Share

Thai Qu Cing Si Anak Kotoran
Thai Qu Cing Si Anak Kotoran
Author: Donat Mblondo

1. Anak pungut

"Thai Qu Cing, ha ha ha! Benar-benar seperti namanya, SAM-PAH!" ucap seorang anak laki-laki bernama Du Bai menekankan kata sampah. Dia menendang gundukan kotoran kucing ke arah Thai Qu Cing.

Bocah kurus dan dekil itu berjongkok membungkuk melindungi kepalanya. Pasir-pasir yang menutupi kotoran, berhamburan menghujani tubuhnya.

Nama Thai Qu Cing awal mulanya, karena seorang pria tua bernama Setu Jhu, waktu itu sedang berburu. Pria itu menemukan seorang bayi laki-laki sedang menangis di atas gundukan sampah dedaunan. Tampak bayi itu sedang memegang kotoran kucing di tangan kanannya.

Kemudian, tiba-tiba tangan si kecil mengeluarkan cahaya dan kotoran itu pun lenyap. Setu Jhu pikir, bayi itu telah menyerapnya. Sehingga ia memberinya nama Thai Qu Cing dengan panggilan Qu Cing.

Sebelum Setu Jhu meninggal karena diterkam binatang buas saat berburu, dia sempat mendaftarkan anak pungutnya di sebuah perguruan elit tingkat dasar bernama Perguruan Long Ji.

Awalnya, anak itu tidak memenuhi kriteria sebagai murid perguruan tersebut. Karena, sang penguji mendapati tubuhnya kosong. Katanya, Qu Cing akan sangat sulit mengikuti pelatihan, sebab pada dirinya tidak ada gumpalan tenaga dalam ataupun tanda-tanda munculnya inti spiritual, sedangkan Qu Cing sudah hampir menginjak usia 9 tahun.

Pada umumnya, setiap bayi dari ras manusia terlahir memiliki gumpalan tenaga dalam. Dan ketika mulai menginjak umur 7 tahun akan ada tanda-tanda munculnya inti spiritual.

Setiap anak, dianugerahi satu inti spiritual dari tujuh inti. Api, air, angin, tanah, tumbuhan, cahaya, dan kegelapan.

Meskipun Setu Jhu mengetahui bahwa Qu Cing akan mengalami kesulitan, pria itu tetap memaksa agar anaknya bisa masuk. Bahkan, dia tidak peduli meskipun nantinya hanya akan menjadi pesuruh. Setidaknya, anak itu memiliki pengalaman dan melihat, bagaimana anak-anak yang lain berlatih. Sebab, pria yang hampir menginjak usia setengah abad itu juga tidak bisa melindunginya. Sehingga Qu Cing, harus terbiasa dengan kerasnya kehidupan.

Setelah Du Bai berlalu, dua anak yang selalu mengikutinya, yaitu si kembar Patnge Wu dan Ronge Wu mendorong Qu Cing dengan kaki hingga bocah malang itu jatuh meringkuk.

"Anak kotoran, sangat cocok dengan kotoran. Kau dan kotoran benar-benar teman sejati. Ha ha ha!" ucap salah satu dari mereka. Kemudian, mereka pergi menyusul Du Bai.

Sudah beberapa kali Qu Cing ditindas oleh mereka, tapi anak itu tidak membalas. Dia juga tidak menangis atau merintih. Bocah itu hanya diam membisu pasrah. Tatapannya kosong seperti orang linglung.

Anak itu meraih kotoran kucing di sampingnya. "Mereka bilang, kau adalah teman sejatiku," gumamnya menyunggingkan senyum.

Tanpa disadari, seorang gadis berumur setahun lebih muda, berdiri di belakang Qu Cing. Dia adalah We Ling. Gadis manis, berbulu mata lentik, tapi sedikit kasar karena kehidupannya yang bebas.

"Meremas kotoran kucing, sambil tersenyum? Benar-benar anak yang aneh!" umpat We Ling berbalik memutar bola mata. Padahal, awalnya dia merasa iba karena melihat Qu Cing terus ditindas. Namun, setelah melihat tingkah anehnya, membuat gadis itu menjadi risih.

Langkah gadis itu terdengar oleh Qu Cing. Qu Cing pun menoleh dan melihatnya telah menjauh.

Astaga! Apa yang kupikirkan sampai menganggap gundukan kotoran sebagai teman? Haha. Dia pasti menganggapku gila. Batin Qu Cing tersadar.

Dia segera berdiri dan melangkahkan kakinya ke sebuah sumur di pekarangan dekat perguruan. Setelah selesai membersihkan diri dari kotoran, seseorang memanggil anak itu.

"Hei! Thai Thai! Sini ...!" Seorang senior kelas 2 bernama Han Thu melambaikan tangan agar Qu Cing mendatanginya. Han Thu adalah ketua dari kelas 2A, salah satu murid yang menonjol dan populer dari kalangan senior kelas 2.

