Share

Bab 3

“Mau sampai kapan bengong di sana?” tanya Daril bernada dingin.

Lulu merasa panik sampai-sampai badannya terasa lemas. Lekas ia bangkit dan berjalan ke pinggir.

“Maafkan saya, Tuan,” katanya sambil menunduk takut. Lulu diam-diam menggigit bibir bawahnya dan memejamkan mata karena kepanikan terus bergema di dadanya.

Pria yang tadi mengemudikan mobil tersebut buru-buru menghampiri mereka, setelah menepikan mobil.

Keringat dingin mengucur dari dahi pria itu. Tampaknya pria itu juga syok dan panik seperti Lulu. “Maafkan saya, Pak Daril.”

Daryl menarik napas kesal dan menghiraukan asistennya. Dia menoleh pada Lulu yang diam-diam mendongak. “Urus masalah ini, Gilang.”

Lantas Daril kembali ke dalam mobilnya.

“Apa kamu terluka?” Gilang bertanya seraya mengamati Lulu.

Lulu menggelengkan kepala kuat-kuat, hingga helaian rambutnya yang kusam dan berminyak keluar dari tatanan. “Saya nggak terluka. Mengenai … mengenai bemper mobil yang lecet—”

Gilang memotong ucapan Lulu. “Kamu tidak perlu memikirkannya. Tapi, kamu harus ikut dengan kami untuk membicarakan masalah ini dan membuat kesepakatan,” katanya.

“Jadi, saya nggak perlu membayar?” Lulu bertanya untuk memastikan.

Kristal hangat di mata Lulu hampir berjatuhan. Jika pria itu menginginkan ganti rugi, semua tabungan Lulu mungkin tidak akan cukup. Ini semua gara-gara Felia yang menendang kopernya.

“Kita akan bicarakan itu dalam perjalanan,” jawabnya. “Silakan ikut kami.” Gilang menyeret koper Lulu dan menaruhnya di bagasi.

Jantung Lulu meletup-letup. Ada keinginan untuk menolak mengikuti mereka, tapi ia tetap harus menyelesaikan masalah ini.

Ia masuk ke kursi penumpang. Dengan ragu-ragu menengok ke kursi belakang. Mata Lulu mendapati Daril menatapnya dengan tajam.

Degup jantung Lulu semakin bertambah kencang. “Saya sungguh minta maaf, Pak. Bukan cuma bemper Anda yang lecet, koper saya juga penyok. Ini semua gara-gara Tante Felia yang mendorong koper saya,” jelas Lulu.

Tetapi, Daril bergeming mendengar penjelasan Lulu. Tatapannya masih tajam seperti sebelumnya.

“Kamu bisa bicarakan dengan saya,” kata Gilang saat pria itu sudah duduk di kursi pengemudi. Dia mengulurkan sebuah kartu nama pada Lulu.

Lulu meraih kartu nama tersebut dengan tangan yang masih gemetar. Ia membaca nama yang tertera di kartu tersebut dan matanya membelalak.

Gilang Dananta, Assistant General Manager. Pria ini yang mengemudikan mobil ini ternyata asisten GM Hotel Senggani View. Hotel yang merupakan tempat kerja Jovan saat ini.

Lulu menebak bahwa pria yang duduk di kursi belakang adalah General Manager hotel tersebut. Ia menelan ludah dalam-dalam.

Kebetulan macam apa ini? Dalam benaknya Lulu bertanya.

“Nama saya Lulu Namari. Kejadian tadi benar-benar bukan salah saya, Pak Gilang. Tante Felia yang mendorong koper saya.”

“Lalu di mana orang itu sekarang? Dan kenapa dia mendorong koper kamu?” Gilang bertanya tanpa menoleh pada Lulu. “Aksi kamu tadi sangat berbahaya. Untung saja saya bisa mengerem tepat waktu. Kalau tidak, bukan hanya koper kamu yang lecet, tapi kamu yang terpental.”

“Anda lihat rumah yang tadi? Tante Felia ada di rumahnya. Sekali lagi saya minta maaf. Tapi, Anda juga harus minta maaf. Karena kita sama-sama salah di sini,” sahut Lulu.

