Share

Gadis 200 juta
Gadis 200 juta
Penulis: Aluna Dzakira

Bab 1. Kabur Dari Rumah

"Kamu mau kuliah? Hahahah! Gak usah ngimpi! Kamu aku sekolahkan sampai lulus SMA saja sudah untung, dan selama ini tidak aku terlantarkan. Kamu pikir biaya kuliah tidak mahal?" Satu tangan Bu Rika bertelekan pinggang, satunya lagi menunujuk-nunjuk ke arah Muka Alana. Alana yang sedang berdiri didepan Ibu tirinya itu hanya menundukkan mukanya.

"Tapi aku mendapat beasiswa dari UNT, Ma. Jadi masalah biaya tidak akan merepotkan Mama lagi." Jawab Alana sambil menunjukkan selembar kertas yang berisi pengumuman bahwa dia masuk nominasi peraih beasiswa penuh di UNT. Disamping meraih beasiswa penuh sampai nanti dia lulus, sebelumnya Alana juga diterima di kampus PTN ternama di kota tersebut melalui jalur prestasi.

Bu Rika terkejut. Dia baca surat panggilan dari kampus ternama itu. Hatinya panas tak terkira. Mischa, anak kandungnya yang bermimpi masuk kampus favorit itu saja, tidak diterima. Kenapa malah Alana, anak dari mendiang suaminya yang selama ini dia benci malah keterima?

Ini tidak bisa dibiarkan! Dia harus bertindak cepat untuk menggagalkan gadis itu masuk ke kampus unggulan tersebut. Yang boleh masuk kampus itu adalah Mischa. Alana jangan sampai kuliah disitu. Nanti kalau dia sukses, bisa-bisa balas menginjak-injaknya, mengingat perlakuannya selama ini kepada Alana sangat tidak baik.

"Lupakan dulu biasiswa itu, kamu setelah lulus SMA sudah ada yang mau melamarmu. Kamu harus mau menikah dengan dia. Dia itu sangat kaya raya. Kamu dijamin tidak akan pernah kekurangan jika mau menikah dengannya. Bahkan kamu bisa minta kuliah di kampus manapun termasuk di luar negri." Ujar Mama melunak.

Alana terbelalak. Mau melamar? Siapa yang mau melamar gadis pendiam dan tertutup seperti dia? Bahkan hidupnya selama ini hanya disibukkan dengan sekolah, selepas sekolah dia harus bekerja di warung makan Bu Mirah sampai jam 9 malam. Setelah itu dia harus belajar. Paginya dia bangun jam 4 untuk mencuci pakaiannya beserta pakaian Mama dan Mischa, lalu memasak, dan bersih-bersih rumah. Kalau semua itu belum beres, Mama tidak mengijinkannya sarapan dan berangkat sekolah. Jadi dia benar-benar tidak ada waktu hanya untuk sekedar hang out sama teman-temannya seperti yang selama ini Mischa lakukan, apalagi berkenalan dengan cowok.

"Tapi aku tidak mau menikah dulu, Ma. Aku mau mengambil kesempatan beasiswa dari UNT dulu, aku gak mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini."

"Ada apa, Ma? Kok kelihatannya sedang memikirkan sesuatu?" Mischa yang baru pulang sekolah menghampiri Mama yang sedang memegang keningnya, seperti memikirkan sesuatu.

"Gimana, kamu keterima di kampus UNT apa tidak?" Mama malah balik menanyakan topik lain.

Raut muka Mischa berubah jadi sedih, dia tidak diterima di kampus tersebut, padahal kuliah disana adalah impiannya.

"Gak keterima, Ma. Tapi temenku yang kaya raya bisa masuk kampus tersebut berkat papanya menyogok rektor disana. Mischa juga mau dong Mama melakukan itu untuk Mischa. Please ya, Ma..." Mischa tiba-tiba merengek, memaksa Mama melakukan hal yang sama.

