Share

4 - SAPU TANGAN PUTIH

"KIRAAAA!" Pandangan Kira langsung tertuju ke arah sumber suara di ujung koridor sekolah. Rupanya itu Mae yang berteriak sambil melambaikan tangan dan tersenyum lebar ke arahnya. Mae merupakan orang yang sangat supel dan periang. Selalu punya pemikiran kreatif dan penuh dengan semangat. Ia tidak pernah merasa canggung ketika bertemu dengan orang baru. Justru ia akan mengajak orang lain duluan untuk berkenalan dan berbicara santai dengan dirinya.

"Kita jadi kan nonton pertandingan futsal?" tanya Mae sembari merangkul pundak Kira.

"Semangat sekali. Mau nonton siapa, nih?" balas Kira seraya memicingkan mata memberikan tatapan penasaran.

Mae mendadak salah tingkah dan wajahnya terlihat memerah. "Ya ... Kita kan mau nonton Reka, Ra, memangnya siapa lagi?"

Melihat gelagat aneh dari sahabatnya ini, Kira hanya bisa tersenyum jahil. Bagaimana mungkin setelah enam tahun mengenalnya Kira tak bisa menebak isi hati sahabatnya. Mae jelas memiliki perasaan terhadap Reka. "Mae, apa menurutmu Reka itu tampan?" tanya Kira penasaran. Ia mendekatkan wajahnya sembari menggoda sahabatnya dengan menaikkan turunkan kedua alisnya.

"Hah? Uhm ... Tidak mungkin wajah dia itu bukan tipe ku, Ra. Lagi pula hati ini masih terbuka untuk Kak Yudha seorang." Mae menaruh kedua tangannya di atas dada, lalu memejamkan mata sambil menghembuskan napas panjang. Sungguh reaksi yang sangat berlebihan. 

Kak Yudha merupakan kapten tim futsal sekolah. Ia berada di kelas 11. Semua orang di sekolah ini pasti mengenalnya. Ia terkenal di kalangan para guru karena termasuk siswa dengan nilai akademik yang baik. Namanya selalu masuk lima besar rangking paralel di angkatannya. Tim futsal sekolah yang dipimpinnya juga cukup sering memenangkan berbagai perlombaan. 

Ibu penjaga kantin, satpam hingga penjaga sekolah pasti mengenalnya karena Kak Yudha merupakan pribadi yang ramah. Ia memang tampan dan selalu jadi primadona di sekolah mereka. Akan tetapi, perihal siapa yang ada di hati Mae saat ini tentu jawabannya adalah Reka. 

"Jadi bagimana? Kita jadi nonton pertandingan, kan?" tanya Mae.

"Tentu saja, di mana sih tempatnya?"

"Ya ampun kamu ini masih muda sudah pikun. Sepertinya ini sudah yang ke lima kalinya bertanya hal yang sama. Di SMA Neo, Ra. 

"Ah, masa sih?" Kira menggaruk kepalanya karena ia betul-betul lupa. Entah lupa atau tidak memperhatikan setiap pembicaraan dengan Mae.

"Sebaiknya kita pergi sekarang. Agar tidak terlambat." Mae menggenggam tangan Kira erat dan menariknya sementara dirinya pasrah mengikuti.

"Katanya anak futsal SMA Neo tampan-tampan, loh, Ra." Mae menyenggol bahu Kira sambil melirik dengan mengedip-ngedipkan mata.

"Memangnya kenapa? Kalau tidak dipaksa Reka untuk menonton juga sebenarnya aku tidak tertarik datang."

"Memang sulit ya kalau punya hati beku seperti es," balas Mae menggelengkan kepala.

***

Sesampainya di SMA Neo, Kira dan Mae kebingungan mencari di mana letak gor futsal berada. Untungnya banyak terlihat anak SMA mereka yang juga berada di sana untuk menonton pertandingan futsal sore ini. Baik penonton SMA Neo maupun SMA Pelita nampak bergerombol. Beberapa terlihat memegang bendera klub futsal masing-masing sekolah dan snare drum. Bahkan ada yang memakai aksesoris unik seperti topi dan syal aneh di badannya maupun menggambar corak aneh di muka mereka.

Semua mereka lakukan demi mendukung masing-masing tim sekolahnya. Pertandingan antara SMA Neo dan SMA Pelita merupakan hal yang sayang untuk dilewatkan. Karena kedua tim futsal SMA ini merupakan tim terbaik di kota ini. Bisa dibilang, pertandingan mereka adalah yang tersengit dan selalu menimbulkan kesan bagi masing-masing sekolah. Bahkan beberapa kali dalam pertandingan mengalami perkelahian antar pemain di lapangan maupun antar penonton.

