Share

3 - DIAM-DIAM MEMANDANGMU

Hari ini Arbi pulang sekolah lebih cepat karena tidak ada eskul maupun kelas tambahan. Di perjalanan pulang, ia melihat sebuah toko kue yang menarik perhatiannya. Toko kue itu terlihat asing, sepertinya merupakan toko kue baru di daerah ini. Terlihat dua orang pegawainya sedang menyebarkan brosur kepada setiap pejalan kaki yang melewati kafe itu, termasuk Arbi. Ternyata sedang ada diskon untuk hari ini. Berbagai kue dan minuman dijual dengan harga promo yang sangat murah.

Arbi tersenyum melihat harga pada brosur toko tersebut dan langsung masuk ke dalam toko. Begitu masuk ke dalam toko, aroma segala macam kue dan roti masuk menggelitik hidungnya. Membuat perut Arbi menjadi lapar.  Desain interior toko kue tersebut sangat indah. Dengan nuansa putih yang modern ditambah tersedianya beberapa tempat yang terlihat nyaman bagi para pembeli yang ingin makan di tempat.   

"Silahkan, mau pesan apa?" ucap pelayan toko yang tersenyum ramah. Arbi langsung memesan dua slice cake untuk dibawa pulang. Satu rasa cheese untuk adiknya dan satu lagi rasa chocolate untuk Mama.

Setelah pesanannya selesai, ia pun membayarnya. Betapa terkejutnya ia saat berjalan keluar toko melihat dua orang yang terlihat mesra baru saja memasuki toko. Lelaki dihadapan Arbi terlihat sama terkejutnya. Arbi mencoba menahan kekesalan dan menyalurkan amarahnya dengan meremas kantung plastik yang berisi kue di tangan kanannya. Sementara perempuan di samping lelaki itu terlihat bingung melihat ke arah Arbi dan lelaki di pelukannya. 

"Arbi ...." panggil lelaki itu ragu.

Arbi lalu berjalan dengan terus menatap tajam lelaki itu. Dengan sengaja ia menabrakkan bahunya dengan bahu lelaki itu yang akhirnya membuat tubuh lelaki itu sedikit goyah.

Sepanjang perjalanan pulang pikiran Arbi kalut. Dadanya terasa sesak. Ia marah melihat sang Papa terlihat baik-baik saja dengan perempuan lain. Ia marah karena Papa mendapatkan hidup yang baik, sedangkan Mama sebaliknya. Ia marah tapi tidak tahu kepada siapa. Ia menyesali perbuatannya. Semua memang salahnya, tetapi apakah sebagai orang tua Papa harus meninggalkan Mama demi perempuan lain? Mama selalu mengatakan bahwa Papa adalah pria yang baik. Mama juga mengatakan bahwa Mama akan selalu mencintai Papa. Namun, Arbi tidak mengerti kenapa Papa harus meninggalkan Mama dengan keadaan seperti itu.

❊❅❊

Keesokan harinya, Arbi merasa pusing. Ia masih terus memikirkan kejadian kemarin. Ia memang sudah tahu bahwa Papa memiliki wanita lain selain Mama. Namun, ia selalu tak habis pikir mengapa Papa bisa sejahat itu. Meninggalkannya di saat keluarga mereka sedang tidak baik-baik saja.  

Hari ini Arbi lebih memilih untuk menghabiskan waktu di perpustakaan kota sebelum akhirnya pulang ke rumah. Kebanyakan anak lelaki seusianya mungkin lebih memilih untuk berolahraga di lapangan sekolah atau pun nongkrong bersama teman lainnya sepulang sekolah. Bukan berarti Arbi adalah anak kutu buku yang pendiam dan tak bisa olahraga. Arbi sangat mahir dalam beberapa olahraga terutama sepak bola. Ia juga termasuk anak yang pandai bersosialisasi dan memiliki banyak teman.

Namun, saat ia merasa hari yang dilalui tidak berjalan baik atau suasana hatinya sedang kacau seperti hari ini, Arbi selalu menyempatkan diri mampir di perpustakaan untuk membaca buku. Menurutnya membaca buku bisa membantu mood-nya membaik dan sejenak melupakan segala masalah yang ia rasakan. Ia juga merasa butuh waktu untuk sendirian.

Setelah beberapa saat berkeliling di antara rak buku perpustakaan, akhirnya ia meraih salah satu buku yang menarik perhatiannya dan mencari tempat duduk untuk membaca.

Beberapa menit waktu berlalu ia fokuskan untuk membaca, perlahan atensinya pun teralihkan yang semula fokus melihat halaman buku justru kini memandangi seseorang yang ada pada ujung meja di sudut ruangan.

