"Mas, bangun Mas.. Kita antar Gendhis ke dokter yuk, semalam dia kejang, aku takut kenapa-kenapa."
"Alah, cuma sakit gitu aja kamu sibuk mau antar Gendhis ke dokter, biasanya juga kamu obatin di rumah. Elisa, jangan mentang-mentang kamu baru terima nafkah dari aku, terus kamu mau seenaknya pakai uang itu,""Astagfirullah Mas, bukannya kamu kerja nyari uang itu memang untuk kebutuhan rumah tangga kita? Lagi pula pilihan aku buat bawa Gendhis ke dokter bukan berarti aku nggak usaha sebelumnya, aku udah kompres dia, tapi ini udah hampir empat hari Mas,""Alah, alasan kamu aja, ya udah ayo."Bima nampak kesal dan tidak ikhlas ketika Elisa memaksanya untuk ikut mengantar ke dokter, namun Elisa tidak peduli, baginya Gendhis adalah tanggung jawab berdua yang harus Bima sadari, apalagi kehadiran Gendhis menjadi putusnya harapan bagi Elisa untuk mengejar cita-cita nya.Karena bujuk rayuan Bima lah, akhirnya Elisa melanggar batasan dan lahir lah gadis kecil yang mereka namai Gendhis Julianti.Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya nomor antrian yang ada di tangan Elisa lah yang mendapat kan giliran, wanita itu pun mengajak Bima masuk dan beberapa saat kemudian mereka sudah berhadapan langsung dengan dokter yang menangani putri ikecilnya."Dok, sebenarnya anak saya sakit apa?" tanya Elisa tidak sabar."Anak Ibu positif terkena penyakit leukemia, akan lebih baik jika anak ibu dirawat sementara di rumah sakit yang memiliki peralatan lengkap," ucap dokter itu memberitahu."Apa, leukemia__"Bima dan Elisa tersentak kaget kala mendengar penuturan dari dokter Indah, wanita paruh baya yang baru saja memeriksa keadaan Gendhis, putri mereka.***Di sebuah ruang rawat, Elisa dan Bima berdiri memperhatikan Gendhis yang saat itu sedang terbujur lemah, ada infus yang terpasang di punggung tangan bocah itu yang sedang tertidur."Mas, kita harus melakukan sesuatu,""Aku tahu, aku sedang memikirkan biayanya,""Mas, aku yakin akan ada solusi, yang terpenting sekarang selamatkan dulu anak kita, kasihan dia Mas. Kehadirannya sudah tidak dikehendaki mamaku dulu, dan sekarang dia harus jatuh sakit seperti ini,""Baik lah, kita akan segera meminta surat rujukan."Elisa menghela nafas lega, saat Bima memberikan jawaban persetujuan, gegas mereka meminta pihak rumah sakit untuk membuat surat rujukan.Hampir pukul tujuh malam, Bima berada di ruangan di mana Gendhis sedang di rawat. Ia nampak bingung apakah malam ini harus bekerja atau tetap ada di sana menemani Elisa, pria tersebut akhirnya bangkit dan merapihkan pakaiannya, menyadari hal itu tatapan Elisa pun kini berpindah mengarah pada sang suami."Mau ke mana, Mas?""Aku harus kerja, Elisa,""Apa, kerja! Mas, apa kamu nggak kasian sama Gendhis,""Elisa, kita harus bagi tugas, kamu tahu kan ini rumah sakit besar, penyakit yang diderita Gendhis bukan sembarang penyakit, kita butuh biaya besar,""Aku tahu Mas, tapi paling tidak kamu jangan pulang seperti kemarin ya."Elisa yang merasa berat karena harus di tinggalkan oleh Bima bekerja pun akhirnya mengalah, apa yang dikatakan oleh pria itu ada benarnya, merek membutuhkan biaya besar untuk kesembuhan putrinya meskipun kemungkinan sangat lah kecil.Bima keluar dari rumah dan pergi menggunkan ojek yang ada di pengkolan, malam kedua bekerja ia sudah melakukan sebuah kesalahan, lantaran sudah membuat Joilen lama menunggu sampai menghabiskan beberapa putung rokok di ruangannya, meskipun wanita itu tidak sendiri, namun ia tetap saja menginginkan Bima untuk menemaninya malam ini.Ketukan pintu terdengar, Bima sudah tiba dan berharap jika ketukan pintunya dapat didengar oleh wanita yeng telah memberinya uang cuma-cuma tempo hari. Tak lama kemudian pintu terbuka, Bima