Akhirnya Kira dan Mae berhasil sampai di gor tempat pertandingan berlangsung berkat mengikuti rombongan orang-orang yang juga ingin menonton.

Ketika memasuki gor suasana di sana terlihat sudah sangat ramai. Para penonton menyanyikan yel-yel sekolahnya sambil memukul-mukul snare dan mengayun-ayunkan bendera tim sekolahnya. Untung saja pertandingan belum dimulai. Kira dan Mae tersenyum lega ketika menemukan beberapa teman dekatnya di bagian tengah kursi penonton. Dilihatnya masih tersisa beberapa kursi kosong.

Di pojok gor bagian tengah kursi penonton diisi oleh beberapa panitia, MC dan komentator pertandingan hari ini. Sepertinya mereka tengah bersiap-siap untuk membuka acara. Sementara di pinggir lapangan terlihat pemain masing-masing tim sedang bersiap-siap. Kak Yudha selaku kapten tim terlihat seperti memberikan arahan dan semangat untuk teman-temannya. Kata Mae, jiwa kepemimpinan Kak Yudha terlihat sangat keren ketika memimpin timnya. Terlihat dari semua anggota timnya yang nampak memperhatikan dengan serius setiap perkataan Kak Yudha, termasuk Reka. Diam-diam Reka terlihat mencuri pandang ke arah kursi penonton dan memberikan senyuman. Entah untuk Kira, entah untuk Mae atau mungkin untuk seluruh teman-teman sekolahnya yang sudah datang untuk memberi dukungan.

Pandangan Kira bergerak ke sisi lain tempat tim lawan berada. Keadaan tim lawan tak jauh berbeda. Kapten timnya juga terlihat sedang memberikan arahan lalu memimpin melakukan yel-yel.

Namun, ada yang menarik perhatian Kira saat itu. Dirinya terkejut melihat seorang lelaki pada salah satu pemain tim lawan. Memakai kaus tim SMA Neo dengan nomor punggung 7. Dia adalah lelaki yang selalu Kira lihat di halte. Lelaki yang ia lihat di perpustakaan kota. Lelaki yang memiliki senyuman manis yang meneduhkan. Yang selalu membuat jantung Kira berdetak tak karuan saat memandangnya.

"Ternyata dia sekolah di SMA Neo," gumam Kira.

"Apa Ra?" tanya Mae penasaran. Kira bergumam pelan sedangkan suasana gor sangatlah riuh, sehingga Mae tidak dapat mendengarnya jelas.

"Eh? Tidak, bukan apa-apa." Ucap Kira.

"Matamu sedang melihat siapa, sih? Serius sekali." Mae mencoba menelusuri arah pandang Kira.

"Enggak liat siapa-siapa Mae ... Eh, itu pertandingannya sudah dimulai," seru Kira mengalihkan perhatian Mae.

Selama ini Kira menebak bahwa ia juga merupakan siswa SMA dan tebakannya ternyata benar. Melihatnya bermain di lapangan saat ini membuat Kira semakin menyukainya. Seperti biasa lelaki itu selalu terlihat tampan. Mata Kira tak lepas memandangi lelaki itu dengan pandangan yang sulit diartikan. Pupil matanya bergetar mengikuti setiap gerakannya di lapangan. Jantungnya berdegup tak karuan. Senyum pada binar matanya sulit disembunyikan. Rupanya hanya dengan melihat dari kejauhan, tetap mampu membuat dirinya salah tingkah.

"Kamu melihat siapa sih dari tadi? Tatapanmu tajam sekali seperti mau makan orang," tanya Mae heran.

"Eh ... Kenapa Mae?" Kira malah balik bertanya karena sedari tadi netra dan pikirannya selalu fokus memandangi lelaki itu.

"Tumben sekali biasanya setiap diajak nonton futsal kamu tidak pernah antusias. Selalu bilang bosan dan hanya bermain ponsel atau bahkan keluar dari gor. Hari ini kamu terlihat senang." Kira tidak menjawab ucapan Mae dan hanya membalasanya dengan senyuman.

