Share

3. Keajaiban

Di pagi hari. Qu Cing terbangun dan melihat sosok gadis yang ia tangisi semalam sedang berseru memanggilnya.

"Cing Ge! Cing Ge!" teriak gadis itu sembari menggoyang-goyangkan tubuh Qu Cing.

"Jie Jie?" Qu Cing bangkit dan duduk sambil mengucek kedua matanya hingga beberapa kali.

Aneh. Kemaren, Qu Cing melihat Shi Jie dalam keadaan sekarat penuh luka dan darah. Seketika dalam waktu semalam, gadis kecil itu telah sehat bahkan tanpa luka sedikitpun di tubuhnya.

"Cing Ge, mengapa kita bisa tertidur di pekarangan? Jie Jie pikir, Jie Jie sudah mati diterkam harimau semalam. Apakah Cing Ge yang menyelamatkan Jie Jie?" tanya gadis cerewet itu.

"Aku tidak tau. Aku pikir juga begitu. Semalam, tubuhmu penuh luka dan darah. Tapi, setelah aku memelukmu, tiba-tiba badanku menjadi lemas seolah-olah tubuhmu menghisap habis seluruh energiku sampai aku tak sadarkan diri," jelas Qu Cing.

"Jie Jie menghisap energi Cing Ge? Bagaimana mungkin?"

"Entahlah. Tapi yang terpenting, aku senang bisa melihatmu mengoceh lagi saat ini," ucap Qu Cing tersenyum sembari mengusap rambut si kecil.

Shi Jie ikut tersenyum hingga terlihat lesung pipi di wajahnya.

Setelah itu, mereka kembali ke perguruan Long Ji. Ayah Shi Jie sangat mengkhawatirkan anak gadisnya karena tidak kembali semalam. Pria itu langsung memeluknya ketika berjumpa dengannya.

"Jie Jie ke mana saja? Ayah mencarimu semalam," tanya Guru Shi berlutut memegang kedua pipinya.

"Emm ... maaf, Ayah. Jie Jie ..."

Gadis kecil itu, sepertinya tidak bisa mengungkapkan hal yang sebenarnya terjadi pada ayahnya. Sang ayah pasti akan melarangnya keluar dari perguruan, apabila itu akan membahayakan dirinya.

"Maafkan aku, Guru. Jie Jie terlalu asik bermain denganku hingga larut malam. Sampai akhirnya, tanpa sadar kami tertidur lelap di pekarangan karena kelelahan," terang Qu Cing.

"Oh, kau bisa bicara rupanya. Aku pikir, kau anak bisu seperti yang dirumorkan," ujar pria paruh baya itu.

"Hanya Jie Jie yang tahu bahwa Cing Ge tidak bisu," gadis itu meringis menunjukan gigi putihnya.

"Itu karena kau sangat cerewet!" Pria itu menarik hidung puterinya.

Guru Shi mengajak mereka ke kelas untuk memperoleh pengajaran. Meskipun Shi Jie belum cukup umur, pria itu selalu membawanya ke kelas agar dia mendengarkan apa yang diajarkannya.

Di kelas 1F hanya terdapat empat murid. Semua murid di kelas ini memiliki kekurangan fisik, kecuali Qu Cing. Mereka adalah Ashe Li (si tuli), An Cang (si pincang), dan Bery Tha (si buta). Ketiga murid itu, berumur 7 tahun dan telah muncul dalam diri mereka inti spiritual. Hanya Qu Cing yang mengalami keterlambatan hingga usia hampir menginjak 9 tahun.

Sementara yang lain berlatih pembentukan bola spiritual, Qu Cing masih dituntun pembentukan inti. Padahal anak itu sudah bisa melakukannya, tapi saat mempraktekan dengan sang guru, dengan sengaja ia menggagalkan pembentukan tersebut.

Justru Qu Cing malah fokus melihat teman-temannya yang sedang berlatih pembentukan bola spiritual. Melihat anak itu begitu serius memperhatikan teman-temannya, sang guru pun berkata.

"Jika kau ingin berlatih pembentukan bola spiritual, kau harus memunculkan intinya terlebih dahulu."

"Oh!" Seketika itu, konsentrasi Qu Cing menjadi buyar. "Aku mengerti, Guru. Maafkan aku." Anak itu menunduk merasa bersalah.

"Bukan salahmu. Aku tahu kau sudah berusaha! Bersemangatlah! Kau bisa berlatih di luar kelas, jika kau membutuhkan itu. Mungkin ini lebih bisa meningkatkan konsentrasimu," tutur sang guru.