nampak mengerutkan kening saat melihat Joilen bersama pria lain."Kau boleh pergi sekarang, dan ambil upahmu."Begitulah kalimat yang didengar oleh Bima saat Joilen memerintahkan pria itu pergi, dan Pria tersebut benar-benar meninggalkan ruangan tersebut, melewati Bima yang masih bingung membalas tatapan sinis nya."Maaf, aku telah mengganggu mu, Nona,""Tidak masalah, mari duduk,""Ah, sepertinya dia adalah suamimu, seharusnya aku tidak mengetuk pintu ruangan ini tadi."Santai saja, dia bukan suamiku atau siapa-siapa bagiku, dia tak lebih hanya sekedar penghibur saat aku merasa dalam kekosongan."Begitu lah jawaban wanita paruh baya itu pada Bima, duduk dan berhadapan langsung dengan Joilen adalah keputusan yang berat, apalagi wanita tersebut. mengharuskan Bima untuk menyesap putung rokok yang sudah ia nyalakan."Nona, aku ingin tahu pekerjaanku yang sebenarnyab, karena aku benar-benar tidak tahu apa pekerjaan ku yang sesungguhnya,""Aku sebenarnya tertarik padamu dari pandangan pertama kita bertemu, aku ingin kau menjadi simpananku, Bima,""Simpanan? Apa maksud mu, Nona?!""Ya, simpanan. Tepatnya kekasih simpananku, aku ini memiliki beberapa cabang bisnis klup malam, semua teman-temanku menganggap bahwa aku adalah wanita kesepian yang tidak pernah bisa mendapatkan kekasih selain hanya seorang laki-laki yang pandai menghabiskan uang ku,""Lalu, kau percaya padaku? Hahaha... Ini tidak lucu Nona, kita bertemu baru hitungan hari, bahkan kau sama sekali tidak mengenal diriku,""Aku tidak perlu tahu siapa dirimu, aku mengenalmu menurut falling ku."Bima terdiam, nampak jelas saat ini siapa yang ia pikirkan. Ya, ia memikirkan Elisa, wanita yang sudah berstatus istri dalam hidupnya. Menerima tawaran Joilen artinya membuka pintu pengkhianatan.Tanpa Bima sadari, jika saat ini Joilen sudah berada tepat di hadapannya, hingga membuat Bima tersadar jika wanita itu rupanya berani duduk di pangkuannya."Bima, aku akan membayar mu dengan jumlah yang sangat mahal, jika kau bersedia, dan berhasil membalaskan dendamku," ucap wanita itu dengan tatapan menghunus tajam."Apa masalahmu, Nona. Apakah seberat itu? Sampai membuatmu nekat seperti ini?" Bima sepertinya masih tidak percaya dengan tawaran Joilen.Joilen tiba-tiba meletakkan jari telunjuknya di tengah bibir Bima, rupanya wanita itu tidak begitu suka dengan pertanyaan yang diajukan oleh Bima. Ia lebih memilih turun dari pangkuan dan duduk di kursi singgasana nya.Menulis sebuah cek berjumlah lima belas juta, lalu menyodorkan pada Bima yang semakin bingung harus menerimanya atau tidak."Pulang lah, dan bawa cek ini, kau bisa memikirkannya semalaman, lalu kembalilah besok dengan kabar gembira," ucap wanita itu berharap."Bagaimana jika besok aku kembali dengan penolakan?" tanya Bima dengan tatapan serius."Kembalikan semua uang yang telah aku berikan padamu, karena aku akan melepas harapanku. Tapi, jika kau menerima nya, maka aku akan menjamin semua kebutuhan mu." tandas wanita itu sigap.Di sepanjang perjalanan, nampak Bima berpikir keras karena ucapan Joilen yang benar-benar menguras energi. Bagaimana mungkin ia bisa memutuskan salah satu dari pilihannya sendiri."Oh Tuhan, kepalaku sepertinya mau copot karena memikirkan hal semalam, sampai jam segini pun aku tidak mampu memejamkan mataku."Pria itu nampak bergeming pada dirinya sendiri, rasanya begitu sulit untuk memutuskan, ingin rasanya menolak, tetapi ia membutuhkan uang yang tidak sedikit untuk biaya pengobatan putrinya. Apalagi yang sepuluh juta pertama juga sudah ia ganti dengan sebuah pakaian mahal sebagai modal baginya dalam bekerja, dan sisa lainnya ia gunakan untuk biaya rumah sakit. Pergi ke dapur, berharap jika di sana ada sesuatu yang bisa mengganjal perutnya yang sedang kelaparan, sebuah mie instan tinggal satu bungkus saja, terpaksa Bima masak agar perutnya bisa terisi. Ting.... Sebuah pesan diterima oleh Bima, ia yang sedang menyantap makanannya harus mengalihkan pandangan sejenak untuk melihat pesan dari seseorang di ponsel jadulnya. [Aku menunggu mu di kafe bintang, datang lah. Jolien]Bima terdiam, nampaknya pria itu harus siap memberikan jawaban, karena Joilen menuntut
