Perjuangan Dewita dalam mempertahankan pernikahan ternyata sia-sia. Sikap baiknya, penerimaannya terhadap laki-laki seperti Gibran tak berbalas sebaliknya. Ia justru menerima ajakan berpisah dari Gibran. Bagaimana kisah mereka selanjutnya?
View MoreHari-hari selama proses persidangan Gibran semakin berubah menjadi sosok yang lebih pendiam. Sering sekali saat duduk di teras belakang rumah sendirian dia termenung. Kehancuran pernikahannya dengan Dewi benar-benar menjadi pukulan terbesar dalam hidupnya. Bahkan saat ayahnya meninggal pun, Gibran tidak seberduka itu. Namun, kehilangan Dewi dan anak yang ada dalam kandungan Dewi, benar-benar membuat Gibran berada di titik terendah.Senyumnya, kata-kata yang keluar dari bibirnya, hanya untuk menenangkan hati Rindu. Gibran tidak ingin Rindu terus-menerus keluar masuk rumah sakit, terlebih kandungannya pun semakin besar. Gibran berusaha bersikap sebaik mungkin pada Rindu. Meski hatinya tak sejalan dengan apa yang dia lakukan dan katakan.Bibirnya menyebut Rindu dengan panggilan sayang, sementara hatinya dipenuhi kerinduan tak terbendung kepada Dewi. Tangannya menyentuh Rindu untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami, tetapi matanya melihat wajah Rindu dengan rupa Dewi. Bahkan ser
"Loh, Bran? Sepeda motor kamu mana?" tanya Bu Santi begitu melihat Gibran memasuki pekarangan rumah dengan berjalan kaki. Kebetulan siang itu Bu Santi sedang menyapu teras. "Tadi aku keserempet mobil, Bu. Jadi motorku lagi diperbaiki di bengkel," dusta Gibran. Ia berusaha bersikap biasa saja. Terus berjalan dengan membawa dua kantong belanjaan cukup besar.Bu Santi justru yang sangat terkejut mendengar itu. Wanita berdaster hitam tersebut langsung membuang sapunya dan mengejar putranya yang sedang berjalan ke arahnya. "Ya ampun, terus kamu gimana? Apanya yang luka? serunya sembari meraba-raba badan Gibran."Aku enggak kenapa-napa, Bu. Motornya aja yang bagian depannya hancur.""Ya ampun, ada-ada aja, Bran. Tapi untung kamu tidak kenapa-kenapa. Tidak ada yang lecet?""Enggak, Bu. Aku baik-baik aja." Dalam hati ingin sekali Gibran memeluk ibunya dan mengatakan yang sebenarnya, kalau motornya telah ia jual murah. Hanya saja ia tidak mau ibunya kepikiran."Syukurlah, kalau begitu." Bu Sa
Gibran menghela napas lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. "Kamu tidak siap-siap buat nyari kerjaan, Bran?" tanya Bu Santi dengan hati-hati. "Rindu masih sakit, Bu." "Rindu biar Ibu yang urus tidak apa-apa, Bran." Gibran menoleh dan menatap ibunya. Padahal saat ada Dewi, selalu Dewi yang mengurus ibunya. Tidak pernah sekali pun Dewi merepotkan ibunya. Dan sekarang semua menjadi kebalikannya. "Tapi Ibu baru aja sembuh juga. Gibran takut Ibu sakit lagi kalau nanti kecapean, Bu." "Tidak, Bran. Ibu masih kuat. Ibu juga sehat, kok." "Benar ibu enggak apa-apa kalau Gibran keluar?" "Iya, Bran. Enggak apa-apa." "Ya udah, Gibran mandi dulu, Bu." Bu Santi mengangguk. Meski di dadanya masih ada bongkahan besar yang belum ia keluarkan. Gibran beranjak dari sofa dan hendak melangkah ke belakang untuk mandi, namun, belum juga menjauh dari sofa, Bu Santi sudah memanggilnya lagi. "Iya, Bu? Ada apa?" tanya Gibran sembari menoleh. "Ehm, anu, Bran ...." Bu Santi ragu-ragu hendak menyampai
