"Aku harus pulang," Bima segera bangkit dari tempat itu meskipun sebenarnya ia merasa masih begitu pusing. "Sayang, ikut lah bersama ku, aku akan membuatmu sedikit tenang dengan masalah yang kamu hadapi saat ini," ajak Joelin membujuk Bima. "Aku tidak bisa, aku sedang berduka, aku kehilangan seseorang yang tidak bisa hidup kembali dan membersamaiku, rasanya tidak ada obat apapun yang bisa membuatku lupa akan kejadian ini," tolak Bima yang tidak bisa menerima tawaran Joelin. "Aku tidak memintamu untuk langsung lupa, tapi aku ingin menghiburmu, kita ke Bali." tukas wanita itu tak berhenti membujuk. Bima terdiam sejenak ketika Joelin menyebut kota Bali, kota yang menjadi incarannya selama ini, namun karena keterbatasan biaya membuat pria itu tidak pernah sampai ke tempat itu. Cukup lama Bima terdiam, hingga akhirnya Joelin kembali menyadarkan pria itu dengan pertanyaan. "Aku akan memikirkannya nanti, tapi izinkan aku pulang terlebih dahulu, aku benar-benar ingin istirah
[Jika aku ikut kau ke Bali, berapakah upah yang akan aku terima?] Sebuah pesan singkat yang dikirim oleh Bima seketika dibaca oleh wanita itu, ia mengulas senyum pada pria tampan yang sudah membuatnya tergila-gila itu. [Sebutkan saja berapa bayaran yang ingin kau terima, aku akan memberikannya padamu, Hanny] [Aku tidak mau memberikan harga sendiri, aku inginnya kau yang memberikan tarif] [Oh, begitu. Jadi kau menginginkan nominal dariku yang ingin mengajakmu bersenang-senang? Baik lah, aku tidak keberatan, bagaimana jika sepuluh juta dalam satu malam?] Sebuah penawaran yang cukup menggiurakan bukan? Dan itu berhasil membuat Bima seketika tersenyum kala membaca ulang chat mereka berdua. Pria itu mulai berpikir dan menghitung jumlah uang yang akan ia terima jika ia menyetuju ajakan Joelin. Saat ini pikiran Bima hanya ada uang, uang, dan uang, bagaimana caranya agar ia bisa membuktikan pada Margaret, mama mertuanya itu, jika ia bisa mengubah hidupnya menjadi lebih baik.
1 Bulan kemudian "Ada apa si ini Mas, kenapa kamu harus menutup mataku seperti ini?" Sebuah pertanyaan mendarat langsung dari Elisa yang mendapatkan perlakuan aneh saat dirinya memenuhi ajakan makan siang bersama Bima. "Udah, ikut aja, jangan banyak protes," ucap pria itu mengulas senyum, lalu mulai membuka pintu mobil taksi ketika sudah tiba si suatu tempat. "Ayo lah Mas, jangan membuatku semakin penasaran," sahut Elisa tak sabar ingin segera dilepaskan ikatan di matanya yang membatasi penglihatan. "Tunggu Elisa, sebentar lagi kita akan sampai." jawab Bima tak mengabulkan permintaan Elisa. Sampai akhirnya mereka kini tiba tepat di rumah baru yang terlihat cukup mewah, rumah minimalis yang memiliki dua kamar, dua dapur, dan ruang tamu itu terlihat begitu indah. Apalagi paduan warna antara putih dan biru, menyempurnakan suasana yang elegan. Bima kini melepaskan ikatan yang sejak tadi menghalangai pandangan Elisa, dan saat penglihatannya terbuka, wanita itu nampak bin
"Bima, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu," lirih Indah berucap manja. "Ada apa, kenapa sampai membawaku ke tempat seperti ini, aku takut nanti Joelin akan menyadari," sahut Bima ketakutan. "Bima, ayolah... Jangan terlalu menomor satukan Joelin, sebenarnya kau bisa saja membuka jasa untuk para wanita seperti Joelin termasuk aku," terang Indah meletakkan kedua tangannya di leher Bima. "Indah, apa-apaan ini, apa maksud mu sebenarnya?" sergah Bima berusaha melepaskan tangan wanita itu. "Bima, jadilah simpananku juga, aku bisa membayar mu seperti halnya dengan Joelin, tentunya tanpa sepengetahuan dari Joelin." jawab Indah terang-terangan. Bima terdiam, tentu saja tawaran Indah membuat pria itu berpikir, jika ia memiliki hubungan pada dua wanita sekaligus, secara otomatis ia akan memiliki dua pendapatan, dan hal itu akan membuatnya semakin mudah mendapatkan apa yang ia inginkan. Indah sempat menegur Bima yang cukup lama melamunkan sesuatu, dan hal itu spontan membu