Tring.... Tring... Suara ponsel berdering, Bima langsung mengeluarkan ponsel barunya yang begitu terlihat mewah dan mengkilap, ponsel itu sudah terhubung langsung dengan Joelin sehingga membuat Bima akan selalu terikat kontrak perjanjian dengan wanita itu. Menatap ke arah Elisa, tentunya Bima harus bermain cantik, tidak mungkin mengangkat telpon dari kekasih simpanannya itu di hadapan istrinya, saat itu Elisa tengah tidur di kursi tunggu, sehingga membuat Bima merasa aman dan langsung melangkah jauh. [Halo, ada apa?] tanya pria itu sambil bersikap mencurigakan. [Loh, kok judes sekali si sayang, kau terpaksa ya menjawab telpon dariku] Joelin yang merasa sedikit tersentuh itupun merasa sedih. [Oh, maaf... Tidak, aku tidak terpaksa mengangkat telpon darimu, maafkan aku sayang. Gimana? Ada apa?] Bima pun menurunkan suara dan kembali bersikap seolah ia begitu mencintai Joelin. [Tidak ada, hanya saja aku merindukan mu. Ya, aku tah ini berlebihan, aku sendiri sudah berusaha menghilangk
"Mas, apa kamu serius mau mengambil tindakan kemoterapi untuk anak kita?" tanya Elisa memastikan, tatapannya berbinar seolah memiliki suatu harapan lain. "Iya, aku serius. Untuk apa aku bercanda," singkat Bima yang memantapkan keputusannya. "Baik lah, aku akan berusaha membantumu, Mas." telak Elisa yakin, jika keputusan yang sudah dipilih oleh suami adalah keputusan yang tepat. Bima mengerutkan kening, hatinya bertanya apa yang akan dilakukan oleh Elisa yang katanya ingin membantu, namun Bima lebih memilih diam dan tidak menanyainya, pria itu fokus pada ponselnya kembali dengan pikiran yang melalang buana. 'Setidaknya aku bisa mengandalkan ketampanan ku untuk ku jadikan uang, Elisa tidak perlu tahu dari mana aku akan mendapatkan uang.' batin pria itu nekat. Tepat pukul tujuh malam, Bima bangkit dari tempat duduknya, menyadari hal itu Elisa pun menanggapi sang suami. "Elisa, aku harus bekerja, dan malam ini jangan menungguku, mungkin aku akan mengambil jatah libur, agar aku bisa
"Bagaimana dengan malam ini, apa kamu menyukainya?" tanya Joelin setelah membawa Bima pergi makan-makan mewah. "Sangat terkesan sayang, aku menyukainya," ucap Bima mengulas senyum manis. "Jika kau selalu berhasil membuat hatiku bahagia, maka aku akan pastikan hidupmu seperti di surga," tandas Joelin menatap Bima buas. "Benarkah, aku sangat terharu sekali. Oh ya, apa malam ini aku akan mendapatkan gaji setelah aku menemanimu sampai jam segini?" tanya Bima mulai merayu, tentu saja ia tidak mau jika pekerjaannya itu sia-sia. "Tentu saja, aku akan membayar mu mahal, karena kau sudah sukses membuat teman-teman ku cemburu." jawabnya tanpa ragu. Lalu tak lama kemudian Joelin mengeluarkan segepok uang di dalam tasnya, dan memberikan pada Bima secara cuma-cuma. Pria itu tentu saja merasa sangat senang, meskipun ia harus menemani wanita tua itu sampai pagi menjelang. Mengucapkan terima kasih rupanya tidak cukup bagi Joelin yang mulai meminta lebih, wanita itu memejamkan kedua matanya dan
