Share

Part 4, Maukah Kau Menjadi Simpanan ku?

"Mas, bangun Mas.. Kita antar Gendhis ke dokter yuk, semalam dia kejang, aku takut kenapa-kenapa."

"Alah, cuma sakit gitu aja kamu sibuk mau antar Gendhis ke dokter, biasanya juga kamu obatin di rumah. Elisa, jangan mentang-mentang kamu baru terima nafkah dari aku, terus kamu mau seenaknya pakai uang itu,"

"Astagfirullah Mas, bukannya kamu kerja nyari uang itu memang untuk kebutuhan rumah tangga kita? Lagi pula pilihan aku buat bawa Gendhis ke dokter bukan berarti aku nggak usaha sebelumnya, aku udah kompres dia, tapi ini udah hampir empat hari Mas,"

"Alah, alasan kamu aja, ya udah ayo."

Bima nampak kesal dan tidak ikhlas ketika Elisa memaksanya untuk ikut mengantar ke dokter, namun Elisa tidak peduli, baginya Gendhis adalah tanggung jawab berdua yang harus Bima sadari, apalagi kehadiran Gendhis menjadi putusnya harapan bagi Elisa untuk mengejar cita-cita nya.

Karena bujuk rayuan Bima lah, akhirnya Elisa melanggar batasan dan lahir lah gadis kecil yang mereka namai Gendhis Julianti.

Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya nomor antrian yang ada di tangan Elisa lah yang mendapat kan giliran, wanita itu pun mengajak Bima masuk dan beberapa saat kemudian mereka sudah berhadapan langsung dengan dokter yang menangani putri ikecilnya.

"Dok, sebenarnya anak saya sakit apa?" tanya Elisa tidak sabar.

"Anak Ibu positif terkena penyakit leukemia, akan lebih baik jika anak ibu dirawat sementara di rumah sakit yang memiliki peralatan lengkap," ucap dokter itu memberitahu.

"Apa, leukemia__"

Bima dan Elisa tersentak kaget kala mendengar penuturan dari dokter Indah, wanita paruh baya yang baru saja memeriksa keadaan Gendhis, putri mereka.

***

Di sebuah ruang rawat, Elisa dan Bima berdiri memperhatikan Gendhis yang saat itu sedang terbujur lemah, ada infus yang terpasang di punggung tangan bocah itu yang sedang tertidur.

"Mas, kita harus melakukan sesuatu,"

"Aku tahu, aku sedang memikirkan biayanya,"

"Mas, aku yakin akan ada solusi, yang terpenting sekarang selamatkan dulu anak kita, kasihan dia Mas. Kehadirannya sudah tidak dikehendaki mamaku dulu, dan sekarang dia harus jatuh sakit seperti ini,"

"Baik lah, kita akan segera meminta surat rujukan."

Elisa menghela nafas lega, saat Bima memberikan jawaban persetujuan, gegas mereka meminta pihak rumah sakit untuk membuat surat rujukan.

Hampir pukul tujuh malam, Bima berada di ruangan di mana Gendhis sedang di rawat. Ia nampak bingung apakah malam ini harus bekerja atau tetap ada di sana menemani Elisa, pria tersebut akhirnya bangkit dan merapihkan pakaiannya, menyadari hal itu tatapan Elisa pun kini berpindah mengarah pada sang suami.

"Mau ke mana, Mas?"

"Aku harus kerja, Elisa,"

"Apa, kerja! Mas, apa kamu nggak kasian sama Gendhis,"

"Elisa, kita harus bagi tugas, kamu tahu kan ini rumah sakit besar, penyakit yang diderita Gendhis bukan sembarang penyakit, kita butuh biaya besar,"

"Aku tahu Mas, tapi paling tidak kamu jangan pulang seperti kemarin ya."

Elisa yang merasa berat karena harus di tinggalkan oleh Bima bekerja pun akhirnya mengalah, apa yang dikatakan oleh pria itu ada benarnya, merek membutuhkan biaya besar untuk kesembuhan putrinya meskipun kemungkinan sangat lah kecil.

Bima keluar dari rumah dan pergi menggunkan ojek yang ada di pengkolan, malam kedua bekerja ia sudah melakukan sebuah kesalahan, lantaran sudah membuat Joilen lama menunggu sampai menghabiskan beberapa putung rokok di ruangannya, meskipun wanita itu tidak sendiri, namun ia tetap saja menginginkan Bima untuk menemaninya malam ini.