Rasa marah Lulu ketika masih di rumah Felia sekarang sepenuhnya tergantikan oleh ketegangan.

“Saya tidak tahu apa yang terjadi antara kamu dan orang yang kamu maksudkan itu. Tentu saja saya minta maaf atas kejadian tadi. Kita akan membicarakan masalah ini sesampainya di hotel nanti,” jelas Gilang yang ingin fokus menyetir.

Lelaki itu melirik atasannya dari mirror view. Kebisingan di kursi depan agaknya membuat Daril terganggu. Bisa dipastikan dari kening Daril yang berkerut dan tatapan kesal yang semakin dalam.

Lulu ingin melontarkan pendapatnya lagi, tapi Gilang memberikannya isyarat dengan melirik Lulu sambil menggeleng.

Lulu pun menutup mulutnya dan duduk dengan tenang di kursinya. Saat menurunkan tatapannya, ia mengerutkan bibir melihat penampilannya. Ia belum sempat mengganti pakaian lusuh yang sudah seharian dikenakannya.

Empat tahun Lulu merasa terkungkung tinggal di rumah Jovan. Ia tak bisa menikmati angin segar kala ketiga orang itu pergi berlibur. Lulu akan ditinggal sendirian—menjaga rumah.

Dan bodohnya ia tetap bertahan di rumah itu karena suatu keyakinan bahwa ia akan menjadi nyonya rumah itu suatu saat.

Pakaian yang dipakai Lulu juga merupakan pakaian bekas yang sudah tak lagi dipakai Felia. Bahkan, Felia melarang Lulu membeli pakaian baru karena dianggap boros.

Felia menyuruh Lulu untuk menyisihkan uang yang dikirim orang tuanya untuk biaya pernikahan Lulu nanti.

Biaya pernikahan apanya!

Lulu ingin menikmati hidupnya sekarang. Ia juga ingin merasakan membeli pakaian baru yang cantik dan makan makanan enak di restoran.

Tentu saja setelah menyelesaikan masalah dengan pria di kursi belakang.

🍀🍀🍀

Pandangan Lulu menyapu gedung hotel tersebut. Beruntung sekali Jovan karena bisa menjadi manajer di tempat sebagus ini.

Terbesit ide dalam benak Lulu untuk melamar pekerjaan di tempat ini dan membuat Jovan mati kesal. Meskipun ia tak terlalu yakin hotel ini menerima karyawan tanpa pengalaman.

Gilang memarkirkan mobil di basement dan sebelum mereka turun dari mobil, Daril bertanya padanya. “Kamu punya sosial media?”

Lulu sekilas melirik pada Gilang, dan dia memberi isyarat agar Lulu menjawab pertanyaan atasannya.

Lulu memutar wajahnya ke samping kanan untuk melihat pria itu. “Saya punya sosial media, Pak.”

“Masalah malam ini, tolong jangan sebarkan ke sosial media. Kamu paham maksud saya?” Suara pria itu terdengar dingin saat memberikan peringatan pada Lulu.

Sambil mengangguk-angguk Lulu menjawab, “Saya mengerti maksud Bapak. Lagi pula saya jarang main sosmed. Jadi, Bapak tenang saja. Bapak nggak akan menemukan apa pun tentang malam ini di sosmed saya. Tapi satu hal yang perlu saya perjelas, Pak. Bukan hanya saya yang memiliki sosmed. Bapak berharap saja nggak ada yang merekam secara sengaja.”

“Oh. Gilang akan mengurus hal itu.”

“Baik, Pak Daril,” ucap Gilang lalu membuka pintu mobil. Gilang berjalan cepat memutari mobil dan membukakan pintu belakang untuk atasannya.

Pria yang berdiri di hadapannya, mengenakan setelan suit hitam bermerek. Tinggi Daril lebih dari 180 cm dan itu membuat Lulu terlihat seperti gadis kecil ketika berdiri di depan Daril.

Semakin mendongak, netra Lulu disuguhi fitur wajah Daril yang tampan, serta rambut hitam yang tertata rapi. Pria ini jauh lebih tampan dan berkarisma dibandingkan Jovan.

