Share

Menara Tanpa Nama

Hari - 1

Kami hanya membutuhkan perjalanan selama satu hari penuh dengan bis, sebelum kami sampai di tempat tujuan kami.

Saat kami turun dari bis, kami langsung di sambut oleh menara yang sangat besar. Menara tersebut memiliki gaya arsitektur cina kuno. Aku tidak begitu yakin, tapi menara itu sepertinya memiliki lebih dari 20 lantai. Sejujurnya Aku merasa kalau menara itu terlalu besar, jika digunakan untuk tempat tinggal kami.

“Nah, apa mungkin menara itu adalah desa tanpa nama?”

“Hah!? Mana mungkin! Kurasa menara itu lebih pantas dipanggil menara tanpa nama dari pada desa tanpa nama.”

“Kurasa kau ada benarnya... lalu kenapa dia membawa kita ke sini?”

Kami berbalik ke arah sopir bis untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan itu, tapi sayangnya pintu bis itu sudah tertutup dan si sopir bis sudah bersiap membawa pergi bisnya. Sepertinya kita tidak akan mendapatkan jawaban apapun darinya.

“Jika kita masuk ke dalam menara, kurasa kita akan mendapatkan jawabannya.”

Seorang pria berkacamata dengan rambut coklat pendek berkata. Kami semua kembali memusatkan perhatian kami pada menara besar yang sangat mencolok itu. Kurasa kami tidak memiliki pilihan selain masuk ke sana.

Kami dengan ragu melangkahkan kaki kami untuk memasuki menara tersebut. Sejujurnya, Aku merasakan perasaan yang sangat tidak enak saat Aku melangkah masuk.

Saat memasuki menara itu, kami langsung disambut dengan banyak boneka yang dipajang di sepanjang dinding. Aku dapat melihat beberapa boneka yang memakai pakaian tradisional dari berbagai negara, selain itu ada juga yang memakai pakaian seperti putri di dongeng-dongeng, dan ada juga yang memakai pakian menyeramkan. Kesamaan mereka semuanya hanyalah mereka semua memiliki wujud manusia dan mereka memberikan kesan tidak menyenangkan untukku.

“Nah, bukankah boneka-boneka ini lumayan imut?”

Kata seorang gadis yang menunjuk ke arah boneka-boneka anak gadis yang mengenakan pakaian gothic.

“Eh, kau menyukai hal-hal seperti itu?”

“Memangnya kenapa? Mereka imut, kan?”

“Mah... kurasa...”

“Tapi Aku lebih suka boneka yang memakai kimono di sana... kurasa itu jauh lebih bagus dari pada yang memakai pakaian gothic.”

Para gadis mulai ribut membicarakan para boneka. Sepertinya para gadis memang suka membicarakan hal seperti itu.

“Jika saja ukuran mereka lebih besar dan dibuat lebih nyata, mereka pasti lebih imut dan cantik.”

“Ya, memang.”

“Oi, oi, oi... jangan nafsuan sama boneka!”

“Hahahaha!”

Dan para lelaki memiliki pendapat yang sangat berbeda dengan para perempuan. Sepertinya hanya beberapa orang di antara kami yang dibuat tidak nyaman oleh para boneka itu, termasuk diriku.

“Huuu... benar-benar tidak berguna.”

Sedangkan temanku hanya menghela napas dengan pandangan tak peduli. Sepertinya dia sama sekali tak tertarik dengan para boneka itu.

“Nah, apa kau tidak ingin melihat-lihat?”

“Untuk apa Aku melakukan hal yang tak berguna seperti itu?”

Dia benar-benar tak peduli dengan apapun.

“Anu... teman-teman, sepertinya kita harus pergi ke sana!”

Seorang gadis berambut pirang berkata sambil menunjuk ke arah resepsionis yang berada cukup jauh dari tempat kami berdiri saat ini. Sejujurnya Aku sama sekali tak menyadari keberadaan resepsionis itu sampai gadis itu menyebutkannya. Dan sepertinya bukan hanya Aku yang merasakan hal tersebut, karena banyak di antara kami yang memasang wajah terkejut saat mendengar perkataan gadis itu.

