Share

BAB 3

Tamparan keras mendarat di pipi halus Rendi, membekaskan rona merah yang sedikit perih. “Lo nyangkal juga kalau gue bilangin bego. Berarti lo itu sejenis ma-”

“DIEM RENDI!”

Air mata Syara tak terbendung lagi. Tetesan hujan di pelupuk matanya sudah siap turun membasahi pipi. Ia mewek. “Iya, aku memang pura-pura sok baik. Iya, aku memang bego. Iya, aku juga suka sama Rendi tapi bukan berarti Rendi bisa sesukanya nuduh yang nggak-nggak tentang pertemanan aku.”

Rendi terdiam. Jika tamparan keras bisa ia balas dengan perkataan yang lebih menyakitkan. Tapi, bagaimana jika itu tangisan seorang cewek? Rendi tak tahu apa yang harus diperbuat. Dadanya terasa sesak dan sakit.

“Aku nggak akan maksa Rendi, kok. Makasih ya jawabannya.” lirih Syara berusaha menahan suaranya yang bergetar. “Aku pulang lebih dahulu, Rendi.” pamitnya sambil setengah berlari menjauhi cowok itu.

Gue nggak salah. Tegas Rendi dalam hati. Ia berjalan ke parkiran dengan tangan mengepal kuat.

***

Sesampainya di rumah, Syara segera membasuh wajahnya yang sembab usai menunjukkan kecengengannya di depan Rendi tadi. Lalu ia merogoh tasnya, meraih ponsel. Ia membuka grup chat. Jemarinya lincah menari di atas keypad ponselnya.

Syara: Mira, karina, aku minta maaf yaa. Aku sebenernya pengin banget ikutan sama kalian minggu nanti tapi aku nggak punya partner. Have fun ya kencannya nanti.. Sekali lagi maaf..

Tak sampai semenit kemudian Karina muncul.

Karina: Iya. Nggak masalah kok kalau lo nggak ikut. Rencana kami tetep jalan. Dari awal juga gue udah yakin lo bingung kan mau ngajak siapa. Hahahaa

Hancur hati Syara membacanya. Balasan Karina itu membuatnya terluka perih walau tak berdarah.

Tak lama, pesan masuk dari Mira menyusul.

Mira: Ya udah deh kami aja yang jalan.

Mira: Ini grup masih penting nggak sih?

Karina: Menurut lo? Kalau gue sih no. Udah banyak sarang laba sama belatungnya nih grup. Delete aja. Wkwkwk

Mira: Oke gue bubarin

Mira left group

Karina left group

Syara tak sanggup mengatakan apa pun. Lidahnya mendadak kelu. Ia teringat sesuatu. Benarkah yang Rendi katakan? Ini memang bukan pertemanan yang sehat. Ini pertemanan palsu. Toxic.

Syara mencari cokelat di dalam kulkas dan mengeluarkan beberapa. Ia memakannya dengan lahap. Ini adalah cara terampuh Syara jika sedang sedih yaitu memakan cokelat yang ia yakini bisa membuatnya tenang. Syara menangis sejadi-jadinya, meluapkan segala amarahnya. Ia tak peduli, toh, di rumah ini hanya ada dirinya sendiri.

***

Padahal kejadiannya sudah lewat beberapa jam yang lalu tapi mengapa perasaannya masih tak tenang? Sedari tadi Rendi hanya membolak-balikkan lembaran buku catatan fisika Rasthi. Ia menunduk dan menatap nanar helaian kertas buku itu.

Rasthi menepuk bahu Rendi, membuatnya tersadar dari lamunan. “Udah belum, Kak? Sampai udah habis enam tusuk pun sate kerangnya. Belum nemu juga jawabannya?”

“Gue baru inget,”

“Nah... rumusnya, kan?” tebak Rasthi dengan girang sambil mengacungkan telunjuknya sesenti di depan hidung mancungnya Rendi.

Rendi menepis telunjuk adiknya itu. “Inget kalau gue belum ada makan satenya setusuk pun. Perut gue keroncongan.” celetuk Rendi yang langsung meninggalkan adiknya yang terbengong dungu itu.

“SIALAN! JATAH SATE KAK RENDI UDAH HABIS GUE TELAN! ITU TINGGAL BUAT MAMA!! JANGAN DIMAKAAN!!

Rendi berjalan ke lantai bawah rumahnya dan duduk di kursi makan. Ia meneguk air putih sebagai bentuk ikhtiarnya melenyapkan bayang-bayang rasa berdosa. Rendi tengah menjernihkan pikirannya.

Mamanya baru keluar kamar, mau minum juga. “Kenapa lagi adikmu itu, Ren? Kok, teriak-teriak?”

Rendi mengangkat kedua bahunya. “Kesambet setan Rock n Roll kali, Ma.”

Vita hanya menggeleng mendengar jawaban asal anaknya itu. “Ren, Mama minta tolong, ya. Mama milih tetap jadi single parent gini demi kalian. Jadi Mama minta tolong sama kamu, tolong jagain Rasthi, temenin dia kalau kalian di lagi rumah. Main bareng, ngobrol, bila perlu boleh ajak temen-temen Rendi main ke sini biar rame. Jangan suka berantem ya, Nak. Bisakan gantiin posisi Papa untuk adikmu?” pesan Vita mendadak serius.

Rendi meneguk ludah. Ia hanya mengangguk seadanya.

Vita membelai puncak kepala putranya itu dan tersenyum senang. “Minta maaf sama adikmu sana kalau malam ini kamu nggak bisa ngajarin dia, ya.”

Minta maaf? Dalam kamus kehidupan Rendi, frasa itu tak terdeteksi. Sama sekali tak terdeteksi.

“Ma, gimana cara memperbaiki keadaan walaupun kita nggak ngelakuin kesalahan?” tanya Rendi datar menyamarkan kekepoannya.

“Cukup bilang maaf, selesai.”

“Hah?” kejut Rendi terheran-heran. Demi Tuan Crab, si kepiting kikir beranakkan paus. Entahlah, aing tak paham.

“Jangan lupa pakai senyum. Biar orang itu tau, kita ada niatan ikhlas memperbaiki keadaan, ya walaupun bukan kita yang salah. Inget! Nggak selamanya yang bilang maaf lebih dahulu itu yang salah, kok.” tambah Vita. “Udah ya, Mama mau tidur dulu. Jangan tidur kemalaman, Ren.”

Wanita paruh baya itu pergi melintasi putranya, masuk ke kamar dan menutup pintunya.

Rendi bergeming. Bikin mulas saja memikirkan kata ‘maaf’ apalagi ‘pakai senyum’. Itu sangat susah untuk dilakukan oleh seorang Rendi Haris Sandi. Lagi pula, dalam kasus ini ia yakin seribu persen tak bersalah. Jadi kalau begitu, tak perlu repot melakukan hal yang baginya mustahil itu, kan? Nah, itu baru gampang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status