Butuh beberapa saat sampai akhirnya ia menyadari bahwa gadis itu merupakan gadis yang sering ia lihat di halte sepulang sekolah. Tatapannya tenggelam begitu dalam memperhatikan gadis itu sampai-sampai tak sadar saat ini ia telah mengangkat ujung bibirnya. Seukir senyuman tipis dan mata teduhnya seakan tak mau lepas memandangi gadis itu.

"Cantik."

"Hah, aku ini kenapa? Sadar Arbi,"

gumamnya sembari menampar-nampar pelan pipinya.

Merasa seperti sedang diperhatikan, perlahan gadis itu pun menoleh dan mengarahkan netranya ke arah lelaki yang sedang memandangnya lekat. Sontak Arbi pun terkejut dan dengan cepat mengalihkan pandangan. Terlihat seperti tidak peduli dengan sekitarnya, Arbi menunduk seolah sedang membaca buku dengan serius. Padahal ia merasa kakinya lemas dan jantungnya berdegup kencang seperti maling yang tertangkap basah sedang mencuri.

"Ya ampun hampir saja," batin Arbi.

Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore yang berarti sebentar lagi perpustakaan akan tutup. Arbi pun segera mengemas barangnya lalu mengembalikan buku ke tempat semula. Saat akan beranjak pergi, Arbi tersadar bahwa gadis yang sedari tadi ia coba curi-curi pandang sedang tertidur lelap. Entah sudah berapa lama ia tertidur dengan posisi duduk seperti itu. "Pasti saat bangun badannya akan sakit," pikir Arbi dengan raut khawatir. 

Awalnya ia ingin membangunkannya, tetapi saat ia berjalan mendekat dan mencoba membuka mulut untuk memanggilnya Arbi pun ragu. Langkahnya terhenti dan bibirnya kelu. Arbi hanya memperhatikan gadis itu dari dekat. Ia melihat buku yang terbuka di atas meja dan sadar bahwa ternyata gadis itu sedang mengerjakan tugas matematika. Arbi mencoba membaca soal yang sudah gadis itu kerjakan dan ternyata baru setengahnya yang berhasil  diselesaikan. Beberapa jawaban yang ditulis juga ada yang keliru dan salah. Perlahan Arbi duduk disamping sang gadis, lalu mulai mencoba mengerjakan soal-soal itu sampai selesai. 

Arbi memang cukup pintar di kelas, apalagi pada pelajaran matematika. Namun, ia sebenarnya bukan orang yang terlalu ambisius dalam belajar. Karena sang Mama selalu berkata bahwa sikap kita jauh lebih penting dibanding nilai di sekolah, maka jangan terlalu memaksakan diri menjadi yang paling pintar di sekolah. Mama hanya mau anak-anaknya tahu apa yang ingin mereka lakukan.  

Setelah selesai mengerjakan, Arbi meletakkan buku dan alat tulis pada posisi semula. Beberapa saat ia memandang gadis itu sambil menahan senyum. Jantungnya semakin berdegup kencang. Sepertinya semakin lama berada di dekat gadis itu akan berbahaya bagi jantungnya. Akhirnya ia pun berdiri lalu pergi begitu saja tanpa membangunkannya.

❊❅❊

  

"Drrrtt... Drrrtt." Suara getaran ponsel membangunkan Kira. Ia mengerjapkan matanya sambil berusaha membaca pesan yang masuk. Ternyata dari Reka yang sudah menunggunya di depan perpustakaan sedari tadi. Kira melihat jam pada pergelangan tangannya. Betapa terkejutnya ia melihat bahwa saat ini sudah pukul enam sore. Ia melewatkan banyak waktu di perpustakaan hanya untuk tertidur.

Ia melihat buku tugas yang ia kerjakan sudah terisi penuh berisi jawaban. Lengkap dengan cara pengerjaannya yang ditulis rapi.

"Eh, kenapa tugasnya sudah selesai?" Kira bingung mencoba melihat dengan curiga orang-orang di sekitarnya, tetapi hanya ada dua orang yang tersisa di ruangan ini dan mereka merupakan anak berseragam SMP. Tentu bukan mereka pelakunya. 

Tubuh Kira merinding ketakutan. "Apa jangan-jangan di sini ada hantu?"

Pada akhirnya dengan setengah sadar dan tubuh yang lunglai, Kira bangun segera bergegas membawa semua barangnya dengan asal. Saat akan pergi badannya berbalik melihat ke arah bangku kosong tempat lelaki yang sedari tadi ia perhatikan duduk sambil membaca dengan amat serius. "Ternyata dia sudah pulang."