Qu Cing datang menghampirinya. Seperti biasa, setelah berada di hadapannya, anak itu hanya diam menunggu perintah. Dia tahu bahwa saat ini adalah jadwal tugas kelas Han Thu membersihkan sampah dedaunan yang berada di pekarangan. Padahal, mereka memiliki kekuatan untuk membersihkan dedaunan itu dengan cepat. Namun, suasana tidak akan seru tanpa seorang pesuruh.

"Bersihkan semua daun-daun yang berserakan di pekarangan ini!" ucap Han Thu melemparkan sebuah sapu lidi panjang ke arah Qu Cing dengan kasar. Gagang sapu itu membentur dahi Qu Cing hingga menimbulkan memar biru. Tidak hanya Han Thu, tapi juga teman-teman sekelasnya.

Mereka semua pergi membiarkan Qu Cing seorang diri membersihkan pekarangan yang luas, bahkan hampir melebihi area perguruan.

"Satu hari, satu malam pun belum tentu akan selesai," gerutu Qu Cing memandang betapa luasnya lahan yang harus dibersihkan. Saat itu, tiba-tiba kepalanya berdenyut akibat memar tadi. Namun, ketika ia menyentuhnya dengan tangan, seketika itu rasa sakit menghilang.

Apa yang terjadi? Pikirnya tidak merasakan sakit lagi.

Saat langit mulai petang, gerombolan Han Thu pun kembali. Mereka melihat baru sebagian kecil sampah yang dibersihkan.

"Lelet banget sih! Masa dari tadi hanya dapat segitu?!" bentak seorang gadis yang merupakan salah satu teman sekelas Han Thu. Dia menendang pantat Qu Cing hingga membuatnya jatuh tersungkur.

"Hei, Bisu!" Seorang anak lelaki yang juga merupakan salah satu teman Han Thu, menjambak rambut Qu Cing hingga kepalanya terdongak. "Kau lihat baik-baik, biar kutunjukan bagaimana caranya membersihkan!"

Teman Han Thu itu, mengeluarkan energi spiritual angin dan ...

Whuuuuuuuuush!

Dalam sekejap gundukan sampah daun terkumpul menjadi satu.

Mereka menganggap Qu Cing sebagai anak bisu, karena mereka belum pernah mendapati anak itu berbicara sepatah kata pun.

Setelah sampah terkumpul, mereka memukuli Qu Cing dengan alasan kualitas kerja pesuruh sangat buruk.

"Sampah, seharusnya berkumpul dengan sesama sampah!" ujar Han Thu tampak mulai menggali tanah. Teman-temannya pun memahami apa maksud dari perkataan ketua mereka.

Salah satu dari mereka yang memiliki inti spiritual tanah, mengguncang bumi hingga sebagian tanah yang ditunjuk melongsor membuat sebuah lubang.

Mereka menimbun Qu Cing hidup-hidup dalam tanah, dan hanya menyisakan bagian kepala saja di atas permukaan. Kemudian mereka menutupi kepalanya dengan gundukan sampah dedaunan.

Beberapa saat kemudian, Qu Cing mencium bau gosong dari atas kepalanya. Semakin lama, kepala anak itu terasa semakin panas. Api pun membumbung tinggi di atas kepalanya.

"Aaaaaaaaaaaaaaargh!"

Anak itu menjerit sangat keras. Namun, sepertinya tidak ada yang peduli dengannya.

"Ha ha ha! Siapa yang akan peduli dengan kematian seorang sam-pah!" ucap seseorang.

Suara langkah kaki, semakin lama pun menghilang.

Siapa yang membakar sampah dedaunan ini? Apakah dia sengaja? Dia sengaja ingin membunuhku? Aku sudah berteriak keras, tapi dia tidak peduli dan pergi membiarkanku terbakar di bawah kobaran api ini? Pikir Qu Cing.

Anak itu terdiam memejamkan mata, pasrah menghadapi kematian. Tiba-tiba, sebatang kayu lusuh terjatuh dari tumpukan buih-buih abu gosong dedaunan ke kepala Qu Cing.

Ketika sebatang kayu itu menyentuh rambut Qu Cing, anak itu merasakan kehangatan. Seperti ada suatu energi yang masuk ke tubuhnya, sehingga dia merasa cukup mampu untuk membobol tanah yang menimbun dirinya.

Byaaaaar!

Tanah beserta kobaran api pada dedaunan, berhamburan ke segala arah. Qu Cing melompat menangkap sebatang kayu itu. Saat berada dalam genggaman, tiba-tiba telapak tangan anak itu mengeluarkan cahaya yang membuat suatu ukiran unik pada batang kayu menjadi tampak jelas.

Karena kaget dan tangan terasa terbakar, Qu Cing tanpa sengaja menjatuhkan sebatang kayu itu. Dan tanpa diduga, pada telapak tangan kanannya muncul sebuah tanda berbentuk matahari.

Tanda apa ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status