"Percuma pintar dan jadi juara kelas terus saat SMA kalau ujung-ujungnya cuma jadi penjual nasi kuning! Panas-panasan di jalan raya. Berdebu, bikin dekil pula. Beda banget sama aku, yang meski nggak pernah juara kelas, tapi sekarang bisa kerja kantoran dan di ruangan ber-AC." Kesombongan teman-temannya adalah salah satu sebab Lana tidak pernah ikut reuni SMA. Tapi tahun kelima ini dia sengaja ikut di acara itu, karena ingin bertemu Dikta, cinta pertamanya. Namun, rupanya kesempatan itu benar-benar tidak dilewatkan oleh orang-orang untuk menghinanya. Mereka mengira Lana hanya sebagai penjual nasi kuning saja, tepat di hadapan Dikta. Mereka tidak tahu bahwa nasi itu dia bagikan gratis setiap hari untuk sedekah karena dia memiliki penghasilan jutaan. Haruskah Lana mengumbar semua pencapaiannya di sini?
Lihat lebih banyak"Kamu?! Ngapain kamu ke sini?!" tanya wanita paruh baya itu sembari menunjuk wajahku. "Jadi kamu masih berhubungan dengan perempuan miskin dan tak tahu diri itu Dikta?!" sentak Tante Delima membuat dadaku berdebar seketika. "Aku cinta sama Lana sejak dulu dan aku hanya akan menikah dengannya, Ma." Dikta melangkah tergesa mendekatiku dan Ryan yang kembali berdiri saat melihat tuan rumah datang. Adik lelakiku itu mulai mendekat dan kini berada tepat di depanku. Dia genggam erat tanganku, seolah menjadi benteng untukku jika tiba-tiba wanita itu menyerang dengan buasnya, seperti dulu. Dikta yang kini berada di samping Ryan pun menatapku beberapa saat lalu mengedipkan matanya berusaha menenangkan. Kuhela napas panjang, terus menata hati jika sewaktu-waktu kata-kata menyakitkan itu terucap kembali. "Kamu anak Erwin Wicaksono, Dikta. Seorang pengusaha yang sukses dan cukup ternama di kota ini. Apa kata orang kalau kamu menikah dengan gembel seperti dia!" tunjuk wanita itu lagi ke arahku
"Kamu?! Ngapain kamu ke sini?!" tanya wanita paruh baya itu sembari menunjuk wajahku. "Jadi kamu masih berhubungan dengan perempuan miskin dan tak tahu diri itu Dikta?!" sentak Tante Delima membuat dadaku berdebar seketika. "Aku cinta sama Lana sejak dulu dan aku hanya akan menikah dengannya, Ma." Dikta melangkah tergesa mendekatiku dan Ryan yang kembali berdiri saat melihat tuan rumah datang. Adik lelakiku itu mulai mendekat dan kini berada tepat di depanku. Dia genggam erat tanganku, seolah menjadi benteng untukku jika tiba-tiba wanita itu menyerang dengan buasnya, seperti dulu. Dikta yang kini berada di samping Ryan pun menatapku beberapa saat lalu mengedipkan matanya berusaha menenangkan. Kuhela napas panjang, terus menata hati jika sewaktu-waktu kata-kata menyakitkan itu terucap kembali. "Kamu anak Erwin Wicaksono, Dikta. Seorang pengusaha yang sukses dan cukup ternama di kota ini. Apa kata orang kalau kamu menikah dengan gembel seperti dia!" tunjuk wanita itu lagi ke arahku