Sejak wasit meniup peluit tanda pertandingan dimulai, pertandingan berjalan sportif. Tidak ada kekerasan, adu mulut ataupun cedera pemain. Hingga saat bola melambung cukup tinggi, salah satu pemain lawan melompat mencoba menyundul, tetapi Kak Yudha tiba-tiba mengangkat kakinya tinggi berniat menendang bola. Tendangannya sangat kencang. Entah sengaja atau tidak tendangannya mengenai kepala pemain lawan yang langsung jatuh tersungkur sambil terlihat kesakitan memegangi bagian belakang kepalanya. Bahkan bercak darah terlihat pada telapak tangannya selepas memegangi kepala.

Sama-samar Kira melihat wajah pemain tersebut yang terhalang tangannya dan beberapa pemain yang sibuk berkumpul mendekati. Ternyata dia lelaki itu, lelaki bernomor punggung 7.

Kira melotot kaget seraya berdiri "Kak Yudha kenapa sih!?" Mae dan beberapa teman sekolahnya kaget melihat respon Kira yang malah meneriaki kapten sekolahnya itu.

Mae menarik Kira hingga terduduk. "Kira kenapa kamu teriak begitu, bodoh!" Mae sedikit berbisik. Kira tergagap menggaruk-garuk kepala bingung sendiri dengan reaksi spontannya barusan. "I-ituu ... T-tapi ... Emm sakit gak sih? Kasihan."

Penonton dari tim lawan mulai berteriak seolah mengejek tim SMA Pelita karena sudah mencoba mencelakai salah satu pemainnya. Beberapa pemain terlihat saling mendorong sembari adu mulut dan yang lainnya melakukan protes kepada wasit karena tak kunjung memberikan keputusan hukuman.

Akhirnya wasit mengeluarkan kartu kuning dan pemain nomor 7 terpaksa dibawa memakai tandu ke pinggir lapangan untuk mendapat pengobatan.

Setelah kejadian tersebut, permainan semakin memanas. Beberapa kali pemain terlihat saling mendorong dan terjadi adu mulut. Penonton juga semakin keras meneriakkan yel-yel dan ejekan-ejekan kepada tim lawan.

Wasit meniupkan peluit panjang tanda pertandingan telah usai. Skor akhir kedua tim yaitu 7 banding 5. Kemenangan untuk SMA Neo. Baik pemain dan penonton SMA Pelita terlihat kecewa. Namun ada rasa lega bagi Kira karena setidaknya di akhir pertandingan kedua tim tidak saling bertengkar atau permainan akan berakhir ricuh.

***

Kira dan Mae menunggu Reka di luar gor. Mereka khawatir bahwa anak itu akan kecewa dan sedih karena hasil pertandingan hari ini. Benar saja ketika tim futsal sekolahnya terlihat berjalan menuju gerbang, mereka terlihat lemas dan tak bergairah. Beberapa memberikan raut amarah. Begitupun dengan Reka. Raut mukanya menyiratkan kekecewaan, dia terlihat menyedihkan.

"Reka kamu ... Baik-baik saja?" tanya Mae khawatir.

"Jangan sedih begitu, itu hanya permainan bola. Menang kalah sudah biasa, bukan?" ujar Kira berusaha menghibur.

"Tetap saja tim kita kalah. Rasanya gak enak sama anak-anak yang sudah datang menonton." Reka terus tertunduk lemas.

"Nih minum." Mae melemparkan minuman dingin yang tadi ia beli di kantin. Reka hanya tersenyum tipis lalu menghembuskan napas panjang sebelum meneguk minuman itu.

Kira melihat ke arah Mae dan Reka dengan menahan senyum. Mae selalu membawa minuman kemana pun tanpa meminumnya. Saat Mae bertemu Reka dimana pun, ia akan selalu siap memberikan minumannya kepada Reka. Kira menyadari hal kecil itu. Sungguh perhatian kecil yang manis.

"Kalian langsung pulang sekarang?" tanya Reka.

Mae melirik ke arah Kira sambil cengengesan. "Maaf ya Ra, aku di jemput abang. Katanya sih dia udah nunggu di cafe sebrang sekolah."

"Santai Mae, biasanya juga aku naik bus sendiri kan. Lagipula rumah kita juga beda arah kalau dari sini," ucap Kira seraya menyenggol lengan sahabatnya. "Kamu bagaimana, Ka?" Kali ini pandangannya beralih pada Reka.

"Ada kumpul sama tim futsal dulu, Ra. Tapi aku bisa mengantarmu pulang dulu, nanti tinggal menyusul mereka."

"Tidak perlu, kamu habis tanding pasti lelah. Lagipula gak enak sama anggota tim yang lain kalau kamu menyusul. Tenang saja, biasanya juga aku pulang sendiri."

