Share

Runtuh

"De-Dewi?" Mata Gibran melebar melihat wanita yang masih berstatus istrinya itu berdiri di ruang keluarga. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Dewi akan datang ke rumah ibunya pagi-pagi begini. Sesuatu yang di luar kebiasaannya.

"Iya, Mas. Ini aku." Dewi menatap Gibran tanpa gentar. Meski sebenarnya hatinya tak sepenuhnya tegar. Wanita itu bahkan berusaha tersenyum. Meski senyumnya terlihat getir dan menyedihkan. Setidaknya Dewi sedang berusaha meredam hatinya yang sedang membara.

"Kenapa kamu enggak bilang yang sebenarnya, Mas? Kalau kamu bilang semalam, aku enggak akan repot-repot ke sini dan memergoki kalian seperti ini." Senyum masih tersungging di bibir Dewi. "Maaf, ya, aku jadi ganggu acara suap-suapan kalian."

Gibran beranjak dari kursi. "Wi, Wi, ini ... enggak seperti yang kamu pikirkan." Gibran berusaha menjangkau Dewi, tetapi wanita itu mundur selangkah.

"Enggak apa-apa, Mas. Aku malah lega. Sekarang aku tahu alasan kamu tidak bisa meneruskan pernikahan kita."

"Wi, aku ...." Gibran justru tidak bisa berkata-kata melihat senyum dan ketenangan yang ditunjukkan Dewi. Karena Gibran tahu, saat ini Dewi sedang sangat terluka. Gibran tahu betul seapik apa Dewi bisa menyembunyikan setiap luka yang diterima. "Ini ... enggak seperti yang kamu kira, Wi."

"Udah, Mas. Enggak apa-apa. Silakan lanjutin lagi suap-suapannya. Sudah siang, aku harus ke kantor."

"Wi ...."

"Oh, ya, mana Ibu?" Dewi menyapukan pandangan ke seluruh ruangan karena sejak tadi ia tidak melihat ibu mertuanya. Ia benar-benar bersikap biasa seolah-olah tidak ada masalah apa-apa.

"Ibu ke warung, Wi."

"Ya udah, salam aja buat Ibu. Sampaiin kalau aku mampir ke sini."

Gibran benar-benar tidak tahu harus menanggapi Dewi bagaimana. Ia mati kutu di depan wanita itu.

"Oh, ya, Rin." Dewi beralih pada perempuan yang masih terpaku di kursinya. Ia tahu betul dia siapa. "Sabar dikit, ya! Bentar lagi kami cerai, kok. Enggak usah kegatelan gitu jadi perempuan. Jijik diliat orang."

Dewi kemudian meninggalkan rumah mertuanya. Ia tidak peduli dengan panggilan Gibran. Hingga akhirnya Gibran berhasil mengejarnya dan menghalanginya membuka pintu mobil.

"Wi, dengarkan aku dulu!" pinta Gibran.

"Dengarkan apalagi, Mas? Bukannya semua udah selesai? Semalam udah kamu jelasin dan pagi ini aku udah liat langsung. Jadi, mau bicara apalagi?" Sebenarnya Dewi sudah tidak sanggup berlama-lama berpura-pura baik-baik saja. Dadanya sudah teramat sesak dan ingin segera ditumpahkan melalui air mata. Namun, ia tidak ingin terlihat lemah di depan calon mantan suaminya itu.

"Kamu salah paham, Wi. Ini enggak seperti yang kamu duga. Aku sama Rindu enggak ada hubungan apa-apa," jelas Gibran. Awalnya ia memang ingin bercerai dengan Dewi, tetapi ia tidak ingin dengan cara seperti ini. Ia tidak mau jadi pihak yang salah. Jadi, ia harus menjelaskan kalau antara dirinya dan Rindu tidak ada hubungan apa-apa. Meski kenyataannya ada.

"Itu udah enggak penting lagi buat aku, Mas. Kamu ingin kita cerai, kan? Oke, mari bercerai!"

Gibran justru hanya terpaku melihat Dewi yang begitu mantap berpisah. Dan kini, justru dirinyalah yang ragu untuk melepas Dewi. Keinginannya untuk bercerai entah menghilang kemana. Yang ia tahu, saat ini ia tidak ingin kehilangan Dewi, kehilangan istri yang sedingin Dewi.

"Kenapa malah diam, Mas?" tanya Dewi karena Gibran hanya terpaku menatapnya. "Silakan jatuhkan talak kamu! Aku udah siap."

Bukannya menjatuhkan talaknya, Gibran justru langsung merengkuh tubuh Dewi dengan erat. Sangat erat. "Enggak, Wi. Semalam aku cuma emosi. Aku cuma kebawa emosi. Enggak, Wi. Jangan pergi! Jangan tinggalin aku!"

Dewi yang sudah terlanjur sakit hati langsung mendorong tubuh Gibran menjauh. "Kenapa jadi berubah pikiran?"

"Semalam aku cuma kebawa emosi, Wi. Enggak! Aku enggak mau kita cerai." Gibran benar-benar menyesal atas apa yang telah ia ucapkan semalam.

"Terus Rindu mau kamu apain?"

"Dia .... Aku enggak ada hubungan apa-apa sama dia, Wi."

"Bohong!" teriak Rindu yang sudah berdiri di teras. "Kamu harus tahu, Wi. Kami udah nikah. Dan sekarang aku hamil anak Gibran!"

Dunia Dewi runtuh mendengar itu. Baginya belum ada kesakitan yang melebihi kesakitan yang oleh pengkhianatan Gibran saat ini. Dewi kemudian menoleh ke arah Gibran yang saat ini menunduk pasrah, meraup udara dengan rakus karena rongga dadanya seperti tersumbat saling sesaknya. Berkali-kali ia menghela napas, sampai akhirnya ia kembali memiliki kekuatan.

"Jatuhkan talakmu sekarang!" titah Dewi dengan suara lirih dan tenang, tetapi terdengar seperti ular yang mendesis.

Gibran tidak menanggapi. Ia masih menunduk tanpa berani mantap wajah terluka Dewi.

Dewi memejamkan mata beberapa saat. Kesabarannya telah habis. Ia kemudian berteriak. "Mas! Jatuhkan talakmu sekarang!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status