"Rin, maaf .... Kami tidak bisa melawan kehendak warga," ucap suami kakak Asih, lelaki yang biasa Rindu panggil dengan sebutan Pakde. "Terus aku harus makamin Mama dimana, Pakde? Pesan Mama, dia ingin dimakamkan di sini," ucap Rindu sembari terisak-isak. "Gimana lagi, aku tidak berani menentang warga. Apalagi selama ini, mamamu cukup menjadi buah bibir warga karena pekerjaannya. Dan sekarang ditambah dengan meninggal dalam kondisi seperti ini. Aku juga tidak tega, Rin. Tapi, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa," ucap Pakde Rindu dengan penuh penyesalan. Rindu terisak-isak tanpa tahu harus berbuat apa. "Buat makamin Mama di tempat lain, tentu aku butuh uang yang enggak sedikit. Sementara aku udah enggak punya apa-apa, Pakde ...." Tangis Rindu semakin pecah. Gibran yang berada di sisi Rindu juga ikut bingung dengan situasi ini. Sisa uang dari penjualan mobil Rindu sudah digunakan untuk melunasi biaya rumah sakit Asih. Untuk membayar pemakaman di tempat lain, ia sudah tidak punya
Gibran dan Bu Santi sangat terkejut saat di rumahnya kedatangan dua orang polisi. Mereka pikir, Gibran akan kembali ditangkap karena Asih sakit. Namun, kabar yang tak pernah mereka pikir, justru yang mereka dengar."Apa? Mama Asih meninggal?" Gibran mengulangi perkataan salah seorang polisi yang mendatanginya itu."Betul, Pak. Bu Rindu yang meminta kami untuk menyampaikan kabar ini kepada Pak Gibran.""I-iya, Pak. Makasih," ucap Gibran yang masih diliputi rasa tidak percaya."Kalau gitu, kami tunggu Bapak di rumah sakit untuk mengurus semuanya.""Ba-baik, Pak."Selepas kedua polisi itu pergi, Gibran tertegun. Ia benar-benar tidak percaya kalau sakit yang diderita mama mertuanya sampai separah itu hingga membawanya pada sebuah ajal. Gibran memang tidak tahu perihal Asih mengidap HIV AIDS. Yang ia tahu hanya kondisi Asih yang tidak terlalu sehat selama ini.Tiba-tiba Gibran terbayang wajah Rindu. Istrinya itu pasti saat ini sedang sangat berduka. Dan Rindu sendirian.Ribuan anak panah y
"Istighfar, Nak, istighfar ...." Bu Santi mengelus lengan putranya. Ia sangat takut kalau Gibran sampai kehilangan kewarasannya karena memikirkan Dewi. "Tapi, tadi Gibran liat Dewi masak sama Ibu!" Gibran masih sangat yakin dengan apa yang tadi dilihatnya."Tidak ada Dewi di sini, Bran! Dewi tidak di sini!" tegas Bu Santi tak ingin membohongi putranya. Ketika Bu Santi membentaknya seperti itu, Gibran tertegun dan dadanya kembali teramat nyeri. Ia kembali menyadari kalau Dewi telah pergi. Bergegas Gibran keluar dari rumah ibunya. Ia kemudian mengunjungi rumahnya dengan Dewi. Ia ingin memastikan lagi kalau pernikahannya dengan Dewi benar-benar sedang berada di ujung tanduk dan tidak ada harapan untuk diperbaiki. Begitu melihat kondisi rumahnya masih sama dengan saat terakhir ia lihat, baru Gibran tersadar kalau Dewi memang tidak ada di rumah ibunya. "Aku harus nyari kamu kemana, Wi?" gumam Gibran sembari memandangi pagar rumahnya. Ingin sekali Gibran melihat sesuatu yang berubah
