Share

Bab 3. Kampus Impian

"Lihat itu gadis yang memakai baju berwarna biru lusuh. Bukankah itu Alana?" Ujar Mischa berbisik di telinga Mama.

Ya, mereka saat ini sudah berada di lingkungan kampus UNT. Hiruk-pikuk dan lalu-lalang anak-anak kampus memadati halaman luas tersebut. Ditambah lagi dengan banyaknya pendaftar kuliah yang ikut memadati halaman kampus. Tidak dipungkiri, kampus UNT merupakan incaran semua anak-anak yang berada di propinsi ini. Kampus ini adalah kampus favorit semua kalangan, dan sangat susah untuk bisa masuk ke kampus ini, apalagi untuk program studi populer.

Alana beruntung bisa masuk kampus ini lewat jalur prestasi. Jadi tidak perlu susah payah harus ikut berbagai macam tes masuk yang ribet. Dia kesini hanya untuk mengurus daftar ulang saja.

"Ayo kita ikuti kemana dia akan pergi setelah ini."

Mereka diam-diam menguntit kepergian Alana. Beruntung sekali mereka karena Aluna tidak mencurigai ada yang mengikutinya dari arah belakang. Aluna berjalan terus tanpa menoleh.

"Ma, kok sepertinya Lana berjalan mengikuti seorang cowok ya?" Ujar Mischa ketika mengikuti langkah Alana jauh di belakangnya.

***

"Berapa Pak ongkosnya?" Di persimpangan kota Alana turun dari angkot Pak Bejo, karena angkot tersebut akan menuju ke arah pasar, sedangkan untuk menuju ke kota dimana kampus UNT berada, Alana harus naik bus kota dari situ.

Setelah mendengar percakapan mama dan Kak Mischa perihal dirinya mau dinikahkan Om Anton, semalam Alana tidak bisa tidur. Dia mencari cara agar bisa lari dari kedua manusia iblis tersebut agar mereka gagal menikahkannya. Jalan satu-satunya adalah dengan kabur disaat Mama dan kak Mischa tidur.

Dini hari sebelum subuh, Alana keluar lewat jendela kamarnya. Dibawanya 1 ransel besar berisi pakaian, ijazah serta uang dua juta hasil menabung di tempat Bu Mirah. Uang tersebut dia kumpulkannya sedikit demi sedikit, dan dia titipkan kepada pemilik warung tempatnya bekerja tersebut. Dulu dia pernah membawa pulang semua gajinya, namun semua gaji tersebut dirampas oleh Bu Rika. Alana yang bekerja keras memeras keringat tidak diijinkan menikmati uang tersebut. Alasannya adalah untuk menyicil hutang Papa pada Om Anton.

Untuk itulah, bulan depannya Alana mengambil sedikit gajinya, untuk dia titipkan kepada Bu Mirah. Waktu ibu meminta gajinya, dia protes.

"Hey Lana, gajimu bulan kemarin dua juta, kenapa sekarang cuma 1.900.000? Kamu kemanakan uangnya?"

"Uangnya buat mengganti Bu Mirah, Ma. Gara-gara Alana memecahkan piringnya. Mulai sekarang Alana harus menyicil tiap bulan." Jawab Aluna.

"Kamu memang teledor! Uang segini mana cukup buat membayar hutang?! Huh! Terpaksa aku harus menambah angsuran pakai uangku sendiri!" Ujar Bu Rika sambil memukul Alana.

Begitulah, jika Alana berbuat sesuatu yang tidak sesuai keinginan Mama, Mama tidak segan-segan memukulnya. Kadang Mischa pun ikut membantu Mama memukulinya. Sehingga pantaslah badannya banyak bekas pukulan disana sini.

"Hey, kamu berasal dari Desa Gunungjati?" Pertanyaan si petugas panitia daftar ulang membuyarkan lamunan Aluna.

Alunay hanya mengangguk sambil tersenyum.

"Woy, Bos Bara. Lihat nih, ada yang berasal dari desa tanah kelahiranmu. Keren loh, bisa masuk lewat jalur prestasi. Kenal gak kamu sama gadis ini?" Teriak petugas tersebut kepada seorang yang bernama Bara.

"Hmm..." Hanya itu yang keluar dari mulut Bara.

Ketua panitia penerimaan mahasiswa baru yang bernama Bara itu menoleh sepintas, kemudian melanjutkan pekerjaannya lagi.