Apa mungkin perhatian kami benar-benar tercuri oleh para boneka hingga kami melupakan sekeliling kami?

Dipimpin oleh gadis pirang itu, kami semua segera berjalan menuju meja resepsionis.

“Permisi, apakah benar tempat ini adalah desa tanpa nama?”

Mewakili kami semua, gadis itu bertanya pada si resepsionis wanita yang memasang wajah datar. Dia bahkan tak memberikan senyuman sedikitpun pada kami.

“Sayang sekali, tempat ini bukan desa tanpa nama.”

Kami semua terkejut dengan jawab dari si resepsionis. Jika ini bukan desa tanpa nama, lalu tempat apakah ini?

“Anu, maaf... kalau boleh tahu tempat apa ini?”

“Ini adalah tempat menginap para penduduk baru, sebelum memasuki desa tanpa nama... kami menyebut tempat ini sebagai menara tanpa nama.”

Meskipun kami sedikit terkejut saat mendengar bahwa nama tempat ini adalah menara tanpa nama, tapi kami merasa lega karena kami tak salah tempat. Siapa sangka nama asal sebut tadi benar-benar adalah nama tempat ini? Orang yang menyebutkan nama itu pasti adalah orang yang paling terkejut di antara kami.

“Apakah kalian semua adalah penduduk baru?”

“Ya... bisa dibilang begitu.”

“Begitukah, kalau begitu... silahkan pilih kamar kalian! Kalian bisa memilih kamar manapun yang kalian suka, selama belum ada yang memilih kamar itu belum dihuni siapapun!”

Setelah mengatakan itu, si resepsionis memberikan beberapa katalog pada si gadis pirang. Gadis itu lalu membagikan katalog yang dia terima pada kami.

“Jika kalian sudah selesai memilih, katakan padaku, jika kamar itu belum digunakan oleh siapapun, Aku akan memberikan kunci kamarnya.”

Tanpa merubah ekspresi wajahnya, si resepsionis terus memberikan penjelasan pada kami. Dari perkataannya, sepertinya ada orang lain, selain kami yang tinggal di menara ini.

Aku dan beberapa orang yang tak nyaman dengan si resepsionis mengabaikannya dan mulai fokus memilih kamar kami. Aku berbagi katalog yang sama dengan temanku.

“Nah, kamu mau pilih kamar yang mana?”

“Aku tidak peduli... Aku akan memilih kamar yang dekat dengan milikmu, jadi kau pilihlah sesukamu!”

Temanku hanya memasang wajah tak tertarik dan menyerahkan semua keputusan padaku.

Aku kemudian membolak-balik katalog yang ada di tanganku. Ada berbagai macam kamar dengan gaya yang berbeda-beda. Ada gaya eropa dan asia, ada juga yang memiliki tema ruangan yang unik, seperti penjara. Aku bertanya-tanya, kenapa mereka memiliki begitu banyak macam kamar? Apakah benar-benar ada orang yang mau tinggal di kamar mirip penjara itu?

“Nah, apa kau mau mencoba kamar bergaya Jepang ini? Aku sudah lama ingin pergi ke sana!”

“Ya, Aku tidak masalah.”

Hanya ada sedikit kamar bergaya Jepang yang tersedia dan semuanya berada di lantai 3. Aku memilih kamar 303, sedangkan temanku mendapatkan kamar 304.

“Permisi, kami ingin mendapatkan kamar yang ini.”

Aku berbicara dengan resepsionis sambil menunjuk ke arah kamar nomor 303 dan 304. Si resepsionis mengangguk sambil menyerahkan kunci kedua kamar itu pada kami.

“Setelah kalian selesai menaruh barang bawaan kalian, segera pergi ke aula secepatnya!”

“Aula?”

“Ya, ruangan itu berada di tepat pusat lantai 1... kau akan segera menemukannya, karena ruangan itu sangat besar dan terdapat papan tanda di setiap pintu masuknya!”

“Aku mengerti, terima kasih.”