Bu Santi sebenarnya tidak tega melihat Rindu berderai air mata seperti itu, kecewa pada Gibran karena tidak mau mengantarnya. Hanya saja, Bu Santi pun tidak bisa memaksa Gibran. Kondisi Gibran pun saat ini sedang tidak baik-baik saja."Sudah, Rin. Kamu pesan taksi lagi aja, terus ke rumah sakit. Kondisi Gibran saat ini juga sedang tidak baik-baik saja." Bu Santi berusaha menengahi."Sedang enggak baik-baik aja Ibu bilang?" hardik Rindu. "Dia sehat begini, Bu! Alasannya aja enggak mau antar aku urusin Mama! Kamu marah sama Mama karena dia yang palsuin identitas itu? Iya?" bentak Rindu pada Gibran karena merasa begitu marah. "Asal kamu tau, Mas. Mama lakuin itu demi kebaikan kita! Demi masa depan kita! Demi status anak kita!"Kepala Gibran semakin pusing mendengar omelan Rindu. Sepulang dari penjara, sebenarnya kondisinya tidak baik-baik saja. Tubuhnya seperti orang masuk angin karena memang di dalam sel tidak senyaman di kamar tidur."Iya, Sayang aku tahu." Gibran berusaha menenangkan
Gibran langsung memeluk ibunya. Ia bahkan belum memikirkan hal sejauh itu karena selama ini hanya berpikir bagaimana caranya agar Dewi mengurungkan niatnya bercerai tanpa berpikir bagaimana kalau akhirnya ia dan Dewi benar-benar bercerai."Ibu tenang aja. Aku akan cari kerjaan lagi. Ibu enggak usah mikir yang berat-berat. Aku masih muda, Bu. Masih mampu sekadar mencukupi kebutuhan kalian."Bu Santi menangis cukup lama dalam pelukan putranya. Selama beberapa hari memendam semuanya, ini kali pertama Bu Santi bisa melampiaskan kesedihannya dengan lepas.Seharian itu Gibran berada di rumah ibunya. Ia bahkan sama sekali tidak mengecek ponselnya di tas. Ia hanya terus memikirkan Dewi, Dewi, Dewi, dan Dewi. Sampai ia melupakan Rindu yang sedang menunggunya untuk ke kantor polisi.Selesai makan siang bersama Bu Santi, Gibran menuju teras belakang rumah ibunya. Biasanya saat Dewi berada di rumah Bu Santi, wanita itu akan berlama-lama berada di sana di depan laptopnya. Gibran harap, kali ini pu
Gibran pulang membawa raga tanpa jiwa. Runtutan peristiwa tentang Dewi tersusun seperti puzzle di kepalanya. Mulai rumah mereka yang kosong dengan pintu pagar tergembok. Lalu Dewi keluar dari pekerjaan yang Gibran tahu sangat Dewi nomor satukan. Bahkan Gibran sampai merasa tidak akan ada yang mampu membuat Dewi keluar dari pekerjaannya. Namun, saat ini Dewi telah meninggalkan pekerjaan yang baginya sangat berarti itu. Kemudian barusan, rumah Bu Rasti telah terjual."Iya, dijual," gumam Gibran meyakinkan dirinya sendiri. Gibran tahu persis seberarti apa rumah itu bagi Bu Rasti. Ibu mertuanya itu bahkan menolak mentah-mentah saat Dewi meminta agar Bu Rasti ikut tinggal di rumahnya. Bu Rasti tidak mau meninggalkan rumah penuh sejarah perjuangan hidupnya selepas bercerai dengan Pak Wisnu. Namun, sekarang rumah yang bagi Bu Rasti sangat berarti itu pun sudah terjual."Kenapa sampai begitu, Wi? Kalian pergi kemana?" Pertanyaan itu memenuhi kepala Gibran. Membuat Gibran serasa tidak berada
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.