Seminggu belakangan aku sudah istikharah, berusaha menetralkan hati, tapi entah mengapa tetap condong pada Dikta. Mungkin hatiku memang tak sepenuhnya netral jadi masih berat sebelah. Sejak ungkapan cintanya di warung bakso minggu lalu, Mas Radit benar-benar memberiku kelonggaran waktu untuk memberikan keputusan. Dia tak menghubungiku sama sekali, padahal sebelumnya nyaris tiap hari bertukar pesan. [Sudah yakin dengan keputusanmu kan, Lan? Kalau memang yakin, kita perjuangkan cinta ini. Aku nggak mau kehilangan jejakmu lagi, Lana. Aku takut kamu menghilang seperti dulu.] Pesan dari Dikta membuatku kembali menghela napas. Mau tak mau aku memang harus segera memutuskan masalah ini agar tak ada yang terlalu lama menunggu dan berharap lebih. Mas Radit bukanlah lelaki yang buruk, hanya saja hati tak bisa dibohongi. Aku tak bisa mencintainya sebab hati ini sudah menunjuk nama lain dan itu bukan dia. Semoga saja keputusanku nanti tak terlalu menyakiti hatinya. [Sudah, Dik. Aku sudah sia
Bakda shalat maghrib, aku dan Dikta masih duduk santai di teras masjid. Banyak orang yang beribadah di masjid ini. Di depan masjid pun ada beberapa penjual makanan yang menjajakan dagangannya. "Masih sakit?" tanyaku saat melihat Dikta melipat celana bagian bawahnya. "Nggak. Lebih sakit jika kamu yang terluka," balasnya santai lalu mendongak ke arahku yang buru-buru mengalihkan pandangan. Aku nggak mau kedua mata kami bertemu. "Isshhh, ditanya beneran malah bercanda.""Siapa yang bercanda sih, Lan? Serius ini." Aku kembali mencebik, meski dalam hati berbunga-bunga. "Rasa itu masih sama seperti dulu, Lan. Nggak ada yang berubah. Aku tak tahu bagaimana perasaanmu setelah perpisahan kita lima tahun lalu, tapi entah mengapa aku merasa yakin dengan hatiku sendiri. Aku percaya pilihanku tak salah jika kamu memang perempuan yang terbaik." Dikta menghela napas panjang lalu kembali menoleh ke arahku. Aku hanya meliriknya sekilas lalu kembali menundukkan kepala. "Apa karena ucapan Mas Radi
Kata-kata Dikta kembali terngiang di benak hingga membuatku tersenyum lagi dan lagi. Setelah membeli beberapa snack dan minuman dingin, Dikta membayar ke kasir. "Masih marah?" tanyanya saat aku dan dia keluar dari mini market. "Duduk dulu, mau adzan sepertinya," pintanya sembari menarik kursi di depan mini market untukku. "Makasih," balasku singkat. "Kembali kasih, sayang dan cinta." Kupukul lengannya cepat karena selalu dan terus membuat degub jantungku berlompatan tak karuan. Lagi-lagi Dikta terkekeh geli melihat tingkahku yang mungkin cukup lucu baginya. "Selalu lucu dan menggemaskan seperti dulu." "Selalu menyebalkan, iya," balasku lagi. Dikta manggut-manggut lalu membukakan minuman dingin untukku. "Makasih," ujarku lagi. "Kembali kasih, sayang dan cinta." Kata-kata itu terulang kembali dari bibirnya. Spontan membuatku tertawa juga pada akhirnya. "Gitu dong ketawa. Jangan cemberut terus. Kalau ketawa kadar cantiknya naik delapan puluh persen." Aku mencebik. "Bisa naik s
"Dikta?!" Spontan aku memanggil namanya. Laki-laki itu masih berdiri di belakang Mas Radit sembari memasukkan kedua tangannya ke saku celana. "Dikta?" Mas Radit balik bertanya lalu kubalas dengan anggukan kepala. Setelahnya, dia menoleh ke belakang. Dua lelaki saling tatap lalu Mas Radit mempersilakan Dikta untuk duduk di sampingnya. Keduanya tak saling kenal, hanya saja Dikta tahu jika Mas Radit adalah anak lelaki Pak Anwar, wali kelas kami saat SMA dulu. Setelah bersalaman, Mas Radit menawarinya untuk memesan makanan. Mas Radit tak terlihat canggung, biasa saja dan begitu ramah meski baru saja berkenalan dengan Dikta. "Soal tadi, aku tunggu jawaban kamu ya." Mas Radit menatapku dengan senyum tipisnya, sementara Dikta masih bergeming di tempat duduknya sembari mengalihkan pandangan. "Iya, Mas. Aku mau istikharah dulu," ujarku singkat lalu kembali mengaduk-aduk jus jambu di gelas."Iya. Nggak harus dijawab sekarang kok, Lan. Aku beri kamu waktu sampai siap dengan jawabanmu. Semoga
