Share

Menemukan Sebuah Cincin Antik

Bab 3

Kakiku terasa lemas karena terus mengikutinya. Semakin dikejar sosok itu semakin jauh dan susah untuk diraih. Menyerah, kalah, dan mengalah sepertinya. Hanya untuk mengelabui saja. Selepas dari pandanganku ada sesuatu yang tersirat. Hanya saja belum mengetahui apa itu.

Aku merasa ini sangat aneh. Ada antara nyata atau tidak. Sedikit pun tidak disadari.

"Zeyn, tunggu! Kamu mau kemana, Nak?" tanya Ayah, sembari mengejarku.

Aku tetap saja tidak peduli dengan panggilan Ayah. Menurutku panggilan itu tak perlu aku dengarkan. Saat ini yang terpenting adalah bagaimana caranya agar bisa bertemu dengan sosok wanita tua.

Kaki yang masih lelah dan lemas tetap dipaksa untuk melangkah mencari keberadaannya. Keinginan yang kuat itu sangat beralasan karena rasa penasaran yang tak kunjung padam. Ketika hendak berlalu lagi, tiba-tiba tanganku ditarik oleh Ayah. Aku melepaskan pegangan itu.

"Zeyn, tunggu! Jangan pergi lagi!" pinta Ayah.

Sungguh terkejut, ternyata aku sedang mengigau dan tersadar kalau sudah berada di belakang rumah. Mataku terbelalak heran dengan apa yang telah dialami. Mimpi ini sangat nyata. Aneh!

Lama aku terdiam di tempat itu. Mataku melirik ke kanan dan ke kiri. Kupastikan bahwa nenek itu masih berada di sekitar. Entah apa maksudnya, mendapatkan mimpi yang tidak pernah terjadi. Ayah menarik lenganku dengan erat. Namun, Aku melepaskannya. Rasa keingintahuanku semakin menggebu. Apa maksudnya semua ini? Apakah aku mempunyai kesalahan begitu besar?

Terdengar beberapa jenis suara, saat berada di belakang rumah. Apalagi saat ini menunjukkan kisaran jam tiga. Sudah hampir menjelang subuh dan tidak lama lagi azan berkumandang.

Ayah menyuruhku untuk masuk kembali ke rumah. Aku terduduk dan termenung di sofa tua peninggalan nenek. Pria terhebatku datang menghampiri lalu bertanya apa sebenarnya yang telah aku alami. Bukannya menjawab, malah memilih diam dan membisu karena masih bingung atas jawaban apa yang akan diberikan.

"Zeyn, pergilah tidur kembali. Besok saja kita cerita. Mungkin kamu sudah terlalu lelah dengan mimpi buruk barusan. Jangan lupa baca doa agar mimpi buruk kamu tidak bersambung." Wajah Ayah terlihat iba padaku.

Masih saja tidak kujawab pertanyaan itu. Mimpi itu telah mengantarkanku pada sebuah keanehan. Kadang tanpa disadari dengan kelelahan yang tidak pantas. Ya, namanya juga mimpi, mana ada yang dianggap luar biasa.

"Baik, Ayah."

Tanpa basa-basi langsung beranjak meninggalkan Ayah di ruang tamu. Darah berdesir, jantung berdegup kencang sebab mimpi yang belum pernah terjadi. Berharap agar keanehan itu tidak terulang lagi.

Malam pun semakin larut, terdengar suara burung di atas pohon tak jauh dari kamar. Sudah lama sekali tidak mendengar suara burung hantu seperti itu. Sering terjadi saat masih kecil karena pepohonan masih banyak di sekitar rumah, beda dengan sekarang. Kebun karet sudah dibangun perumahan milik warga.

Suara burung itu tidak juga berhenti. Sepertinya dia ingin memamerkan suara indahnya, tetapi bagi yang mendengarnya sudah pasti merasa ketakutan karena jarang didengar. Terutama aku, baru saja mengalami mimpi dan membawa sampai keluar rumah. Aneh tapi nyata. Kata-kata yang sangat tepat saat ini.

Begitu memejamkan mata, ada suara bisikan menyerukan, "Datanglah padaku duhai anak gadis. Datanglah padaku ...." Suara itu begitu jelas tepat di telinga. Jelas dan tak terelakkan.

"Astaghfirullah!" ucapku pelan.

Aku terbangun, kemudian duduk sambil menjambak rambutku dengan kedua tangan. Ya ... Allah, andai ini sebuah pertanda baik, aku terima. Namun, jika sebagai keburukan bagiku, maka jauhkan hamba dari segala marabahaya. Kalimat itu membatin seiring doa. Agar dikabulkan dan tidak ada lagi hambatan dalam melakukan tindakan yang baik.

