Alis Darren seakan menyatu. Sungguh, ia baru tersadar jika panggilannya pada Natasha sangatlah baku."Ayo, Pak! Hujan sudah mereda," gegas Natasha bersiap untuk bekerja. ***Bara mondar-mandir kesana kemari. Bibirnya merapat mengimbangi tegakan salivanya yang mengalir dengan paksa."Kenapa jam segini dia belum datang? Apa dia lupa kalo setengah jam lagi ada meeting dengan pak David?" tanya Bara menatap ke arah pintu masuk ruangannya yang tertutup rapat. Menunggu kedatangan Darren yang merupakan orang penting dalam perusahaan."Argh! Tak biasanya dia seperti ini. Biasanya, satu jam sebelum meeting, dia sudah berada di tempat. Heh! Sayang sekali jika kehilangan kontrak bersama pak David," gumam Bara mendesah berat."Kalo saja, aku bisa berpresentasi sepertinya, aku tak akan bingung seperti ini."Sejenak, dahinya mengernyit. Kedua kakinya melangkah ke arah jendela yang memperlihatkan keadaan lingkungan depan kantor. Sebuah mobil Jeep berwarna hitam yang begitu familiar baginya."Oh my
Selesai meeting, Darren menyandarkan kepalanya di bahu kursi putar yang tersedia. Kedua matanya terpejam seraya menopangkan kedua kaki di atas meja.Sesaat, dua bola manik kedua matanya terbuka ketika teringat akan kecupan kecil yang ia tujukan ke arah kening sopir pribadinya itu."Haruskah seperti itu? Setiap kali akan berpisah?" tanya batin Darren terkejut saat jentikan tangan Bara membuyarkan lamunannya."Apa yang kamu pikirkan?" tanya Bara mulai duduk di depan Darren.Darren menurunkan kedua kakinya. Memajukan kursinya dan bersiap menandatangani beberapa berkas yang telah di siapkan oleh Bara."Ahh, aku tau! Sudah pasti saat ini, kamu memikirkan tentang bonus yang akan kamu berikan pada kami. Iya kan?" "Bonus?" batin Darren bertanya."Menurutku sih, alangkah baiknya jika keberhasilan kita ini bonusnya agak beda dari kemarin. Tak hanya bonus cuan tapi juga makan bersama. Bagaimana?" saran Bara yang memang sangat masuk akal."Lakukanlah! Dan ajak semua pasangan mereka untuk ikut!"
GlekNAtasha tak mampu menegak salivanya sendiri. Ia tak habis pikir jika sang atasan mulai berani berbicara lebih intens padanya."Ya-ya nggak lah, Pak. Saya rugi dong!" ucap natasha tersenyum tipis. Ada rasa gugup saat tatapan tajam Darren mengarah padanya."Berapa juta jika aku tak sengaja memelukmu?""Ehm, 20 juta!" "Lalu, kalo menciummu?""Ehm, 30 juta."Darren menyeringai. Tanpa pikir panjang ia merogoh dompet hitam yang tersembunyi dalam saku celananya.Jemari tangannya dengan cepat mengambil salah satu kredit dan menyerahkannya pada natasha."Ambillah! Pakai kartu ini sepuasmu," kata Darren mengernyit."Hahhhhaaaa, bapak mau aja saya boongin. Becanda atuh, Pak. Saya bukan pelacur yang mematok harga seperti itu. Jika ada lelaki yang mencoba menyentuh saya, saya akan pastikan akan membunuhnya!" tutur Natasha tertawa lepas.Darren menyeringai. Entah kenapa, hatinya senang akan penuturan natasha itu."Tadi pagi, aku mencium keningmu. Jadi, anggap saja kartu ini menjadi ganti rugi
"Ngapain cacha kemari? Apa dia salah satu staff kantor juga," tanya Laura sinis."Sayang, apa kamu mengenal wanita itu?" tunjuk Bara ke arah Natasha yang masih setia mendampingi Darren berbicara dengan pemilik restoran tersebut."Tidak, Sayang. Hanya saja, aku kenal dia waktu kuliah. Apa dia karyawan kamu juga?" tanya Laura memastikan.Bara seakan tak mampu menegak salivanya sendiri. Sungguh, pertanyaan itu membuat dirinya harus berpikir keras untuk menjawabnya. Yah, bagaimana tidak. Di depan sang kekasih hati, dia telah mengaku sebagai seorang pemimpin dalam perusahaan.Drt ... Drt ...Bara melirik ke arah benda pipih yang sedari tadi dalam genggamannya. Senyum manisnya tertoreh saat melihat isi chat Darren yang menumpuk dalam layar depan ponselnya."Aku sudah membayar semua makanan dan juga sudah menstranfer bonus masing-masing staff. Pemilik restoran mengajakku untuk makan malam di lantai dua. Jadi, acara makan malam ini aku tak bisa makan bersama kalian!""Pucuk di cinta ulam pun