Petugas sudah bersiap-siap membereskan perpustakaan dan akan menutup gedung itu. Untung saja Kira tepat waktu, sehingga ia tidak terjebak di dalam gedung itu malam ini. Ternyata terdapat beberapa pengunjung yang juga masih berada di dalam gedung dan sedang beranjak pergi meninggalkan perpustakaan.

❊❅❊

"Ku tebak kau pasti tertidur di dalam." ujar Reka sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Jangan berkomentar." Kira berjalan ke arah Reka yang menunggu di gerbang perpustakaan. Dengan malas ia memberikan buku dan barang yang sedari tadi ia pegang asal ke tangan Reka, lalu dengan sigap Reka membawakan barangnya.

"Harusnya kita mengerjakan tugas kelompok ini bersama," ucap Kira mengeluh.

"Maaf ya, Ra. Aku harus latihan karena pertandingan besok lusa. Menggantikan Kak Jiel karena kakinya cedera, jatuh dari motor," jelas Reka sambil memasang wajah memelas.

"Iya aku tahu, kamu sudah menjelaskannya berkali-kali."

Harusnya sore ini Kira mengerjakan tugas kelompoknya dengan Reka. Namun, tiba-tiba sahabatnya itu membatalkan janjinya karena harus latihan mendadak dengan tim futsal sekolah.

"Aku lelah mengerjakannya sendirian. Akhirnya tidak sengaja tertidur di perpustakaan dan sekarang badanku sakit semua," lanjutnya.

"Memang dasar keturunan koala betina, di mana-mana hobimu tidur." Reka sudah tahu bahwa sahabatnya ini memang tukang tidur. Dulu saat SMP Kira pernah ditemukan dalam posisi seperti terjatuh di lantai kelas. Semua teman di kelas panik dan hampir mengangkat Kira menuju UKS. Namun, tiba-tiba Kira terbangun dengan santai dan kebingungan melihat semua orang tengah mengelilingi dirinya. Ternyata ia hanya tidak sengaja tertidur di lantai kelas.

Sambil berjalan arah pulang, Reka melemparkan susu yoghurt kesukaan Kira. "Nih, sebagai rasa bersalah dan terimakasih. Pelan-pelan minumnya, besok kubelikan lagi." Kira tersenyum ke arah Reka dan langsung menghabiskan susu yoghurt kesukaannya. Kira sangat menyukai minuman itu. Setiap dirinya sedang bertengkar dengan Reka, sahabatnya itu cukup membelikan Kira minuman kesukaannya, lalu dapat dipastikan akan membuat Kira langsung memaafkan Reka.

"Kamu gak bawa motor?" tanya Kira. Biasanya Reka membawa motor kesayangannya kemana pun, tetapi hari ini ia tidak terlihat membawanya.

Reka menggeleng pelan. "Entahlah, sedang ingin naik bus."

"Oh ..."

"Besok gak mau di jemput, Ra?" tanya Reka.

"Enggak usah Reka, aku jamin besok tidak akan telat. Mending kamu jemput Mae aja."

Reka hanya menghela napas menyiratkan wajah kecewa. "Oke," jawabnya singkat.

Selama perjalanan pulang Reka terlihat pendiam. Hanya berjalan tanpa mengeluarkan suara dari mulutnya. Sedangkan Kira masih sibuk menyedot susu yohurt di tangan sambil terus menguap karena masih mengantuk.

"Ka, kamu lebih suka hujan atau matahari?" lagi-lagi Kira mengajukan pertanyaan aneh, tetapi kali ini pada Reka.

"Kenapa, Ra? Kok tiba-tiba nanya gitu? Sekarang adanya bintang tuh, lihat di langit. Gak ada hujan apalagi matahari," jawab Reka sambil mendorong wajah Kira dengan tangannya menghadap ke langit.

Kira menatap Reka geram dengan mata sinis. Pipinya menggembung dan bibirnya mengerucut karena tangan Reka masih berusaha memegangi wajahnya menghadap ke langit. Sedangkan Reka malah tersenyum karena gemas memandang wajah dihadapannya.

Kira melepaskan tangan Reka dari wajahnya. "Ah, jawaban yang membosankan. Matamu juga aneh. Senyummu apalagi,  gak enak dilihat." Kira berjalan mendahului sementara Reka mengernyit kebingungan dengan perkataan sahabatnya.