"Yey! Cing Ge, ayo berlatih di luar!" sorak Shi Jie bersemangat.

"Tidak, Jie Jie. Kau harus tetap di sini! Kau hanya akan mengganggu Qu Cing berlatih," ujar Shi Liet melarang putrinya.

Seketika wajah Shi Jie menjadi cemberut. "Ayolah, Ayah! Aku berjanji tidak akan mengganggu Cing Ge," bujuknya.

Qu Cing berlutut dan berkata kepada gadis kecil itu, "Aku akan berlatih di tanah kering. Kau bisa menyusul, untuk melihatku berlatih di sana saat waktu istirahat, Jie Jie."

Gadis itu pun mengangguk tersenyum. Qu Cing membungkuk hormat kepada sang guru sembari menautkan dua kepalan tangan. Kemudian, beranjak pergi ke tanah kering.

Qu Cing mempraktekan apa yang ia lihat dari teman-temannya. Anak itu memusatkan energi spiritualnya pada telapak tangan. Terbentuklah sebuah bola cahaya sebesar genggaman tangan.

Lalu, Qu Cing mencoba kembali di satu tangannya lagi. Kini, satu bola cahaya masing-masing berada di tangannya. Satu per satu ia lemparkan bola cahaya itu kesembarang arah.

Whuuush!

Boom ... booom!

Ketika ia hendak mencobanya sekali lagi, Qu Cing melihat sekelompok anak yang ia kenal. Mereka adalah anak-anak dari kelas 1C.

"Hei! Lihat, siapa di sana!" ucap Ji Thu menunjuk ke arah Qu Cing.

"Si anak kotoran? Ha ha ha!" timpal teman-teman Ji Thu tertawa.

Salah satu dari mereka, datang mendekati Qu Cing dan mendorongnya dengan kasar. "Hei, anak kotoran! Pergi dari sini! Pagi ini, tanah kering ini adalah tempat kami berlatih! Kau hanya akan merusak pemandangan di sini!"

Kemudian, yang lain pun berbondong-bondong mendekat. Mereka menatap Qu Cing dengan tatapan kebencian.

"Benar, tinggalkan tempat ini jika kau tidak ingin diinjak-injak!" imbuh Ji Thu melipat tangan.

Tak lama kemudian, datang seorang pria paruh baya. Dia adalah Sabe Thu (ayah Ji Thu dan Han Thu) guru kelas 1C. Sabe Thu datang dan menyuruh murid-muridnya untuk berkumpul. Ia pun melihat Qu Cing terduduk di tanah dan mengusirnya.

"Pergilah! Tempat ini akan menjadi tempat pelatihan kelas 1C pagi ini! Kehadiranmu hanya akan mengganggu konsentrasi murid-muridku. Apa kau mengerti?" ujarnya.

Qu Cing berdiri kembali dan hanya menjawab dengan anggukan kepala. Lalu, dia membalikan badan dan pergi meninggalkan mereka dengan badan tegap dan pandangan lurus.

"Bersabarlah! Aku harus menahan diri sampai ujian kenaikan kelas tiba. Biarlah mereka terus menghinaku seperti ini. Aku akan terus berlatih dan mengejutkan mereka suatu saat!" gumam Qu Cing menghibur dirinya sendiri.

Qu Cing mencari tempat lain untuk berlatih. Dia pergi ke lapangan belakang perpustakaan. Rupanya, di sana juga ada beberapa anak kelas 1 yang berlatih.

"Tidak bisa, aku harus berlatih di tempat yang benar-benar sepi agar bisa fokus."

Tiba-tiba Qu Cing teringat dimana ada sebuah tempat di dalam perguruan, yang tidak akan seorang pun mendatangi tempat itu. Yaitu di sebuah pekarangan yang berada dalam perguruan. Pekarangan ini terletak di sebelah pojok timur laut. Menurut rumor, di sana adalah tempat eksekusi para penghianat, para pembangkang, dan orang-orang yang berbuat salah.

Orang-orang di perguruan, mengetahui bahwa tempat itu telah menimbun banyak mayat. Sehingga, tidak ada yang berani mendekat. Katanya, di sana juga sering muncul suara-suara aneh tanpa ada sesuatu apapun yang muncul. Orang-orang bilang, itu adalah raungan penyesalan para mayat yang tertimbun.

Qu Cing, nekat mendatangi tempat tersebut seorang diri. Dia sama sekali tidak peduli dengan rumor yang beredar. Toh, kalau dirinya mati pun juga tidak ada yang memperdulikannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status