Keringat dingin bercucuran. Kipas angin masih berputar, tetapi masih saja gerah. Padahal sudah pukul setengah dua dini hari. Kantuk hilang seketika, sulit untuk memejamkan mata. Resah sudah apa yang kurasa.

"Apa ini?" tanyaku pelan, pada diri sendiri. Menggeleng-gelengkan kepala tanda tak percaya.

Tenggorokan terasa kering setelah berjuang melawan mimpi. Segelas air kuminum untuk membasahi kerongkongan menghilangkan rasa haus. Tiada kuduga jika semua ini seperti nyata. Kurenungkan kembali atas kejadian yang menimpa, takut sebenarnya.

***

"Zeyn ... bangun, Nak. Sudah subuh. Salat dulu, baru tidur lagi," panggil Ayah, sembari mengetuk pintu kamar. Mata ini masih saja tak ingin dibuka. Belum lagi cuaca lumayan dingin.

"Ya, Ayah. Aku sudah bangun, kok," jawabku lemas.

Aku masih duduk sambil merapikan alas kasur dan selimut yang masih berserakan. Sudah biasa sejak subuh kuawali aktivitas seperti itu. Kemudian menyiapkan sarapan untukku dan Ayah.

Kuperiksa lemari makan tempat penyimpanan makanan. Masih ada sambal ayam cukup untuk kami berdua. Kemudian aku berlalu menuju kamar mandi untuk berwudhu. Melaksanakan salat dua rokaat adalah amalan yang paling wajib saat subuh.

Dinginnya subuh ini Tak sedingin air wudu yang sedang menyentuh kulit. Segar wajahku ketika air untuk bersuci telah melekat lengkap dengan rukunnya. Mata juga menjadi cerah. Di situlah letak hebatnya air biasa menjadi sebuah keajaiban Tuhan.

Si Mumus--kucing kesayanganku--mengeong. Sepertinya ia juga ingin keluar dari kamar. Entah kapan dia masuk dan tidur di keset kaki berbulu. Badan mungilnya disandarkan ke kakiku sembari mengelus-elus dengan berbicara pada binatang peliharaan. Sudah terbiasa dilakukan seperti itu.

"Meong ... meong ... meong ...." Suaranya membuat iba.

Daun pintu kamar kubuka dengan pelan. Mumus juga mengikuti dan berlari ke arah kamar mandi. Ternyata ia ingin buang air kecil. Kucing yang cerdas.

Sambil menunggunya keluar, kembali kuperiksa kamar tidur. Mungkin ada pakaian kotor yang akan dicuci. Sudah menjadi kebiasaanku baju kemaren yang dipakai kugantungkan di balik pintu.

Gadis sepertiku tidak ada bedanya dengan gadis lain. Terutama teman sebaya yang menganggap diri ini punya kepribadian lain. Mereka yang suka aneh menjadikanku bahan tertawaan dan dianggap aneh.

Berulangkali menunjukkan bahwa aku adalah gadis normal di depan sahabatku. Dengan menggunakan rok selutut, bagi mereka belum pas dan masih teringat kejanggalan. Terkadang aku suka marah dan merajuk meninggalkan mereka. Aku merasa dipermainkan.

Hah ... entahlah. Malah aku bingung bila semua mengatakan anak perempuan itu harus memiliki jiwa feminim. Mau seperti apa pun mereka mencela, tetap saja semua itu tak merubah yang sudah ada.

Bukankah setiap manusia memang berbeda-beda diciptakan? bagaimana pula dengan mereka yang keanehannya melebihi dari aku? Mungkin saja ada yang salut melihat itu. Sementara orang-orang di sekitarku memang tidak ada pengertian sama sekali. Perlukah aku jelaskan jika apa yang selama ini aku lakukan sudah wajar-wajar saja?

***

Tak terasa sudah hampir siang. Ayah sudah berpamitan sejak setengah jam yang lalu. Beliau melanjutkan perkejaan di sawah. Padi mulai menguning. Sudah saatnya warga kampung mengerti keadaan warganya. Saling bergotong royong membantu mengerjakan hasil panen tersebut.

Ketika berjalan di ruang tamu, sepertinya aku menginjak sebuah benda kecil, tapi lumayan sakit. Kuperiksa benda itu. Sebuah cincin yang terlihat unik dan antik.

"Tapi siapa pemilik cincin ini? Kenapa ada di sini?" tanyaku pada diri sendiri, dengan pelan. Tidak tahu mau dari siapa pesan itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status