Bab 8
"Kalau kamu suka, ya, ungkapkan. Toh, mereka masih calon tunangan kan? Masih ada kesempatan, tuh," pungkasku.
Dina diam sambil tersenyum sendiri dengan apa yang dia pikirkan. Mungkin sudah terlalu cinta. Bodo amat menurutku, tidak ingin terlibat dengan ini.
Setelah banyak bercerita tentang perasaan Dina ke Nunu, akhirnya mata ini mulai tak bisa dikondisikan. Lelah sekali, tidur salah satu solusinya karena sudah larut malam.
"Nak, ikut Nenek, yuk."
Suara itu seperti tak asing lagi. Mata diliarkan mencari arah ucapan. Namun, belum tertangkap netra ini. Sungguh aneh.
"Nenek di mana? Nek ... Nenek!" teriakku.
"Nenek di sini, Nak. Ke marilah."
Tiba-tiba dia sudah ada di hadapanku. Heran, siapa sebenarnya wanita tua itu? Selalu saja datang menemuiku dalam keheningan malam. Apa yang dia inginkan dariku?
"Nenek! Tunggu!"
Terdengar suara ketukan pintu. Aku terbangun seketika dan terkejut. Ternyata ini mimpi buruk yang terulang kembali. Keringat bercucuran.
"Zeyn ... kamu mimpi lagi? Buka pintu Zeyn," pinta Ayah, seraya mengetuk pintu.
"Enggak, Ayah. Aku baik-baik saja, kok," sahutku, sekedar menenangkan pria terhebatku.
Tak lama Ayah kembali ke kamarnya dan melanjutkan tidur karena jam dinding menunjukkan pukul setengah tiga pagi. Berharap agar mimpi buruk itu tidak terulang lagi.
***
Dina mengajakku ke suatu tempat yang tidak disebutkan namanya. Mobil yang dikendarai full musik. Sebab gadis itu lebih rileks dengan suara itu. Katanya bisa menghilangkan kantuk. Malah aku yang mengantuk mendengar musik di mobil.
Sepertinya pernah ke arah jalan yang dibawa Dina. Ya, jalan ini menuju rumah Nunu. Pria yang saat ini dia cintai. Kasihan sekali sepupuku itu. Meski cantik, pintar, punya gelar yang aduhai, tetapi memiliki cinta terpendam.
Mobil berhenti tepat di halaman rumah Nunu, aku terkejut. Ini di luar dugaan karena tak seharusnya Dina mengikuti apa yang aku ucapkan tadi malam. Ini pasti akan menjadi masalah besar bila Naya mengetahui kalau Dina adalah sepupuku. Bakalan hancur sepertinya, lagi.
"Assalamualaikum," sapa Naya, dengan ucapan salam.
"Wa'alaikumussalam," sahut seseorang dari dalam.
"Naya, masuk, yuk," suruh Nunu, berjalan mendahului kami.
"Apa cerita? Tumben dateng jam segini. Aku belum mandi lagi," tukas Nunu, sembari merapikan rambut gondrongnya.
Mereka bercerita keseharian dan tentang pekerjaan. Hanya itu saja yang dibahas. Aku tak ingin mengganggu pembicaraan. Lalu pergi ke taman dan menikmati bunga-bunga yang bermekaran. Tak sampai setengah jam, Dina mengajakku pulang dengan wajah muram. Beda dengan sewaktu hendak menunju rumah Nunu. Ada apa? Mengapa tiba-tiba Dina terlihat aneh?
Selama diperjalanan pulang, wajah Dina cemberut. Mobil yang sedang dikendarai pun seakan ingin diterbangkan. Ada apakah gerangan? Pertanyaan muncul bertubi-tubi, hanya bisa membisu sembari memegang jok dan pegangan di pintu.
Tiba-tiba rem mendadak. Sungguh terkejut, kepalaku terbentur ke pintu. Tak menyangka kenapa Dina melakukannya. Bukankah tadi baik-baik saja? Lantas apa yang membuatnya marah? Heran dan tak ingin bicara lagi, kesal.
Tak berapa lama kami sampai di rumah. Dina keluar dari mobil lalu menutup pintunya dengan sedikit membanting. Lagi-lagi aku terkejut dan tak mengerti apa yang terjadi.
"Din, kamu kenapa, sih? Nggak ada masalah kan?" tanyaku, sambil mengejarnya masuk.