"Karena aku mereka terselamatkan dari ibu kontrakan? Bagaimana bisa? Bulan ini kan aku juga belum membayarnya? Dan bagaimana bisa mereka berkata seperti itu?" batin natasha bertanya.Selesai mandi, natasha merebahkan tubuhnya. Merentangkan kedua tangan seraya mengatur nafasnya secara perlahan. Menatap ke arah atap rumah sembari berpikir sejenak."Kata bu kontrakan tadi, pak Darren sudah membayar kontrakan ini selama enam bulan ke depan."Perkataan nanda kembali melintas dalam benak Natasha. Sungguh, ia tak habis pikir jika Darren Andaraksa membayar uang kontrakan tanpa memberitahunya terlebih dahulu."Dia benar-benar mencukupi kebutuhanku. Kemarin, kartu kredit dan sekarang kontrakan terbayar lunas. Hah, mungkin saja, jika hubunganku benar-benar terjadi. Dia adalah lelaki yang tepat untuk aku kenalkan pada mama dan papa. Lelaki yang bisa melebihi duda tua bangka itu!" ujar Natasha menggeretakkan giginya. Seakan terasa masih menyimpan dendam saat teringat dengan orang yang membuatnya h
Tapi, senyum itu memudar tatkala sang paman duduk berjongkok menatap kearah sepeda listrik yang tergeletak."Bukankah itu sepeda kesayangannya Karren?" tanya natasha seorang diri. Berjalan melangkah menghampiri om Angga yang seakan menyesali dengan apa yang telah terjadi."Kita belikan saja yang baru, Om!" Perkataan natasha seketika membuat sang paman terkejut mendengar. Di saat tanggal tua begini, bisa-bisanya natasha menyarankan untuk membelikan sepeda baru untuk putrinya. Huft! Sungguh, saran yang tidak masuk di akal."Kamu itu bukannya membantu om, malah menekan om. Apa kamu lupa kalo sekarang ini tanggal tua?" gerutu om Angga yang mulai lupa dengan suasana menyesakkan."Siapa yang menekan sih, Om? Om itu lucu, deh!" goda Natasha seraya ikut duduk berjongkok di samping pamannya."Om, itu tidak sekaya papa kamu. Yang bisa membeli barang semaunya sendiri. Om itu sekarang ...," kata om Angga terhenti."Natasha tau! Dan kebetulan, Natasha sudah gajian. Natasha yang akan bayar!""Tapi
Beberapa chat Natasha yang membuat Darren mulai penasaran."Membutuhkannya? Apa dia dalam masalah?"Sesaat, rasa kasihan mulai menghantuinya. Alih-alih tak mau berpikir negatif thinking, Darren mencoba menghubungi natasha.Namun, tak ada jawaban.Bibirnya mengecap. Jemari tangannya dengan cepat mengotak-atik layar pipih yang berada dalam genggamannya. Mencoba menstranfer uang ke dalam rekening milik sopir pribadinya itu."Semoga saja belum terlambat," harap Darren sembari meletakkan ponselnya tepat di atas meja.**** Natasha mengatur nafasnya secara perlahan. Senyum manisnya mengembang seraya menatap sang surya yang mulai tenggelam. "Sudah lama aku tak melihat sunset di sini," gumam Natasha menghirup udara segar. Sejenak, senyum manisnya memudar tatkala mengingat para sahabatnya."Huft! Tak seharusnya aku merindukan mereka yang pergi meninggalkanku," sesal natasha."Bagaimana kabar kamu, Natasha Amora!" Natasha berbalik. Senyumnya mengembang saat melihat sahabat dekatnya berdiri t
Pak Bara, meja 21 itu sudah terbayar lunas, Pak. Ini struknya!" Perkataan kasir kembali terngiang di telinganya."Siapa yang membayarnya, ya?"Bara terdiam sejenak, dua bola matanya mengerling ketika melihat tanda tangan yang sangat familiar terlukis dalam struk pembayarannya tersebut."Kayak tanda tangannya tante Ayu," kata Bara mendongak. Sudut matanya mengerut. Memandang ke arah sekelompok tante-tante yang terlihat serius dalam berdiskusi."Ternyata benar, tante ayu yang membayar ini semua," ucap Bara tersenyum senang."Semua ini karena cacha. Well, di saat Darren tak berpihak membantuku hari ini. Justru, Cachalah yang membantuku hari ini. Sungguh, hari ini benar-benar hari keberuntunganku!" ucap Bara melangkah pergi.Natasha tersenyum tipis. Mencoba menjadi pendengar setia meski telinganya mulai sakit dengan omongan pedas yang terlontar dari mulut Laura. "Kamu itu cantik, pintar dan bisa terbilang jauh lebih sempurna dariku. Seharusnya, di saat kamu terpuruk seperti ini. Kamu menc