"Sok cool kamu ah, Bara. Kamu emang gak asyik kalau diajak godain cewek cantik. Sama sesama saudara sekampung saja sombong sekali." Seru panitia tersebut.

"Sudah apa belum kak, suratnya?" Alana mengalihkan pembicaraan, dia merasa risih dengan panitia yang agak ganjen itu.

"Sudah. Tapi bagi tahu dulu, kamu disini ngekost dimana?" Tanya panitia tersebut sambil mengerlingkan mata nakal.

"Saya baru mau cari kost, kak." Jawab Alana jujur. Dia memang selepas turun dari bus kota, langsung datang ke kampus untuk daftar ulang, setelah ini dia baru mau mencari kost murah.

"Aah yang bener, ayo jujur saja. Aku gak bakal nakalin kamu kok." Panitia tersebut masih juga tak percaya.

"Bener kak, sumpah Demi Allah." Jawab Alana mencoba meyakinkan.

"Kalau gitu, bagi nomer WA saja deh." Cowok itu tidak mau menyerah begitu saja.

"Aku tidak punya HP, kak." Jawab Luna lagi. Dia memang tidak memiliki benda pintar berbentuk pipih dan kotak. Selama ini mama tidak memfasilitasinya dengan HP, pengen beli sendiripun tidak mungkin, karena uang hasil kerjanya selalu diminta Mama, tanpa menyisakan sepeserpun.

"Aku gak percaya, gak ku kasihkan loh suratnya kalau kamu gak jujur."

"Galih, jangan godain anak baru! Kebiasaan kamu tuh ya?! Berikan apa tidak kertas itu!" Bara tiba-tiba marah. Cowok yang tadinya tampak dingin itu tiba-tiba menunjukkan pembelaannya terhadap Alana.

"Ah, sok pahlawan kamu Bara! Biar apa? Biar mendapat simpati dari mahasiswa baru kita ini, kan?" Ledek Galih.

"Diam kamu! Aku bisa mematahkan lehermu kalau kamu masih saja ganjen ke setiap mahasiswa baru!" Ucap Bara. Cowok itu lalu merebut surat milik Alana yang berada di tangan Galih, dan menyerahkannya kepada Alana.

"Terima kasih, Kak. Saya permisi dulu." Lana beranjak lalu berjalan keluar gedung.

"Tunggu!" Bara berseru kepada Aluna.

"Ada apa, kak?" Aluna membalikkan tubuhnya, menatap heran cowok jangkung berkulit putih itu.

"Ikut aku." Perintahnya.

"Hah?! Kemana?!!" Tanya Alana sambil mengernyitkan kening karena heran.

"Pokoknya ikut saja." Bara berkata dengan tegas. Gila nih cowok, kelakuannya misterius sekali. Alana jadi takut, Jangan-jangan dia mau berbuat sesuatu yang membahayakannya, mengingat dia hanya sendirian di kota ini, dan belum pernah berkunjung ke kota sekalipun.

Namun Alana seperti dicucuk hidungnya, tetap saja mengekori cowok itu yang jalannya cepat sekali, langkahnya juga lebar. Lana sampai tersengal-sengal mengikuti langkahnya.

"Cepetan dong kalau jalan. Kamu gak biasa kerja cepet ya dirumah? Pasti kamu terbiasa dimanjakan ortumu, lelet sekali sih?" Bara yang berada 5 meter didepan Alana menghentikan langkah, dan menengok sambil ngedumel kearah Lana.

Dibilang seperti itu, Lana jadi berang, ingin rasanya dia jejeli mulut pedas cowok angkuh didepannya itu pake ulekan cabe Bu Mirah. Enak saja ngatain dia anak manja, gak pernah ngerjan pekerjaan rumah. Mau diadu apa? Coba lebih gesit siapa mengerjakan pekerjaan rumah, aku atau kamu, hei Bambang?! Batin Lana geram.

"Emang kamu mau ajak aku kemana?" Tanya Lana, dia harus waspada, takut Bara akan berbuat jahat kepadanya

"Kamu butuh tempat tinggal, kan?"

"I-iya."

"Ya sudah ikut saja." Masih dengan nada ketus, Bara menyuruh Lana mengikutinya.

"Ya tapi pelan-pelan dong kak jalannya, berat nih!"

Bara baru sadar kalau Lana membawa tas ransel yang besar dan nampak berat. Tidak seimbang dengan badannya yang kurus kerempeng.

Bara mengambil alih tas tersebut, namun dicegah oleh, Lana.