"Kenapa, Mbak?" Tiba-tiba Ryan menoleh lalu menatapku cukup lekat. Aku tak tahu sejak kapan dia dan Mas Radit menghentikan obrolan. Fokus berbalas pesan dengan Ike membuatku tak sadar jika kopi mereka bahkan sudah habis tak bersisa. "Eh, nggak kok, Yan. Ini cuma baca pesan dari Ike," balasku sedikit gugup. "Ada masalah?" sambungnya cepat. "Nggak. Cuma cerita seperti biasanya." Aku tersenyum tipis lalu buru-buru mengalihkan obrolan. "Mau kopi lagi? Biar Mbak buatkan." "Nggak, Mbak. Tadi Mas Radit bilang mau ajak Mbak Lana makan di luar." Aku tercekat seketika mendengar ucapan Ryan. "Iya, Lan. Sudah lama nggak makan bakso di warung langganan." Mas Radit menimpali lalu tersenyum tipis ke arahku. "Sekalian bapak nitip beliin juga soalnya, Lan," sambung Mas Radit cepat. Tak ingin mengecewakan, akhirnya aku pun mengiyakan. Lagipula nyaris jam lima sore Dikta belum juga datang. Mungkin dia memang nggak jadi ke sini dan lupa ngasih kabar atau mamanya melarang berhubungan denganku mak
"Jangan dekati anak saya atau kejadian serupa akan terulang kembali." Kata-kata yang diucapkan mamanya Dikta itu kembali terngiang di benak. Aku masih mencoba berpikir jernih, tapi berulang kali berusaha selalu gagal. Tetap saja menduga-duga dan mengaitkan kejadian satu dengan yang lainnya hingga akhirnya pertanyaan itu muncul kembali. Mungkinkah kecelakaan Ryan ada hubungannya dengan Tante Delima? Jika memang itu terjadi, betapa teganya dia sebagai seorang wanita dan ibu. Mengapa harus adikku yang dia jadikan korban. Dia tak ada sangkut pautnya dengan perasaanku pada Dikta. Jika memang Tante Delima masih tetap melarang hubungan ini, harusnya dia melarang anak lelakinya untuk mendekatiku. Bukan lantas mencelakakan adikku hanya agar aku menjauhi putra sulungnya itu. "Mbak, ada tamu." Ucapan Ryan dari ambang pintu kamar cukup mengagetkanku. Aku menoleh lalu mengangkat kedua alis."Mas Radit. Di anaknya wali kelas Mbak Lana dulu itu kan?" Ryan mencoba mengingat, aku pun mengiyakan. "
POV : RIANA (2) Tak ingin terlihat semakin penasaran dengan kehidupan Lana, aku pun pamit pergi. Pekerjaanku untuk keliling nasabah satu ke nasabah yang lain masih cukup banyak dan aku harus menyelesaikan tugas ini sampai jam lima sore. Aku nggak mau sampai telat lagi dan lagi. Rasanya capek jika harus lembur tiap hari dengan upah tak seberapa ini. Namun, di mana lagi aku harus mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi jika aku hanya lulus menengah atas saja? Kuliah hanya sampai semester tiga dan terpaksa berhenti setelah papa terjerat hutang ratusan juta hingga membuatnya sakit bertahun-tahun lamanya. Papa sakit parah, mama yang terbiasa hidup bergelimang harta pun depresi hebat saat menerima kenyataan kebangkrutan papa dan Amir yang harus kuliah karena dia akan menjadi tukang punggung keluarga memaksaku bekerja serabutan. Sebenarnya aku malu jika teman-temanku tahu tentang kehidupanku saat ini. Beruntung Ratna tak membocorkan pada mereka. Dia sangat bisa dipercaya dan tak m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.