"Karena aku mereka terselamatkan dari ibu kontrakan? Bagaimana bisa? Bulan ini kan aku juga belum membayarnya? Dan bagaimana bisa mereka berkata seperti itu?" batin natasha bertanya.Selesai mandi, natasha merebahkan tubuhnya. Merentangkan kedua tangan seraya mengatur nafasnya secara perlahan. Menatap ke arah atap rumah sembari berpikir sejenak."Kata bu kontrakan tadi, pak Darren sudah membayar kontrakan ini selama enam bulan ke depan."Perkataan nanda kembali melintas dalam benak Natasha. Sungguh, ia tak habis pikir jika Darren Andaraksa membayar uang kontrakan tanpa memberitahunya terlebih dahulu."Dia benar-benar mencukupi kebutuhanku. Kemarin, kartu kredit dan sekarang kontrakan terbayar lunas. Hah, mungkin saja, jika hubunganku benar-benar terjadi. Dia adalah lelaki yang tepat untuk aku kenalkan pada mama dan papa. Lelaki yang bisa melebihi duda tua bangka itu!" ujar Natasha menggeretakkan giginya. Seakan terasa masih menyimpan dendam saat teringat dengan orang yang membuatnya h
Tapi, senyum itu memudar tatkala sang paman duduk berjongkok menatap kearah sepeda listrik yang tergeletak."Bukankah itu sepeda kesayangannya Karren?" tanya natasha seorang diri. Berjalan melangkah menghampiri om Angga yang seakan menyesali dengan apa yang telah terjadi."Kita belikan saja yang baru, Om!" Perkataan natasha seketika membuat sang paman terkejut mendengar. Di saat tanggal tua begini, bisa-bisanya natasha menyarankan untuk membelikan sepeda baru untuk putrinya. Huft! Sungguh, saran yang tidak masuk di akal."Kamu itu bukannya membantu om, malah menekan om. Apa kamu lupa kalo sekarang ini tanggal tua?" gerutu om Angga yang mulai lupa dengan suasana menyesakkan."Siapa yang menekan sih, Om? Om itu lucu, deh!" goda Natasha seraya ikut duduk berjongkok di samping pamannya."Om, itu tidak sekaya papa kamu. Yang bisa membeli barang semaunya sendiri. Om itu sekarang ...," kata om Angga terhenti."Natasha tau! Dan kebetulan, Natasha sudah gajian. Natasha yang akan bayar!""Tapi
Beberapa chat Natasha yang membuat Darren mulai penasaran."Membutuhkannya? Apa dia dalam masalah?"Sesaat, rasa kasihan mulai menghantuinya. Alih-alih tak mau berpikir negatif thinking, Darren mencoba menghubungi natasha.Namun, tak ada jawaban.Bibirnya mengecap. Jemari tangannya dengan cepat mengotak-atik layar pipih yang berada dalam genggamannya. Mencoba menstranfer uang ke dalam rekening milik sopir pribadinya itu."Semoga saja belum terlambat," harap Darren sembari meletakkan ponselnya tepat di atas meja.**** Natasha mengatur nafasnya secara perlahan. Senyum manisnya mengembang seraya menatap sang surya yang mulai tenggelam. "Sudah lama aku tak melihat sunset di sini," gumam Natasha menghirup udara segar. Sejenak, senyum manisnya memudar tatkala mengingat para sahabatnya."Huft! Tak seharusnya aku merindukan mereka yang pergi meninggalkanku," sesal natasha."Bagaimana kabar kamu, Natasha Amora!" Natasha berbalik. Senyumnya mengembang saat melihat sahabat dekatnya berdiri t
Pak Bara, meja 21 itu sudah terbayar lunas, Pak. Ini struknya!" Perkataan kasir kembali terngiang di telinganya."Siapa yang membayarnya, ya?"Bara terdiam sejenak, dua bola matanya mengerling ketika melihat tanda tangan yang sangat familiar terlukis dalam struk pembayarannya tersebut."Kayak tanda tangannya tante Ayu," kata Bara mendongak. Sudut matanya mengerut. Memandang ke arah sekelompok tante-tante yang terlihat serius dalam berdiskusi."Ternyata benar, tante ayu yang membayar ini semua," ucap Bara tersenyum senang."Semua ini karena cacha. Well, di saat Darren tak berpihak membantuku hari ini. Justru, Cachalah yang membantuku hari ini. Sungguh, hari ini benar-benar hari keberuntunganku!" ucap Bara melangkah pergi.Natasha tersenyum tipis. Mencoba menjadi pendengar setia meski telinganya mulai sakit dengan omongan pedas yang terlontar dari mulut Laura. "Kamu itu cantik, pintar dan bisa terbilang jauh lebih sempurna dariku. Seharusnya, di saat kamu terpuruk seperti ini. Kamu menc