"Jangan!" Lana menarik tas ranselnya, namun cowok jangkung itu berkelit.

"Kamu mau mencuri tasku?" Teriak Lana. Dia takut, jika tas itu dicuri, Bila-bila dia jadi gembel di jalanan. Di dalam tas itu ada uang 2.450.000. Ada ijazah, buku, dan pakaian-pakaian.

"Siapa juga yang tertarik sama tas kumal kayak gini?" Bara tampak kesal.

"Tapi meskipun kumal, tas ini berisi ijasah, baju-bajuku, dan juga u..." Belum sempat Alana meneruskan ucapannya, Bara sudah memotongnya.

"Rumah bercat putih itu kost-kostan putri, disitu masih ada kamar yang tersisa 1. Cepat kamu datangi ibu kost agar kamarnya tidak diberikan ke orang lain." Bara menunjuk sebuah rumah yang nampak asri yang tak jauh dari mereka berdiri. Lalu meletakkan ransel kumal tersebut didepan Lana.

Luna hanya melongo, dibalik sikap dingin dan ketusnya, ternyata Bara perhatian sekali. Apa karena dia kata Galih berasal dari satu desa yang sama?

"Te-terima kasih, kak." Ucap Lana. Dia masih mematung di tempat, tidak percaya bahwa cowok yang jika dilihat ternyata sangat sempurna itu, badan tinggi tegap, kulit putih, hidung bangir seperti pria keturunan Arab, alis tebal, mata memiliki tatapan Yang teduh itu memiliki hati yang baik, sayangnya dia ketus sekali.

"Kenapa masih berdiri disitu? Cepetan masuk!" Ucap Bara, masih dengan nada galaknya.

Lana tersadar dari lamunannya, dia jadi malu. Jangan sampai cowok itu tahu kalau aku lagi mengaguminya, Ya Allah, batinnya.

"Eh, iya kak." Jawab Lana, lalu Menjinjing tas ranselnya dan berjalan menuju rumah yang ditunjuk Bara barusan.

Ibu kost menyapa Alana dengan ramah. Setelah membayar biaya kost, Lana ditunjukkan sebuah kamar berukuran 3x3. Sudah terdapat Kasur busa didalamnya, meskipun kasur itu tidak ada depannya, sebuah lemari kayu, dan meja kecil. Lana tampak puas, meskipun kamar ini sederhana, namun baginya tampak lebih mewah daripada kamarnya di rumah yang sempit.

"Jangan lupa dibersihkan dulu kamarnya, beberapa hari tidak dipakai, mungkin kamar ini berdebu." Pesan Ibu kost.

"Baik, Bu." Jawab Lana.

Setelah membersihkan kamar dan menata barang bawaannya, Lana segera membersihkan dirinya. Setelah itu beristirahat. Besok pagi dia harus mencari pekerjaan paruh waktu, agar bisa untuk menyambung hidup selama tinggal di perantauan. Pekerjaan apapun akan dia jalani, yang penting halal. Beasiswa yang dia peroleh hanya mengcover seluruh biaya kuliah sampai lulus. Untuk biaya hidup sehari-hari, tetap harus cari sendiri.

Baru memejamkan mata satu menit, kamarnya tiba-tiba ada yang menggedor-gedor dari luar.

"Lana, buka pintunya! Keluar kamu dari sini sekarang juga!" Loh, itu seperti suara ibu kost? Ada apa gerangan? Ibu kost yang tampak ramah tadi siang, kenapa berubah sangat galak? Sambil beranjak untuk membuka pintu, Lana mencoba memgingat-ingat, sudah melakukan kesalahan apa terhadap ibu kost?

"Maaf, Bu. Ada apa ya?" Lana bertanya dengan sopan, menyembunyikan rasa terkejutnya karena melihat ibu kost bersama dengan dua orang laki-laki berpostur tubuh tinggi besar dan memakai pakaian serba hitam.

Namun tanpa menunggu keterangan dari Ibu Kost, dua orang tinggi besar itu langsung menyeret Lana, dan membawanya keluar dari kamar kost. Lana berteriak minta tolong, namun tidak ada yang menggubris.

Karena Lana terus berusaha melawan, dua orang berbadan tinggi besar tersebut membekap mulut Lana dengan sapu tangan yang sudah dibubuhi cairan obat bius, Alana pun pelan-pelan badannya melunglai, dan dia tak sadarkan diri.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Aluna Dzakira
......lanjut
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status