Share

Bab 3

Mat kini mulai takut saat melihat wajah dan kedua mata tajam pria yang dianggapnya gembel itu, apalagi saat pria itu mulai kembali berbalik ke arah Sam dan memukuli wajah Sam hingga pria itu berdarah-darah, pria itu seperti orang gila bahkan seakan kehilangan akal sehatnya karena pukulannya sangat bar-bar.

“Cukup! Hentikan!” seru Ian sambil meringis, seburuk-buruknya sifat Sam, baginya dia tetap teman sejati baginya.

“Tolong Jemi, hentikan orang gila itu, Sam bisa mati.” Lanjutnya memohon pada Jemima yang masih terpaku.

“Kami akan pergi, kami tak akan mengganggumu. Tolong, hentikan pria gila itu, dia benar-benar tak waras Jemi!” seru Ian lagi.

“Hentikan! Jangan membunuhnya!” seru Jemima sambil mendekat dan memegang pundak pria misterius yang sudah menjadi penolongnya itu.

Pria itu segera menghentikan aksinya setelah terdengar teriakan Jemima, dia bangun dari tubuh Sam, terlihat Ian yang ketakutan segera berjalan mundur sambil terhuyung-huyung, sedangkan Mat yang tangannya terluka tadi segera menggusur tubuh Sam, berniat segera pergi dari tempat tersebut, meninggalkan jalanan kumuh itu.

Setelah ketiga pria tadi pergi, pria misterius itu terduduk lemas, dia tampak kelelahan dan beberapa saat kemudian, tubuhnya terjatuh lalu terkapar tak sadarkan diri.

“Hey bangun, apa yang terjadi?” tanya Jemima yang bingung harus berbuat apa.

Beberapa gelandangan tiba-tiba berjalan mendekat ke arahnya, Jemima amat ketakutan karena dia pikir mereka semua akan menyerangnya.

“Segera panggil ambulance atau taksi, Nona.”

“Iya, penolongmu ini pasti terluka berat.”

Jemima merasa lega, rupanya para gelandangan itu datang menghampiri untuk membantunya. Tapi Jemima sedikit kesal, kenapa saat dirinya diserang tadi, tak satupun dari para gelandangan itu mau menolongnya, kecuali satu orang ini.

Ah, masa bodoh! dengus Jemima di dalam hati, dia segera menelpon ambulan dan beberapa menit kemudian paramedis itu datang membawa serta dirinya juga penolongnya dari tempat itu.

***

Setibanya di rumah sakit, Jemima dan pria itu langsung ditangani, namun hanya pria itu yang diberi infus serta penanganan serius karena kondisi luka yang dialaminya cukup parah.

Malam itu Jemima menginap di rumah sakit untuk menunggu penolongnya siuman, gadis itu tak mau meninggalkan penolongnya begitu saja sebelum berterimakasih atau membalas budi.

Keesokan harinya pria itu terbangun dalam keqdaan bingung karena pakaiannya yang lusuh sudah tak menempel lagi di tubuhnya, kini dia memakai setelan baju tidur aneh. Ada selang di tangannya juga beberapa perban yang menutupi luka-luka di tubuhnya, hingga akhirnya dia sadar kalau dia sedang dirawat di rumah sakit.

“Apa yang terjadi padaku?” tanyanya bergumam.

Pria itu melihat sekeliling karena kepalanya masih sakit dan pikirannya linglung, saat dia akan bangun tangannya terasa digenggam erat oleh seseorang, dia melirik ke samping, ada seorang wanita sedang tidur di sampingnya dan dengan erat memegang tangannya, kepala wanita itu bersandar pada sudut ranjang yang kini sedang ditidurinya.

Pria itu mengumpulkan kewarasannya dan mengingat-ingat kembali siapa gadis itu.

“Sa-rah… ” panggilnya lirih.

Wajah gadis itu sedikit demi sedikit akhirnya terangkat, kedua matanya berbinar bahagia.

“Anda sudah bangun? Apa yang Anda rasakan sekarang? Apa ada bagian tubuh lain yang masih terasa sakit?” tanya Jemima tampak bersemangat.

Pria itu tampak kecewa karena wanita itu bukanlah Sarah, dia malas untuk menjawab dan kembali menyandarkan kepalanya pada ujung tempat tidur.

Eh kenapa dia? Apa bicaraku terlalu formal? batin Jemima sambil mengerutkan dahinya, lalu mengusap-usap wajahnya yang baru bangun karena ketiduran itu.

“Kamu boleh pulang kalau sudah siuman,” gumamnya.

“Apa kamu memiliki tempat tinggal?” tanya Jemima.

“Dimana kamu tinggal? Biar aku antar kamu pulang?” sambungnya lagi.

Pria itu terlihat bingung harus menjawab apa.