"Kenapa sih? Sepertinya otak dia terganggu karena terlalu lama tertidur di perpustakaan," ujar reka sambil menggelengkan kepala.

Beberapa saat mereka berjalan melewati malam yang sepi, tanpa ada satupun yang berbicara. Hanya terdengar suara langkah kaki mereka yang sesekali bergesekan keras dengan aspal.

"Tumben diem?" tanya Kira memecah keheningan.

Reka menoleh dan hanya diam memperhatikan Kira.

"Ada apa? Kenapa memandangku seperti itu? Ya ampun, jangan-jangan kamukesurupan?" ucap Kira panik seraya menggoyang-goyangkan tubuh Reka.

Reka melepaskan tangan Kira dari tubuhnya. "Apaan sih. Enggak, Ra."

"Reka jangan diam saja,  aku takut kalau kamu diam."

Diam-diam Reka sedang merasa gelisah dengan perasaannya. Reka sadar betul bahwa dirinya menyukai perempuan disampingnya. Namun, apakah Kira juga merasakan hal yang sama, Reka tidak tahu. Ia takut kalau Kira tidak memiliki perasaan yang sama untuknya. Ia takut kalau memberi tahu tentang perasaannya malah akan membuat Kira menjadi benci padanya dan malah menjauhinya. Ia juga takut akan menimbulkan mala petaka bagi hubungan persahabatan baik untuk dirinya, untuk Kira dan bahkan Mae. Maka apa yang harus ia lakukan dengan perasaannya. Apakah akan menjadi rasa yang indah atau hanya menimbulkan luka diantara mereka.

Tiba-tiba saja Reka menghentikan langkah lalu berbicara dengan suara pelan. "Ra?" sahut Reka dengan ragu-ragu.

"Hmm?"

"Kamu pernah jatuh cinta sama laki-laki gak, sih?" Reka bertanya dengan sangat hati-hati.

"Kamu menuduhku tidak normal, Ka?!" seru Kira melotot.

"Bukan begitu maksudku. Masa kamu gak ngerti sih?" Reka berbicara seperti putus asa. Kira memang bukan orang yang peka, dan Reka tahu itu. Bahkan kira pasti tidak akan menyadari bagaimana perasaan mulai tumbuh di hati Reka.

"Hmm, pernah lah." jawab Kira seraya mengigit ujung sedotan pada kotak susu yoghurt yang sudah habis.

"Sama siapa?"

Kira mencoba berpikir beberapa saat lalu menjawab, "Ayahku."

"Demi tuhan, Ra. Kenapa sih gak pernah serius kalau ditanya. Kalau kamu bukan perempuan pasti sudah ku habisi!" sungut Reka kesal lalu mencoba mengejar Kira yang sudah lebih dulu lari menghindarinya.

Beberapa kali Kira meledek dengan memasang ekspresi wajah menyebalkan. Reka terus mencoba menangkap Kira yang terus berlari kesana-kemari. Mereka pun saling tertawa diantara dinginnya malam dan terangnya sinar bintang. Memperlihatkan pemandangan yang begitu menggemaskan.

Namun, di saat kedua insan sedang terlihat bersenang-senang di bawah indahnya langit malam, seorang pemuda diam-diam mengikuti mereka di belakangnya. Dengan jarak tidak terlalu jauh, netranya terus memperhatikan dari balik kegelapan.

"Dia tertawa bahagia karena lelaki itu." Lelaki yang ia lihat dapat membuat perempuan dihadapannya tertawa lepas. "Andaikan itu aku," tuturnya pelan. Melihat mereka berdua saling melempar senyum dan berbagi tawa membuat Arbi terus mengerutkan kening sambil menampilkan raut kekecewaannya.

Sebelumnya Arbi melihat sang gadis berjalan menghampiri seorang lelaki di depan gerbang perpustakaan. Dari kejauhan ia dapat melihat mereka saling berbicara tanpa canggung. Dengan segala rasa penasarannya, ia pun memustuskan untuk mengikuti mereka. Pada akhirnya berakhir di tempat ia berada saat ini. Menyaksikan pemandangan yang membuat hatinya mendadak panas bagaikan ada api kecil yang telah membakar dadanya. Namun, tetap saja ia melukiskan senyum tipis karena dapat melihat gadis itu tertawa lepas, walau bukan untuknya. Dirinya pun berbalik dan berjalan pulang.

-----------------------------------------------------

Aku suka melihatmu tertawa

Tapi tidak suka melihatmu tertawa karena orang lain

Aku bodoh tertawa sendirian, karena mencintai dalam diam

-----------------------------------------------------

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status