Share

BAB 2

Suasana kantin dalam hitungan menit sudah penuh sesak. Apa hari ini hari tanpa sarapan di rumah sedunia? Sebetulnya Syara tak terlalu lapar karena sebelum berangkat sekolah ia sempat sarapan di rumah. Tapi kedua temannya itu mengeluh lapar karena bangun kesiangan dan belum ada makan secuil apa pun. Terpaksa Syara dengan sabar ikut berbaris dalam antrean langka ini demi mendapat jatah lontong sayur Mbak Oki.

Mira dan Karina yang gesit mengamankan tempat untuk mereka makan, menyuruh Syara saja yang pergi memesan makanannya. Sesekali Syara menoleh ke arah Mira dan Karina dari baris antrean, tak jarang keduanya cekikikan bahkan saling melepas tawa terpingkal-pingkalnya. Pertemanan yang hangat, tapi mengapa saat Syara bergabung, kehangatan itu justru pudar?

Lontong sayur Mbak Oki sudah siap dinikmati. Syara berjalan menuju meja yang telah diamankan Mira dan Karina tadi. Saking fokus dan berhati-hatinya Syara membawakan nampan berisi dua mangkuk lontong itu, ia sampai tak sadar jika baru saja melewati Rendi and The Gang.

Karena tak kebagian tempat kosong, Rendi sekawan memilih membeli beberapa roti dan kue basah saja, dibungkus plastik lalu makan di kelas. Aldo merajuk tak jadi makan bakso karena kejauhan kalau harus makan di kelas. Tapi di kantin juga tidak ada tempat. Kalau sudah begini, kerjaan Heni dan Lukman menyeretnya yang seperti anak kecil itu kembali ke kelas. “TIDAAAKK!! BAKSOKUU!!”

Memang betul kelaparan, pikir Syara, melihat kedua temannya itu makan dengan lahapnya. Syara tak memesan apa pun untuk ia makan. Ia hanya memainkan ponselnya menunggu mereka sampai selesai makan.

“Wuuh kenyangnya, thanks God!” pekik Mira.

“Hah, kenyang juga perut gue. Enak bener nih lontong.” sambung Karina.

“Syukurlah.” kata Syara menimpali.

Mira dan Karina menoleh ke Syara bersamaan. Syara hanya tersenyum kecil.

“Oh iya, gue sama Karina ada buat rencana, nih. Hari Minggu nanti mau nge-date bareng, gitu. Lo ikutan jugalah! Gimana?” pancing Mira.

“Aku kan nggak punya,”

“Lo masih punya cukup waktu kok untuk nyari siapa yang mau lo jadiin partner nanti,” potong Karina. “Nggak mesti pacar juga. Kalau lo punya gebetan atau orang yang disuka, ya lo ajak aja orang itu.”

“I-iya deh. Nanti aku coba.” jawab Syara tergagap.

Bel masuk berbunyi. Mereka segera berlarian kecil memasuki kelas masing-masing. Syara tersadar, rasanya seperti Deja vu, tertipu yang kesekian kalinya. Mira dan Karina lagi-lagi tak mengganti uangnya yang membayar makanan mereka tadi. Bisa saja Syara menagihnya sekarang pada Mira yang duduk di sampingnya tapi entahlah. Syara melepas kesempatan itu begitu saja dan kembali diam. Apa selama ini ia sebenarnya hanya dimanfaatkan oleh kedua orang berkedok temannya itu?

Bel pulang berbunyi keras. Syara menghela napas panjang, kembali teringat dengan rencana Mia dan Karina tadi. Ia bingung harus mengajak siapa. Apa Rendi aja, ya?

“Gue duluan.” pamit Mira.

“Hm. Hati-hati ya, Mira.” ucap Syara lembut.

Syara memasukkan buku dan alat tulisnya ke dalam tas. Ia memutuskan untuk menunggu saat seperti biasa. Ketika sekolah sudah mulai sepi, ia akan menemui Rendi di parkiran.

“Rendi!” panggil Syara tergopoh mengejarnya.

Rendi menghentikan langkahnya. “Lo lebih dahulu aja, Man!” suruhnya pada Lukman.

“Oke.” Lukman mengiakan dan meninggalkannya.

“Mau apa lo?” ketus Rendi saat Syara sudah di hadapannya. “Mau cari muka lagi sama gue?” tudingnya dengan sikap dingin tak berperasaan.

“Kok, Rendi ngomongnya gitu?” Syara meradang mendengarnya. “A-aku mau ngajak Rendi jalan Hari Minggu nanti. Rendi mau, nggak?” tanyanya penuh harap.

“Nggak.”

“Kok, cepat kali bilang ‘nggak-nya’?” lirih Syara. “Sekali ini aja, please Rendi.” mohon Syara yang pantang mundur.

“Lo budek? Sekali gue bilang nggak, ya, nggak! Beneran cari muka lo, ya?!” perjelas Rendi dengan meninggikan volume suaranya.

Syara refleks memegangi lengan jaket Rendi. “Please, aku udah terlanjur terima ajakan Mira sama Karina. Aku nggak punya pacar dan kata mereka aku bisa bawa siapa aja yang mau aku jadiin partner. Aku suka sama Rendi jadi aku maunya Rendi yang jadi partnerku nanti.” terang Syara begitu jujur.

Rendi mematung. Apa yang barusan ia dengar? Pengakuan, kah? Kalau iya, ini bukan situasi yang asing lagi baginya. Bayangkan saja, sudah dua kali ia ditembak oleh siswi sekolah ini dalam kurun waktu satu setengah tahun di bangku SMA. Mulai dari teman seangkatan sampai kakak kelas. Berbekal pengalaman itu, tentu tak sulit bagi Rendi jika sekarang kembali memainkan perannya sebagai cowok berhati batu. Menolak bahkan tak sungkan mengatai seseorang yang baru mengaku suka padanya itu. Lantas, apakah sekarang ia ragu?

“Lo bilang apa tadi? Lo suka sama gue?” Rendi memunculkan senyum evil-nya. “Itu urusan lo. Jangan minta gue ikut campur dalam urusan lo itu. Karena gue nggak pernah sekalipun punya pikiran bisa suka sama lo!”

Syara kehabisan kata. Giliran ia yang mematung.

Rendi menepis jemari Syara dari lengan jaketnya. “Lo itu pura-pura sok baik atau sebetulnya memang bego, sih?”

“Hah? Maksud Rendi?” bingung Syara.

“Mereka itu cuma jadi temen palsu lo. Selama ini mereka cuma mau uang lo, nyuruh-nyuruh lo, manfaatin lo untuk kepentingan mereka. Kalau lo nyangkal gue bilang lo itu cuma pura-pura baik berarti lo itu memang bego. Udah jelas diperalat dengan kedok teman, masih aja-”

PLAAK!!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status