"Kamu pikir Mama banyak uang, hah?! Makanya punya otak tuh yang encer dikit napa. Masak kalah sama Alana!" Bentak Mama. Meskipun begitu, Mama tetap mencari jalan buat memuluskan cara agar Mischa keterima kuliah di UNT.

"Kenapa Mama gak manfaatkan Alana saja untuk bekerja, suruh dia cari uang yang banyak. Kalau perlu suruh saja dia jual diri. Kan hasilnya lumayan tuh, daripada hasil dia selama ini jadi tukang cuci piring di warung Mbok Mirah, hasilnya kan tidak seberapa. Nanti setiap dia pulang kerja kita minta uangnya. Sana gih suruh gadis sialan itu sekarang, Ma." Tutur Mischa.

Mischa pun sama halnya dengan Mama, sama-sama membenci Alana. Kalau Mama menganggap Alana selama ini hanya beban, beda dengan Mischa. Mischa menganggap saudara tirinya itu sebagai saingan buat dia. Alana di sekolah sangat berprestasi, banyak disukai guru dan murid yang lain. Tentunya berbeda dengan dia.

"Mama ada ide." Ujar Mama. Dia lalu membisikkan sesuatu di telinga Mischa.

"A-apa? Om Anton?" Tanya Mischa sampai matanya membelalak.

"Diam, jangan keras-keras kamu. Om Anton itu sudah lama mengincar Alana. Namun aku bilang ke dia supaya nunggu sampai Luna lulus SMA, karena mendiang Papa kamu menyuruh Mama menyekolahkan kalian minimal sampai SMA, kalau tidak di turuti Mama takut kualat karena itu pesan terakhir papa kamu. Oke balik lagi ke Om Anton. Dia setuju untuk menukar hutang kita yang ratusan juta dengan menikahi Lana. Dia bahkan bakal ngasih bonus kepada kita DUA RATUS JUTA!!!" Mama menyampaikan kabar gembira itu sampai matanya terbelalak.

"Hah?! Yang bener Ma? Berarti uang bonus itu bisa kita gunakan untuk menyogok rektor UNT kan Ma? Denger-denger temen aku nyogok rektor pakai uang 30 juta, masih sisa 170 juta, Ma. Kita bisa gunakan uang itu untuk membeli mobil dan belanja sepuasnya di mall, hahahaha..." Mischa sangat gembira mendengar kabar dari Mama, sampai tertawa terbahak-bahak, dia tidak sabar untuk segera menjual saudara tirinya demi mendapat uang sebesar itu.

Tanpa mereka sadari bahwa diam-diam Alana mendengar percakapan Ibu dan anak itu. Geram sekali rasanya, begitu sakit terasa mengiris seluruh hatinya. Ingin sekali maju dan melawan mereka berdua yang tidak pernah memperlakukannya dengan baik itu. Apalagi dengan Mischa, rasanya tangannya gatal ingin mencakar-cakar mukanya yang mulus karena skincare rutin yang dia beli dengan hasil jerih payah kerja Alana selama ini menjadi tukang cuci piring di warung makan Bu Mirah.

Namun Alana tidak boleh gegabah. Melawan mereka hanya akan membahayakan dirinya sendiri, karena mereka pasti akan membalas dengan balasan lebih kejam lagi. Alana terus mencari akal untuk melarikan diri.

***

"Mamaaa... Kenapa sarapan belum terhidang di meja?! Ini lantai kenapa juga kotor sekali?! Dan uh, kenapa sampahnya yang di dapur juga belum dibuang sih?! Bikin banyak lalat saja!" Teriak Mischa pagi hari saat dia akan sarapan.

Mama yang juga terbiasa bangun siang, langsung terduduk mendengar teriakan marah-marah dari putri kesayangannya. Bergegas Mama memakai sandal, dan menyeret langkahnya menuju dapur.