Aku mengambil kunci kami dari si resepsionis, setelah mengucapkan terima kasih, lalu menyerahkan kunci kamar 304 pada temanku. Kami segera menuju ke lantai 3 dan memeriksa kamar kami masing-masing.

Aku sangat terkejut saat melihat kamarku. Aku tidak menyangka bahwa kamarku akan begitu luas. Meskipun tempat tidurku hanya berupa futon (kasur khas Jepang), tapi ada banyak funitur yang membuat tempat ini seperti berada di Jepang. Satu-satunya hal yang kukhawatirkan adalah kamar ini tak memiliki jendela satupun.

Meskipun tempat ini memiliki lampu yang sangat terang, tapi tak adanya jendela membuatku khawatir.

“Sepertinya kamar ini tak jauh beda dengan kamar milikku.”

Dan untuk suatu alasan, temanku saat ini berada di kamarku sambil membawa futon miliknya ke kamarku.

“Kenapa kau membawa futonmu ke kamarku?”

“Entah mengapa Aku merasa khawatir, jadi Aku memutuskan untuk tinggal di kamar yang sama denganmu... lagi pula kamar ini cukup luas untuk kita berdua, malahan sepertinya kamar ini bisa memuat 2-3 tiga orang lagi.”

“Kau memang benar, ruangan ini terlalu luas untuk ditinggali oleh satu orang... kurasa kau boleh tidur di sini, selama tak ada peraturan yang melarang hal itu.”

Karena tak memiliki alasan untuk menolak, Aku membiarkan temanku menaruh futonnya di samping futon milikku. Dia juga meletakkan barang bawaannya tak jauh dari sana.

“Ayo pergi!”

Setelah itu, temanku mengajakku pergi ke aula. Aku hanya mengikutinya dari belakang tanpa berkata apapun.

Kami bisa menemukan ruang aula dengan sangat mudah. Seperti kata resepsionis itu, aula itu memang benar-benar berada di tengah-tengah lantai satu.

Kami segera memasuki ruang aula dengan pintu yang sudah terbuka lebar. Membiarkan siapapun bisa keluar masuk dengan bebas.

Saat kami memasuki ruangan itu, sudah ada beberapa orang yang berkumpul di sana. Selain itu, terdapat seorang kakek tua yang sedang duduk di tengah-tengah bagian paling depan aula. Di samping kiri dan kanannya, berdiri dua gadis muda yang memiliki wajah dan gaya berpakaian yang sangat berbeda.

Gadis dengan rambut hitam mengenakan kimono, sedangkan gadis berambut pirang mengenakan baju maid berwarna biru. Sejujurnya Aku merasa mereka berdua sedang bercosplay.

Aku dan temanku hanya dapat berdiri di tempat kami berada saat ini sambil mengamati sekeliling kami. Karena tak ada tempat duduk, selain yang diduduki oleh si kakek, jadi kami tak tahu harus berada di sebelah mana saat di dalam aula itu.

Setelah menunggu selama beberapa menit, rekan-rekan kami yang lain mulai berkumpul di dalam. Setelah itu pintu aula tiba-tiba saja menutup dengan sendirinya. Padahal tak ada orang yang menyentuh pintu itu, tapi kenapa pintu itu bisa bergerak dengan sendirinya? Apakah itu pintu otomatis?

Dengan perasaan gelisah, Aku melihat ekspresi semua orang yang berada di dalam aula satu per satu. Ada beberapa orang yang terlihat gelisah seperti diriku, ada yang berwajah tegang, ada yang terlihat biasa saja. Kami memiliki berbagai emosi yang bercampur aduk di ruangan ini.

“Selamat datang di Menara Tanpa Nama!”

Seorang dari si kakek yang tiba-tiba berbicara mengalihkan perhatian kami semua padanya. Senyuman tak menyenangkan dapat terlihat di wajahnya. Aku memiliki perasaan yang sangat tak enak saat melihat senyuman.

Tepat setelah itu, Aku benar-benar menyesali keputusanku untuk pergi ke tempat ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status