"Kalau Joelin bisa mendapatkan pria setampan Bima, harusnya aku juga bisa mendapatkan hal yang sama." Tiba-tiba Indah mengulas senyum kala menatap wajah tampan yang terpasang di foto profil WA Bima, diam-diam wanita itu memiliki niat ingin mendekati Bima, dan tidak memperdulikan jika pria itu sebenarnya milik temannya sendiri. Siang itu, kembali Indah mengirimkan sebuah pesan pada Bima, dan saat itu Bima baru saja menikmati waktu santainya setelah beberapa jam istirahat, perut yang terasa begitu lapar membuat pria itu harus bangun dan membuat sarapan pagi, sementara Elisa sendiri masih berada di rumah sakit. [Bima, apa kau sudah bangun? Bagaimana kalau siang ini kita makan di luar. Tenang, soal biaya biar aku yang nanggung.] Pesan itupun langsung tercentang biru, dan tawaran dari Indah membua Bima tiba-tiba mengulas senyum lalu bangkit dari tempat duduknya. "Kebetulan banget, aku memang lagi laper. Dan karena Elisa sibuk di rumah sakit, dia sampai lupa bahwa ada aku yang h
Tring... Tring.. Dering telpon membuyarkan pikiran Bima, gegas ia menatap ke layar HP lalu menyadari siapa yang telah mengusik lamunannya. [Halo mas, kamu ke mana si? Kenapa kamu nggak ke sini, aku lapar mas, Gendhis nggak mau di tinggal, dia rewel] protes Elisa yang merasa begitu kelaparan, lantaran sejak tadi ia fokus menjaga Gendhis. [Iya, ini aku masih di jalan, kau mau aku belikan makan apa? Biar sekalian aku bawakan] tanya Bima yang sebenarnya lupa bahwa ia harus berganti sip dengan Elisa. [Kebetulan aku lagi pengen makan ayam bakar mas, kamu bawain ya,] jawab Elisa yang merasa senang kala suaminya memberikan pilihan. Tanpa menjawab lagi, Bima segera mematikan sambungan telepon dan memesan makanan yang diinginkan istrinya itu. Tiba di rumah sakit, Elisa dengan lahap menikmati makannya, sementara Bima nampak sedang menggendong Gendhis yang masih terpasang selang di punggung tangannya. Setelah tertidur, Bima merebahkan kembali putri kecilnya itu di brankar, duduk
"Mas Bima sedang di rumah sakit, Ma. Menjaga putri kami yang sedang sakit keras," ucap Elisa dengan mata yang menganak sungai. "Sakit keras? Apa maksud mu?" Margaret menatap tajam saat mendengar penuturan Elisa. "Anak kami terkena leukemia, Ma. Sudah lebih dari seminggu Gendhis dirawat, dan kedatangan ku ke sini sebenarnya ingin...." Elisa menjeda, ia terdiam beberapa saat karena masih harus menghilangkan rasa malu yang ada dalam dirinya, bagaimana tidak, Elisa saat itu memang telah dikalahkan dengan sosok Bima yang telah memenuhi hatinya. Dan lebih memilih meninggalkan sang mama. "Ingin apa, katakan saja, Elisa!" sentak wanita itu menunggu. "Sebenarnya aku ingin meminta bantuan pada Mama. Ma, aku datang karena aku butuh uang untuk membayar biaya rumah sakit, apa aku bisa meminjam dari Mama?" wanita itu terlihat memasang wajah memelas, meksipun sebenarnya Elisa begitu tersiksa berada di posisi ini. "Kenapa meminta biaya pada Mama, mana suami kamu? Yang harusnya bertang
"Elisa, jika kamu memintaku untuk meminjam uang pada mamamu, itu artinya kamu sudah siap jika aku akan di hina dan di rendahkan lagi sama mama kamu, maaf Elisa, aku lebih memilih mencari pinjaman orang lain, di dunia ini masih banyak orang baik," Celetuk Bima menolak keras. "Aku paham Mas, baik lah kalau memang itu maumu, aku berharap kamu bisa mendapatkan pinjaman segera, agar kita bisa dengan cepat mengobati anak kita." Jawab Elisa memberikan kepercayaan penuh pada suaminya. Bima terdiam tak menjawab, namun tubuhnya dengan cepet bergerak keluar dari ruangan itu untuk berpikir.Beberapa hari sibuk di rumah sakit, memang Bima memutuskan untuk tidak masuk bekerja, dan selama dua terkahir ia tidak menerima kabar dari Joelin maupun Indah yang biasanya saling mendahului. Bima akhirnya memutuskan untuk menemui Joelin di klup malam itu juga, dan kali ini ia harus memberanikan diri mengungkapkan apa yang ia inginkan. Merapihkan pakaian yang ia kenakan, lalu berjalan menemui Joelin yang sa