Pintu terbuka. Senyum manisnya mengembang saat Darren menoleh ke arahnya dengan tatapan mata yang begitu tajam."Pak Darren? Pak Darren ngapain di sini?" tanya Natasha menutup pintu."Darimana? Bagaimana bisa ponsel kamu tinggalkan begitu saja di sini?" Darren menenteng ponsel milik natasha yang tergeletak di atas meja tamu."Hehehe, iya, Pak. Tadi, mama ayu ngajak saya pergi. Eh, tak taunya ponsel saya ketinggalan. Sesampai di tujuan, saya gabut sekali, Pak. Karena ponsel saya ketinggalan," cerita natasha duduk tepat di depan Darren. Meraih ponsel miliknya yang dekat dengan atasannya tersebut."Lain kali, jika kamu pergi di saat cuti kerja. Setidaknya, kamu bisa bilang padaku, Natasha!" ucap Darren menegaskan.Natasha mendongak. Lentik indah bulu matanya tak berhenti mengerjap saat pernyataan itu keluar dari mulut Darren."Bukankah bapak sendiri yang bilang, untuk tidak saling mengganggu di saat cuti?" "Tapi, kenapa kamu melanggarnya?" tanya balik Darren yang tak mau di salahkan.N
"Dia benar-benar melindungiku!" lirih Natasha yang diam-diam ingin mencium kening Darren. Namun, tak sampai menempel di kening, Darren sudah terbangun dari tidurnya."Apa masih kurang ciumanku semalam?" tanya Darren yang membuat tubuh Natasha seakan kaku.gshshshhs"Aduh, bagaimana ini? Aku harus jawab apa?" tanya natasha dalam hati."Apa kamu menginginkannya lagi?" tanya Darren membuat tawa natasha pecah."Haha, apaan sih, Pak! Saya tuh mau membenarkan alisnya bapak doang. Ih, bapak mah mulai baper, ya?" ucap Natasha mengelak. Raut wajahnya memerah seketika saat darren menatapnya dengan tatapan yang begitu dalam." Ingat lho, Pak! Bapak sendiri yang bilang untuk tidak baper di antara kita!"Darren tersenyum tipis. Ia sangat suka dengan ekspresi natasha yang salah tingkah. Sangat lucu!"Bukankah kamu yang sudah mulai baper duluan?" tanya Darren seraya menangkupkan kedua tangan di dada."Heh, Saya?""Heem.""Mana mungkin saya baper, Pak! Bapak kali yang ba-per. Argh, sudahlah! Daripada b
"I love you bei .... Haaaaaaaaa!" teriak Natasha spontan duduk sembari menutup tubuhnya dengan kedua tangannya."Pak Darren, kenapa pak Darren masih ada di sini? Bukankah, aku bilang untuk keluar jika sudah setengah jam berlalu?" Darren berpaling sejenak. Alih-alih tak mau mendengar ocehan natasha, ia bergegas keluar tanpa sepatah kata pun yang terucap.KlekPintu kamar tertutup. Natasha menghela nafas berat seraya menahan rasa malu yang seakan berkumpul menjadi satu dalam tubuhnya. Berlari dan mengunci pintu kamarnya segera.Perlahan, ia menunduk menatap dirinya yang begitu seksi. Tubuhnya seketika meremang ketika teringat tatapan Darren kepadanya beberapa menit yang lalu."Sumpah! Malu banget aku," gumam natasha menghela nafas berat.Drt ...Drt ...Natasha melangkah. Ia meraih ponsel miliknya yang tergeletak di atas meja. "Satu jam lagi, kita ke Bogor! Aku tunggu kamu di rumah!"Natasha mendongak. Tatapan matanya beralih ke arah jendela kamarnya yang terbuka. Terlihat begitu jela
"Yang pasti, panggilan itu tak terucap untuk mantan kekasihmu!" pinta Darren dengan tegas.Natasha merapatkan bibirnya. Tangannya mengepal, menopang di dagu seraya berpikir.",Ehmmmm, bagaimana kalo aku memanggil ba ... eh ... kamu dengan panggilan honey, baby, atau ...." kata Natasha terhenti."Mas, panggil saja mas Darren. Itu jauh lebih baik daripada panggilan yang kau sebutkan barusan," ucap Darren dengan pasti."Mas? Haruskah aku memanggilnya mas Darren?" tanya batin natasha seakan tak mampu menegak salivanya sendiri."Tidurlah! Kumpulkan tenagamu untuk berakting di depan para klienku nanti," kata Darren membuat natasha terkejut."Kenapa saya harus berakting di depan klien? Bukankah dalam kontrak, aku hanya bersandiwara di depan ....""Kata siapa? Apa kamu tidak membacanya sampai selesai? Aku juga mencantumkannya dengan jelas, jika kamu akan menjadi kekasihku di depan semua orang," kata Darren mengejutkan natasha.Lentik indah bulu mata natasha tak berhenti mengerjap. Bibirnya me