Ketika Daril menjatuhkan tatapan padanya, Lulu segera menundukkan kepala. Siapa yang bilang dia kuat jika ditatap oleh pria tampan? Yang ada nyali Lulu menciut karena aura maskulin Daril.

“Kenapa masih berdiri di sini? Ikuti Gilang,” kata Daril yang mulai beranjak melewati Lulu.

“Ah! Iya, saya akan mengikuti Pak Gilang.” Ketika Lulu berbalik, Daril sudah masuk ke dalam lift. Sosok pria itu pun menghilang kala pintu lift tertutup.

“Lulu, kita pakai lift yang ini. Lift yang dipakai Pak Daril langsung mengarah ke lantai kantor beliau,” terang Gilang. Pria itu dengan baik hati menarik koper untuk Lulu.

“Lift pribadi maksudnya? Apa Pak Daril itu GM hotel ini?”

Gilang tersenyum sebelum menjawab, “Ya. Beliau juga pemilik hotel ini.”

Pemilik Senggani View Hotel? Lulu sering mendengar Jovan membicarakan pemilik hotel ini, Daril Rajyesta. Pria yang dipuji-puji karena kehebatannya dalam memimpin hotel. Jika Jovan tahu Lulu naik mobil Bos-nya, dia mungkin mencecar Lulu dengan berbagai pertanyaan.

☘️

Resepsionis mengangkat wajahnya, dan lagi-lagi terperangah. Tak biasanya seorang Gilang yang dikenal sebagai tangan kanan Daril, membawa seorang gadis lusuh ke hotel.

Wanita itu tetap menampilkan senyum profesional setelah usai mengurus administrasi kamar Lulu. “Kamar Anda di lantai 3 nomor 310. Ini kunci kamar Anda. Anda bisa memesan layanan makanan dari restoran kami atau datang langsung ke restoran yang ada di lantai 5. Semoga Anda menikmati pelayanan hotel kami.”

“Makasih, Kak.” Lulu mengambil kunci kamarnya dan tak lupa ia juga berterima kasih pada Gilang.

“Sebaiknya kamu membersihkan diri. Kita akan bicara lagi nanti karena saya harus ke ruangan Pak Daril sekarang.”

“Pak Gilang tunggu.”

“Ada apa, Lulu?”

“Terima kasih, karena sudah mengizinkan saya menginap di hotel ini.”

“Kamu harus berterima kasih kepada Pak Daril. Saya hanya mengikuti saran beliau.”

Sementara Lulu terperangah mengetahui ini ide Daril, Gilang sudah berjalan meninggalkannya.

Lulu menarik kopernya yang penyok ke dalam lift. Ia tak begitu memperhatikan beberapa pasang mata yang melirik ke arahnya tadi.

Mereka adalah karyawan hotel yang mengenal Gilang. Bahkan, ada beberapa penggemar Gilang yang barusan memelototi Lulu.

Setelah sampai di kamarnya, Lulu mandi terlebih dulu.

Ia memikirkan lagi ketika nyawanya hampir saja melayang. Kemudian mengutuk Felia dan Jovan dalam hati.

“Aku bakal kembalikan penghinaan mereka terhadapku, sampai mereka berlutut minta maaf.”

Hati Lulu yang pedih dan penuh kesedihan karena pengkhianatan Jovan sudah berubah menjadi amarah yang tertanam.

Lulu berjanji di depan pantulan dirinya di depan cermin. “Lulu yang lugu, penurut dan setia menunggu Jovan sudah nggak ada lagi!” Lulu mengepalkan tangan kuat-kuat dan menghantam wastafel.

“Jovan sialan! Pria nggak tahu diri! Pengkhianat yang nggak pantas dicintai!” teriaknya.

Usai meluapkan kemarahannya, Lulu keluar dari kamar mandi. Seseorang terdengar mengetuk pintu. Perlahan ia mendekat dan mengangkat tangan untuk membuka pintu.

“Selamat malam, kantor Pak GM memerintahkan saya menyiapkan beberapa pakaian untuk Nona Lulu Namari.” Wanita itu menyerahkan beberapa pakaian pada Lulu dengan senyum sopan, lalu kembali berkata, “Anda diminta datang ke restoran di lantai 5 dalam waktu 15 menit.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status