Ketukan pintu terdengar, Bima sudah tiba dan berharap jika ketukan pintunya dapat didengar oleh wanita yeng telah memberinya uang cuma-cuma tempo hari. Tak lama kemudian pintu terbuka, Bima nampak mengerutkan kening saat melihat Joilen bersama pria lain.

"Kau boleh pergi sekarang, dan ambil upahmu."

Begitulah kalimat yang didengar oleh Bima saat Joilen memerintahkan pria itu pergi, dan Pria tersebut benar-benar meninggalkan ruangan tersebut, melewati Bima yang masih bingung membalas tatapan sinis nya.

"Maaf, aku telah mengganggu mu, Nona,"

"Tidak masalah, mari duduk,"

"Ah, sepertinya dia adalah suamimu, seharusnya aku tidak mengetuk pintu ruangan ini tadi.

"Santai saja, dia bukan suamiku atau siapa-siapa bagiku, dia tak lebih hanya sekedar penghibur saat aku merasa dalam kekosongan."

Begitu lah jawaban wanita paruh baya itu pada Bima, duduk dan berhadapan langsung dengan Joilen adalah keputusan yang berat, apalagi wanita tersebut. mengharuskan Bima untuk menyesap putung rokok yang sudah ia nyalakan.

"Nona, aku ingin tahu pekerjaanku yang sebenarnyab, karena aku benar-benar tidak tahu apa pekerjaan ku yang sesungguhnya,"

"Aku sebenarnya tertarik padamu dari pandangan pertama kita bertemu, aku ingin kau menjadi simpananku, Bima,"

"Simpanan? Apa maksud mu, Nona?!"

"Ya, simpanan. Tepatnya kekasih simpananku, aku ini memiliki beberapa cabang bisnis klup malam, semua teman-temanku menganggap bahwa aku adalah wanita kesepian yang tidak pernah bisa mendapatkan kekasih selain hanya seorang laki-laki yang pandai menghabiskan uang ku,"

"Lalu, kau percaya padaku? Hahaha... Ini tidak lucu Nona, kita bertemu baru hitungan hari, bahkan kau sama sekali tidak mengenal diriku,"

"Aku tidak perlu tahu siapa dirimu, aku mengenalmu menurut falling ku."

Bima terdiam, nampak jelas saat ini siapa yang ia pikirkan. Ya, ia memikirkan Elisa, wanita yang sudah berstatus istri dalam hidupnya. Menerima tawaran Joilen artinya membuka pintu pengkhianatan.

Tanpa Bima sadari, jika saat ini Joilen sudah berada tepat di hadapannya, hingga membuat Bima tersadar jika wanita itu rupanya berani duduk di pangkuannya.

"Bima, aku akan membayar mu dengan jumlah yang sangat mahal, jika kau bersedia, dan berhasil membalaskan dendamku," ucap wanita itu dengan tatapan menghunus tajam.

"Apa masalahmu, Nona. Apakah seberat itu? Sampai membuatmu nekat seperti ini?" Bima sepertinya masih tidak percaya dengan tawaran Joilen.

Joilen tiba-tiba meletakkan jari telunjuknya di tengah bibir Bima, rupanya wanita itu tidak begitu suka dengan pertanyaan yang diajukan oleh Bima. Ia lebih memilih turun dari pangkuan dan duduk di kursi singgasana nya.

Menulis sebuah cek berjumlah lima belas juta, lalu menyodorkan pada Bima yang semakin bingung harus menerimanya atau tidak.

"Pulang lah, dan bawa cek ini, kau bisa memikirkannya semalaman, lalu kembalilah besok dengan kabar gembira," ucap wanita itu berharap.

"Bagaimana jika besok aku kembali dengan penolakan?" tanya Bima dengan tatapan serius.

"Kembalikan semua uang yang telah aku berikan padamu, karena aku akan melepas harapanku. Tapi, jika kau menerima nya, maka aku akan menjamin semua kebutuhan mu." tandas wanita itu sigap.

Di sepanjang perjalanan, nampak Bima berpikir keras karena ucapan Joilen yang benar-benar menguras energi. Bagaimana mungkin ia bisa memutuskan salah satu dari pilihannya sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status