banyak pemikiran di dalam kepalanya, bagaimana mungkin ada manusia seperti sopir ini? dia bahkan sudah sabar menghadapi hinaannya, dia minta diperlihatkan uang, sudah Julian keluarkan uangnya, tapi apa yang terjadi? sopir itu masih belum puas terhadapnya, bukankah cukup sudah urusannya mengantar dia ke tempat yang mau ditujunya? tanpa harus banyak bertanya dia dapat u
“Bangun, ayo cepat.” Katanya lagi dan kali ini wanita itulah yang meraih tangan Julian dan menarik tubuh pria itu agar kembali berdiri tegak.“Apa kau mencariku? ada apa?” tanya wanita itu terdengar manis bahkan dia tak malu menepuk-nepuk baju Julian yang terkena kotor serta merapikannya.“Jemi? apa Kamu kerja disini?” tanya Julian karena wanita lemah lembut itu tampak tak asing di matanya.Jemima membalas dengan senyuman dan anggukkan.“Ada apa? kenapa kamu bisa ada di depan Hotel ini?”Julian belum sempat menjawab pertanyaan wanita itu karena seseorang memotong pembicaraan mereka.“Nona Jemima, apa benar ini kenalan Anda?” tanya penjaga Hotel yang menghina dan mengusir Julian tadi.“Ah, iya Pak Hans. Maaf kalau mengganggu ketenangan lingkungan hotel, saya akan segera menyuruhnya pulang.” Jawab Jemima terdengar tak enak hati.“Oh ya? sejak kapan Nona kenal orang begini?” tanya penjaga yang diketahui bernama Hans Johnson itu.Apa katanya? sejak kapan Hotel ini merekrut orang-orang ber
Jemima mengerutkan dahinya, dari cara Julian membalas semua pernyataannya dia terkesan tahu sesuatu. Tapi rasanya tidak mungkin mengingat latar belakang Julian yang ditemuinya berasal dari jalanan, meskipun Jemima penasaran tentang kehidupan Julian dimasa lalu, tapi wanita itu memilih tak peduli dan menjalani hari-hari dengan tenang bersama pria misterius itu.“Ayo pulanglah, kamu tidak akan mendapat pekerjaan di Hotel ini.” Kata Jemima membuyarkan keheningan.Julian tampak manggut-manggut, raut wajahnya terlihat muram.“Berarti… aku tidak bisa masuk kesini, meskipun hanya melamar sebagai Security atau Housekeeping?”Kedua mata Jemima sampai membelalak saat mendengar pertanyaan dari Julian barusan.“Ayolah, jangan harap. Minimal lulus sarjana dan pernah bekerja minimal satu tahun di Hotel lain.” Jawab wanita itu.Julian tampak kembali manggut-manggut, “sebaiknya kamu pulang dulu.” Sambung Jemima.