Sama sekali Dina tidak menghiraukan. Jika memang aku yang salah, Di mana letak kesalahan itu? Bukankah aku tidak ikut campur masalah mereka? Bahkan tidak tahu-menahu apa yang sedang mereka bicarakan. Kenapa aku yang jadi korban? Namun, kekesalan yang dia alami berimbas ke aku. Atau aku yang terlalu merasa dicuekin?
"Dina ... kamu kenapa? Coba, deh, cerita. Kali aja aku bisa bantu," tawarku, pada sepupuku yang sedang cemberut itu.
Dia hanya menggelengkan kepala pertanda tak ingin bicara apa pun. Mencoba untuk menghargai atas respon yang diberikan. Barangkali ingin menenangkan diri.
***
Hari kelima di Sibuhuan, rasanya sudah terlalu lama. Rindu rumah kecil nan sederhana. Meski tinggal di rumah mewah dan hidangan lumayan nikmat dan bergizi, tetapi tidak senyaman di kediaman sendiri.
Entah di mana Ayah dan Tulang. Sejak satu jam lalu tidak terlihat. Biasanya mereka mudah ditemukan, seperti suara bicara, yang tidak pelan. Dengan tertawa sepuasnya.
Bagi mereka, canda adalah asupan gizi dalam silaturahmi. Salut melihat keakraban di antara mereka. Saat mencari keberadaan mereka, Dina datang menghampiri dengan wajah yang tidak biasa.
"Zeyn, aku mau ngomong. Tapi jawab dengan jujur, ya. Ini penting bagiku." Pembicaraan Dina sangat serius, terlihat dari mimik wajahnya.
"Napa, Din? Serius amat," ucapku, seraya mengerutkan kening.
"Mmmm ... kamu suka sama Nu--nu?" Sungguh pertanyaan konyol bagiku.
"Maksudnya apa, Zeyn? Kok?"
"Udahlah, Zeyn! Gak usah basa-basi! Nyesel aku ngenalin kamu ke Nunu!" gerutunya.
"Zeyn ... aku gak ngerti yang kamu bilang. Ada apa, sih?"
"Dia bilang kalau dia suka sama kamu. Padahal aku berharap aku dan dia .... Ah, sudahlah!"
Dina menghentikan ucapannya. Ada rasa iba ketika melihat wajah cantik nan ayu. Sungguh tak menyangka bila Nunu menyukai aku. Apa yang dipandang pria itu padaku? Naya dan Dina lebih cantik dan seorang dokter.
Tidak percaya apa yang disampaikan oleh Dina barusan. Ingin rasanya membalut luka di hati sepupuku. Mungkin perih tiada terkira. Sesal kurasa, tetapi apa salahku?
Keceriaan yang setiap hari Dina miliki, hilang seketika. Wajah menjadi cerminannya. Aku bisa membaca hati seseorang, meski tak pernah dipelajari.
Tak ingin masalah ini berkelanjutan. Kuajak Ayah pulang ke Rantau Prapat. Naya berulang kali menghubungiku. Hanya saja tak ingin segala chat darinya dibalas.
"Ayah, kita pulang, yuk," ajakku saat beliau datang.
"Lho, kok, tiba-tiba minta pulang, Zeyn?" potong Tulang, dengan nada bertanya.
"E--"
"Zeyn, kamu serius? Kok?" tanya Dina.
Tak ingin kujawab pertanyaan mereka, yang ada saat ini adalah kata pulang. Ya, pulang ke gubuk sederhana tempat ternyaman.
"Kalau Ayah gak mau, aku deluan, ya?"
Ayah mengangguk sambil memasang wajah heran. Kubereskan beberapa pakaian untuk dibawa pulang secepatnya. Tak ingin pemikirannya berubah menjadi kata jangan. Terkadang suka berubah pikiran membuat hati ini merajuk.
Kecerahan sinar mentari membuat keberangkatan lancar. Bus yang ditumpangi tidak terlalu padat. Lumayan bisa tidur sambil menikmati lagu tembang kenangan dari speaker aktif bus. Perjalanan membutuhkan lima jam untuk sampai ke Rantau Prapat.
***
Sebuah pesan singkat dari aplikasi berwarna hijau masuk melalui ponsel.
[Di mana, Zeyn?]
[Udah di rumah, nih.]
[Main sini, dong.]
[Besok, deh, Nay.]
[Vespa lagi Merajuk.]
[Sudah seminggu gak kena sentuhan gadis cantik, kek, aku.]
Vespa tua itu selalu menunjukkan aksinya karena sudah lama tidak menyentuhnya. Bukan apa-apa koma, mungkin sudah lebih dari seminggu tidak digunakan.