"Maaf, kenapa kau mengajakku ke tempat ini?" tanya Bima pada Indah saat dirinya telah sampai di sebuah showroom mobil yang memamerkan banyak pilihan di sana. "Iya, aku sengaja mengajakmu ke tempat ini, dan kamu bebas mau memilih mobil apa saja," ucap wanita kaya itu. "Jangan mengajakku bercanda, ini sama sekali tidak lucu," celetuk Bima yang menganggap wanita di sampingnya itu hanya bergurau. "Untuk apa aku mengajakmu bercanda, aku serius, kau bebas memilih mobil mana saja yang kau inginkan, setelah itu aku akan mengajakkmu pergi ke suatu tempat yang kamu akan menikmatinya nanti." tegas Indah yang tak main-main dengan tawarannya. Bima mengerutkan kening, sekali lagi ia berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa apa yang dikatakan oleh Indah adalah sebuah kebenaran, dan setelah mendapatkan jawaban untuk yang kesekian kali, akhirnya Bima mulai melangkah, menjelajahi area sekitar untuk memilih mobil yang ia inginkan. Tentu saja pria itu meminta solusi pada Indah mengenai harg
Elisa nampak mondar mandir menatap ke arah pintu luar, ia gelisah lantaran Bima tak kunjung pulang dan tak memberikan kabar setelah sehari semalam, wajahnya memperlihatkan kecemasan namun ia tak bisa melakukan apa-apa lantaran nomor Bima tidak bisa dihubungi. "Ya ampun Mas, kamu sebenarnya ada di mana si, kenapa sampai sekarang nomor kamu nggak bisa dihubungi," ucap Elisa panik. Sesekali wanita itu membuka gorden, berharap jika suaminya tersebut sudah ada di depan pintu, namun rupanya ia harus kembali menelan kekecewaan lantaran di teras rumah sama sekali tidak ada orang. Detik berganti menit, dan menit pun berganti jam, Elisa sampai tertidur di ruang tamu lantaran sudah terlalu lama menunggu kepulangan sang suami. Sementara di tempat lain, Bima justru sedang bersenang-senang bersama Indah, merendam bagian tubuhnya di sebuah kolam renang hangat yang membuat aliran tubuh menjadi rileks. Ditemani dengan cemilan dan juga secangkir kopi penyempurna kebersamaan mereka. "Maka
Suara Klakson menggema di depan gerbang berwarna hitam, Bima dan Elisa sudah tiba di mansion Margaret, di mana tempat itulah yang menjadi kebanggaan bagi wanita itu untuk merendahkan dan menghina menantunya. Penjaga pintu pun segera membuka, lantaran mengira jika yang datang itu adalah orang penting yang diundang oleh majikannya, namun saat Bima dan Elisa keluar secara bersamaan, spontan nampak satpam itu merasa pangkling dan tidak menyangka jika yang bertamu adalah anak dan menantu dari majikannya sendiri. "Apa kabar Pak Danang," sapa Bima melepaskan kacamata hitam nya yang memperlihatkan keindahan bola matanya. "B-baik Mas Bima, ya ampun, saya nggak nyangka kalau Mas Bima sekarang bawaannya mobil," ucap pria paruh baya itu tersenyum kagum. "Terima kasih Pak, ini semua berkat kerja keras dan dendam juga pada orang-orang yang telah meremehkan saya." celetuk Bima memberikan jawaban. Lalu tanpa berpikir panjang, pria itu lebih dulu melangkah sambil memakai kembali kacamata
Di sebuah kota yang dipenuhi dengan kebisingan dan banyaknya kesibukan, tinggal lah sepasang suami istri di sebuah kontrakan yang tidak begitu luas, bersama seorang anak yang baru berusia tiga tahun. Suara tangis seorang bocah membangunkan Bima, pria berusia dua puluh lima tahun yang menikah dengan Elisa, dan dikaruniai seorang putri bernama Gendhis. "Arrrghhh! Apa-apaan si ini, kenapa berisik sekali, apa tidak tahu kalau aku baru aja mau tidur!"Suara Bima memecah gendeng telinga Elisa yang mendengar, pun rasanya sangat geram, karena setiap hari suaminya bersikap seperti itu. Pulang pagi lalu tidur sampai siang hari, tak ia pikirkan jika istri dan anaknya butuh makan dan susu. Elisa masuk ke kamar dan melemparkan bantal tepat di wajah suaminya, merasa geram lantaran masih asik memejamkan mata sementara peran suami di luar sana sudah sibuk mencari nafkah. "Mas, bangun kamu Mas! Beras di dapur itu sudah habis, tidak ada stok bahan yang bisa aku olah menjadi makanan, Gendhis nangis