"Sungguh? Aku benar-benar bisa mengantarmu dulu ka—" 

"Sungguh. Aku tidak apa-apa," potong Kira dengan tegas. Ia mengangguk sambil mengacungkan jempolnya. "Tenang saja."

"Baiklah hati-hati, Ra. Kamu juga Mae. Sepertinya hari semakin gelap, kalian anak perawan gak boleh pulang terlalu malam nanti di culik setan," ujar Reka jahil.

"Reka, mulutmu!" Mae sudah berniat meninju Reka namun gagal karena targetnya sudah terlanjur berlari menjauh.

***

Kira berjalan menuju halte bus dekat SMA Neo dan dirinya sedikit terkejut saat lagi-lagi melihat lelaki bernomor punggung 7 sedang duduk di halte. Dengan mata terpejam lelaki itu menyenderkan badannya pada tiang. Salah satu tangannya memegang kepalanya. Mungkin masih menahan sakit akibat tendangan Kak Yudha tadi.

Seingat Kira kepalanya tadi mengeluarkan bercak darah. Kira yakin saat ini ia sedang kesakitan. Apa gak sebaiknya dia langsung ke rumah sakit? Apa lukanya parah? Apa darahnya sudah berhenti? Pikir Kira.

Kira teringat bahwa ia sering melihat lelaki itu di halte sekolahnya. Sekarang dirinya tahu bahwa lelaki itu merupakan siswa SMA Neo. Mengapa hampir setiap sore dia naik bus dari halte sekolah Kira? Bukankah jarak SMA Neo dan SMA Pelita cukup jauh?

Dengan hati-hati Kira duduk di sebelahnya memandang cemas lelaki di hadapannya. Pelan-pelan ia membawa tangannya menyentuh kepalanya.

"Aww!" Lelaki itu meringis lalu dengan spontan memegang tangan Kira di atas kepalanya. Pandangan mereka bertemu. Kira kaget karena lagi-lagi merasa melakukan hal bodoh. Beberapa detik berlalu. Mereka berdua mematung dengan posisi yang sama. Tak ada satupun yang bergerak dan berbicara.

"Kamungapain?"

Dengan cepat Kira menarik tangannya. Entah apa yang harus ia katakan karena sudah memegang kepala orang lain tanpa izin. Namun, tiba-tiba Kira kaget melihat ada bercak merah pada telapak tangannya. "Kepalamu masih berdarah?" tanya Kira. Lelaki itu hanya diam, terlihat bingung.

"Aaku tadi eungg ... menonton pertandingan futsal. Aku melihat kepalamu terluka dan berdarah." Kira memberikan penjelasan. Bola matanya bergerak kesana kemari karena gugup dan mencoba menghindari tatapan lawan bicaranya.

"Oh ..." ucap lelaki itu pelan hampir tak terdengar.

Kira membuka tasnya dan mengambil sapu tangan berwarna putih yang selalu ia bawa di dalam tas. "Nih, kepalamu masih berdarah. Setidaknya bersihkan lukamu dan tutup dulu pakai sapu tangan itu."

Lelaki itu tersenyum dan mengambil sapu tangan yang Kira berikan. Bukannya membersihkan lukanya, ia malah meraih tangan Kira dan membersihkan telapak tangan Kira yang terkena darah tadi.

Jangan tanya bagaimana perasaan Kira saat ini. Jantungnya seakan ingin melompat ke udara dan jiwanya sudah melayang entah kemana.

Setelah itu baru ia mengusap dan menutup luka di kepalanya dengan sapu tangan itu. "Terimakasih," ucapnya lembut. "Kalau sudah dicuci pasti ku kembalikan."

Bus Kira sudah datang. Buru-buru ia menggendong tasnya dan pamit. "Duluan ya, jaga sapu tangan itu baik-baik." Lelaki itu hanya tersenyum mengangguk.

Sepanjang perjalanan pulang Kira baru sadar bahwa ia belum berkenalan dengan lelaki tadi. Dia bahkan tidak tau siapa namanya. Lelaki itu juga tidak bertanya apa-apa tentang Kira. "Bagaimana caranya mengembalikan sapu tangan itu kalau tidak tahu namaku siapa dan harus bertemu dimana." Pikir Kira bingung. Ah entahlah.

Sementara lelaki itu masih duduk di halte sambil tersenyum melihat sapu tangan pemberian Kira tadi. Dilihatnya jahitan nama Kira pada sapu tangan itu.

"Jadi, namanya Aluna Kira Gantari. Namanya cantik seperti orangnya," gumamnya pelan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status