[Lah, kok, bisa?]
[Ya, bisalah, Nay.]
Centang satu, sama sekali belum dibaca oleh Naya. Kutunggu sampai centang dua dan berwarna biru.
Bab 9[P.][P.][P.]Tidak juga berubah, tetap centang satu. Ponsel diletakkan di atas meja makan. Rumah yang sudah lebih seminggu kutinggalkan, akan segera dibersihkan karena debu sudah berkuasa menyelimuti beberapa benda yang ada. Terutama si Vespa kesayangan. Sudah tak sabar mengajaknya raun berkeliling sekedar menghilangkan rasa jenuh.Ponsel berbunyi, kuraih benda pipih berwarna hitam itu dan melihat panggilan dari siapa. Ternyata Naya."Zeyn, maaf, ya. Tadi lagi nelepon Nunu. Maklumlah, calon tunangan yang terganteng sedunia. Hahaha," ucapnya, sembari tertawa kecil."Owh, ya, udah. Eh, emangnya kapan, sih, tunangannya? Lama amat, deh," tanyaku, sebab Nunu mulai tak serius menanggapi hubungannya dengan gadis yang sangat mencintainya itu."Tau, tuh. Ya, menunggu keputusan dari Nunu. Toh, semua dia yang memutuskan, bukan aku atau siapa pun, Z
Bab 10Naya mengangguk tanda mengerti. Gadis itu tersenyum manis, terlihat rasa percaya atas apa yang disampaikan oleh calon tunangannya itu. Sungguh mereka berdua pasangan serasi. Kadang muncul sifat iri karena ingin memiliki seorang kekasih. Ah, itu masih lama kudapatkan sepertinya karena sadar siapa diri ini.Berusaha untuk tidak dekat dengan Naya dan calonnya. Supaya apa yang pernah Dina sampaikan kala itu tidak benar adanya. Sementara sepupuku berwajah muram. Dia tidak terima dan sakit hati melihat keduanya bermesraan melalui canda.Dari pada memandangi orang pacaran, mending membuka Facebook melihat beranda. Layar ponsel digeser untuk melihat postingan teman-teman dunia maya. Kebetulan saat ini sedang mengikuti program lowongan kerja online."Zeyn, lagi apa?" Suara itu mengejutkanku. Pria yang sudah kuhindari sejak tadi."Owh, ini aku lagi scroll beranda. Kali
Bab 11Mak pernah berpesan semasa hidupnya: jangan suka membuang sisa makanan bila masih bagus. Diolah kembali agar tidak terbuang.Pesan itu selalu diingat karena membuang makanan adalah perbuatan tercela. Suatu saat kita pasti merasakan kekurangan ekonomi. Meski tanpa disadari nantinya.Nasi goreng sudah terhidang di meja makan lengkap dengan teh manis. Sudah menjadi kebiasaan Ayah kalau pagi hari mesti ada minuman berwarna agak kemerahan masuk ke tubuhnya. Beda dengan aku, paling tidak bisa. Kepala pusing dan perut tidak karuan.***Siang ini Dina mengajakku ke Tugu Juang 45, tepatnya di Lobusona. Gadis itu mengetahui tempat itu karena viral dari Facebook. Aku sendiri jarang ke sana, mungkin karena daerah sendiri. Padahal sangat bagus untuk bersantai ria sambil menikmati pemandangan bukit barisan dan jurang yang indah karena terlihat aliran sungai.Keingin
Bab 12 "Zeyn, kamu kenapa?" Tiba-tiba Dina menghampiri sembari memegang pundakku. "Ish, kaget aku. Aku kenapa? Kenapa gimana, Din? Aneh, ah," elakku. "Jujur saja, Zeyn. Apa kamu juga menyukai Nunu? Maaf," ucapnya, dengan dugaan salah. Setiap ucapan telah membuat pikiran kembali lagi. Dina terlalu memperhatikan gelagatku. Entah apa maksudnya, bingung. Mencoba membenahi diri, agar tidak menyalahkan. Bukan hanya sekedar ingin ketenangan, tetapi juga bahagia ada bersamaku. "Aku gak apa-apa, kok, Din. Percayalah." Lagi-lagi aku berbohong untuk menenangkan Dina. Sepertinya Dina merasakan kegundahan hatiku. Terlihat dari gelagat dan mimik wajah yang tak bisa dibohongi. Itulah seorang Zeyndra. Gadis aneh pemilik Vespa tua berhati mulia, baik, ramah, juga perhatian. Ah, pujian itu terlalu berlebihan. Hujan turun membasahi bumi. Rintiknya membuat cu