“Ah! Apa gunanya aku terus-terusan mengoceh, kamu pasti tak memiliki tempat tinggal.” Gumam Jemima sambil bangun dari kursinya, dia terlihat kelelahan, pinggangnya dia coba lenturkan karena terasa kaku dan pegal-pegal.

“Pakailah baju itu, mudah-mudahan ukurannya sesuai.” Katanya sambil menyerahkan kantong kresek hitam berisi baju atasan, jaket musim dingin berbulu, celana jeans bahkan dalaman pria.

Pria yang diajaknya bicara itu terlihat masih lamban.

“Hey, cepat dipakai. Biaya rumah sakit akan membengkak kalau kamu berlama-lama begini.” Desak Jemima sambil bersiap merapikan pakaiannya.

Mendengar kata ‘biaya’ pria itu jadi sadar diri, bahkan bagi orang yang sudah ditolongnya, nyawanya itu tak sebanding dengan tagihan rumah sakit ini. Melihat perubahan pada wajah pria penolongnya, Jemima jadi tak enak hati, dia tak bermaksud menyinggung perasaan maupun merendahkan harga diri pria penolongnya tersebut.

“Maaf, aku tak bermaksud__”

“Tidak apa-apa.” Potong pria itu sambil mencabut jarum infus yang masih menempel di lengannya.

“Eh, itu seharusnya dilakukan oleh suster!” seru Jemima sambil meringis.

“Ceroboh!” lanjutnya mendengus.

Pria itu tak peduli, dia segera berganti pakaian, pakaian tersebut benar-benar pas seakan wanita itu mengukur badannya sebelum dia membeli baju untuknya.

“Apa kau cabul?” pertanyaan juga kalimat pertama yang terlontar dari mulut pria itu memang cukup mencengangkan bagi Jemima.

“Apa kau bilang?” balas Jemima kesal, dia melirik sejenak ke arah pria yang kini di belakanginya itu, pria itu terlihat bertelanjang dada, Jemima segera membuang mukanya dan berbalik ke posisi semula.

“Baju lamaku dimana?” pria itu tak peduli meskipun pertanyaan pertamanya belum dijawab wanita itu.

“Dibuang.”

“Bau!”

Pria itu hanya bisa bilang ‘O’ dia tampak kehabisan kata-kata, sedangkan batin Jemima masih menanyakan maksud perkataan pria tadi yang menyebut dirinya cabul?

“Selesai.” Kata pria itu.

Jemima membalikan badannya, di depannya pria itu berdiri dengan pakaian yang sudah diganti, perawakannya sangat bagus. Jemima sangat terpukau karena dibalik pria berbaju lusuh semalam, rupanya ada pria tampan yang tersembunyi di dalamnya.

“Tunggu, pakaian itu sangat pas. Apa kau pikir aku menelanjangimu? Untuk mengukur tubuhmu?” tanya Jemima, memastikan.

Wajah pria itu datar, dia pura-pura tak peduli jika gadis itu kebingungan dan membiarkannya berasumsi sendiri.

Bukankah menyiksa seseorang tak perlu harus memukulnya? batin pria itu sambil menyeringai.

“Cih! Ayo pulang.” Ajak Jemima setelah dirasa semuanya siap.

Pria itu mengangguk lalu berjalan lebih dulu.

“Hey, bukan ke arah sana.” Cegah Jemima.

“Kemana?” tanya pria itu, bingung.

“Kemana saja, kecuali kamu punya rumah sendiri.” Jawab Jemima sambil memandang ke arah pria penolongnya itu.

“Ah, becanda. Ayo ikuti saja aku, kamu bebas pergi kalau kamu merasa sudah membaik.” Lanjutnya.

Pria itu mengangguk sambil menggaruk-garuk rambut kepalanya yang sama sekali tak terasa gatal. Pada akhirnya dia juga memutuskan kalau untuk sementara ini dia hanya akan menjadi orang yang tak tahu malu untuk yang kedua kalinya, lagi pula dia tak memiliki uang sepeserpun, terlebih lagi saat ini perutnya lapar dan tubuhnya masih terasa pegal linu.

Berbeda dengan pria itu, Jemima malah berpikir sebaliknya. Gadis itu tak enak hati juga kalau harus meninggalkan pria itu di tempat semula, tempat para gelandangan berada, lagipula setelah melihat penampilan pria penolongnya itu tampaknya dia tak buluk-buluk amat, didandani sedikit saja, sudah terlihat seperti model majalah fashion.

Dengan genit dan tanpa disadari pria itu, Jemima mulai memikirkan hal-hal nakal lainnya dalam benaknya.

“Ih, pergi. Pergi. Pergi!” usir Jemima entah pada siapa sambil mengibas-ngibaskan tangannya.

“Apa kau mengusirku?” tanya pria itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status