Seketika aura kemarahan langsung terpancar dari wajah Mama.Rambutnya yang masih awut-awutan karena baru bangun tidur seketika membuatnya seperti monster. Mama langsung menyeret langkahnya menuju kamar Aluna.

"Heh, Luna! Keluar kamu! Dasar anak pemalas! Apa yang kamu lakukan dikamar jam segini belum turun, hah?!" Teriak Bu Rika sambil menggedor-gedor pintu kamar Aluna.

Namun gedoran dan teriakan itu tidak mendapat respon dari dalam kamar. Bu Rika mencoba membuka pintu kamar tersebut, namun ternyata pintu terkunci. Bu Rika geram sekali.

"Huh! Apa mati ya bocah itu? Sialan! Mana perut keroncongan minta diisi, tapi tidak ada makanan terhidang jam segini!" Umpat Bu Rika sambil berjalan menuju ke kamarnya, dan balik lagi membawa kunci cadangan kamar Aluna.

Tok tok tok!

"Selamat pagi..."

Tiba-tiba dari arah pintu depan terdengar ada suara mengetuk pintu.

"Maaa ada tamuuu..." Teriak Mischa.

Ah, siapa sih bertamu pagi-pagi begini. Mana belum mandi, rumah masih berantakan pula. Bu Rika ngedumel dalam hati dengan kesal.

"Hah?! Pak Anton? Ma-mari masuk, Pak." Bu Rika menyilakan pria setengah baya dengan tubuh tambun itu untuk masuk.

"Kedatangan saya kesini adalah untuk memberi tahu Bu Rika bahwa saya ingin pernikahan saya dengan Aluna dipercepat." Tanpa berbasa-basi terlebih dahulu, Pak Anton menyampaikan maksud kedatangannya.

"Aduuh, saya senang sekali mendengarnya, Pak. Justru saya senang kalau pernikahan dipercepat. Saya sendiri sudah mengatakan pada Aluna perihal lamaran Pak Anton, dan dia sangat setuju bapak menikahinya." Ujar Bu Rika dengan mata berbinar. Padahal dia belum mengatakan sama sekali kepada Luna perihal lamaran pria botak tersebut, karena jika dia katakan, Luna pasti akan menentang nikah paksa ini.

Dan dengan dipercepatnya pernikahan Pak Anton dengan Aluna, maka akan semakin cepat juga dia mendapat uang 200 juta!

"Baguslah Bu Rika. Kalau begitu saya minta acara pernikahan dilaksanakan besok. Siapkan segala keperluan akad nikah besok pagi jam 8, karena besok jam 8 saya akan ke sini bersama penghulu." Ujar pak Anton, lalu tangannya membuka tasnya, dan menyerahkan segepok uang berwarna biru dan masih terikat dengan kertas berlogo bank negri. Seketika mata Bu Rika melotot melihat uang segepok yang selama ini jarang dia pegang.

Pak Anton meminta acara sederhana saja, hanya dihadiri oleh dia, penghulu, dan Bu Rika, Mischa, dan dua orang saksi yakni tetangga terdekat.

Bu Rika sudah lebih cerah saat ini raut mukanya karena habis menerima segepok uang dari pak Anton. Dia kembali berjalan menuju kamar Aluna, dilanjutkannya membuka pintu Aluna dengan menggunakan kunci cadangan. Dan ternyata kamar itu... Lengang!

"Mischaaa...!" Teriak bu Rika dengan suara melengking.

"Ada apa sih Maa teriak-teriak mulu dari tadi?" Mischa yang sedang joget-joget di aplikasi tak-tik kesal sekali karena aktifitasnya jadi terganggu.

"Kesini cepat ke kamarnya Alana!"

Mischa menyeret langkahnya dengan bersungut-sungut. Dan tibalah dia dikamar adik tirinya yang sangat sederhana.

"Ada apa, Ma? Terus mana si Luna?"

"Luna kabuurrr lewat jendela! Sekarang bantu mama mencari anak tak tahu diuntung itu!"

"Hah? Kabur???"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status