Bab 13Teringat dengan seseorang yang masih saja kucari raganya. Hati dirundung duka seperti orang yang tak tahu arah. Semua lahirkan luka dan air mata. Meratap bukan solusi, tapi setidaknya hanya itu yang mampu mengerti diri ini. Meski menyesali tiada arti, kumenyendiri.Saat bersamanya dahulu, aku ditinggalkan, dilupakan, dan diputuskan. Saat aroma itu menyeruak diindra pembau, ramainya orang akan mengenang masa lalu dengan berjuta kerinduan yang memabukkan. Sialan! Ini tidak berlaku bagiku setelah satu tahun kemarin diputuskan juga ditinggalkan.“Satu tahun apakah tidak bisa untuk melupakan seseorang?” tanya diri sendiri.Pernah kupinta untuk membunuh rasa yang ada. Kala hati tak bisa lagi diperbaiki. Menangis adalah solusinya. Sayangnya, ia tetap tak peduli.Kalimat terakhir seharusnya sudah bisa diturutkan. Keributan selalu menambah beban pikiran. Terkadang bingu
Bab 141022Tak pernah ingin melepas. Tak pernah merasa ikhlas. Dia sendiri yang membuat hubungan ini tidak jelas. Selepas ijin pamit, lalu pergi meninggalkan. Aku pernah mengutuk langit. Bagaimana tidak? Meskipun langit yang dipandangi tetap sama. Kini kita tak lagi memandang langit bersama. Kau bersamanya, dan aku sendiri selamanya.Apakah ini takdir? Apakah ini titik nadir? Jika ini kisah berujung getir. Tak perlu khawatir. Sudah cukup bagiku, dia pernah hadir. Dalam setiap desir, dari setiap tetes bulir yang mengalir membanjir, dia adalah orang yang pernah aku pikir menjadi orang terakhir. Menjadi tempat di mana cinta ini lahir.Cinta tiada terganti. Kebahagiaan bersama terus menghantui dalam resah. Seakan mengajak berkelana jauh dari luka dan air mata. Terpaut dalam ikatan cinta yang nyata. Tatkala ada sebuah ungkapan dalam rasa.Resah sesekali menghampiri tanpa dinanti. Jiwa bergejolak b
Bab 15Sebuah gambar mampu membuat terperangah. Mata ini membulat sempurna bak bulan purnama. Satu poto wanita yang hampir dikenal, tapi siapa beliau?Pak Maman membuka pintu untuk menunjukkan setiap sudut ruangan. Memang benar-benar tempat tinggal yang layak. Luar dan dalam tak mengecewakan.Sekitar dua puluh menit, setelah puas dengan melihat seluruh ruangan, aku berpamitan pulang pada penjaga kebun. Lalu menuju Vespa kesayangan.Sepintas lalu, melihat sosok wanita tua yang pernah ditemui. Ya, dia adalah seorang nenek selalu hadir dalam mimpi dan pernah kutolong. Sayangnya, sedang di jalanan, ada rambu-rambu lalulintas larangan untuk berhenti. Vespa mendadak di rem. Hampir saja menabrak sepeda motor karena masih fokus pada sosok barusan.Matahari beranjak pergi meninggalkan siang. Langit mulai gelap, burung-burung berterbangan mencari tempat persembunyian, jangkrik juga tak mau
Bab 16 Hari hampir sore, kafe juga semakin ramai dikunjungi. Sudah saatnya beranjak untuk pulang. Mungkin Ayah akan gelisah bila anak gadisnya belum juga pulang yang perginya dengan seorang pria. Meski beliau juga mengenalnya. Sebab aku adalah marwahnya. Jika tubuhku masih terjaga, maka kehormatan tetap dimiliki keluarga. Begitulah sulitnya menjaga kesucian seorang gadis. Alhamdulillah, aku masih ada di posisi itu. Sebuah pesan singkat W******p masuk ketika masih dalam perjalanan menuju pulang. [Hai, Zeyn.] [Apa kabar?] [Kamu di mana.] Pesan itu datang dari Nunu. Segan dengan Arul karena tak mau di-cap jelek olehnya. Tak kubalas chat itu. Nanti saja setelah sampai di rumah. Lagian Arul melirik ke arahku dari kaca kecil di depannya. "Dari siapa, Zeyn?" "Owh, temen, kok," balasku, pura-pura santai. "Gak dibales