Share

Chapter 2

Dibawah hujan deras Ratih berlatih dengan keras, dipukulnya berkali-kali samsak buatannya dari campuran pasir halus yang dibalut kumpulan kain. Samsak itu ia kaitkan dengan dahan pohon, bunyi pukulan dan kecipak air saling bersahutan.

Keringatnya meluruh bersamaan dengan air hujan yang mengguyur tubuhnya, Ratih tidak terlalu terlihat karena hanya lentera kecil dari atas yang menyinari kegiatannya.

Bugh, bugh, bugh. Bunyi hantaman meredam bercampur air hujan.

"Argh! Hahh, hah!" Nafas Ratih tak beraturan, ia berhenti memukul dan memeluk erat samsak, matanya terpejam menikmati aliran air hujan yang dingin ditubuhnya.

Buku-buku tangannya lecet berdarah, meski lelah Ratih paksa untuk tetap terjaga di sana. Dinginnya hujan malam sedikit membuatnya menggigil, dirasa cukup berlatih ia kembali naik ke rumah pohon dengan basah kuyup.

Tiap langkah nya meninggalkan bercak air di lantai, suara hujan diluar meramaikan sunyinya ruangan kecil ini. Mengambil handuk kecil dan mengeringkan dirinya, Ratih melepaskan seragam beladiri itu dan menggantinya dengan kaos.

"Tuhan ...," panggilnya lirih, Ratih memeras pakaian basahnya di luar dan menjemurnya di jendela.

"Sepertinya aku akan tidur disini untuk malam ini."

Mengambil ponselnya di meja, Ratih baru sadar jika sudah tengah malam pukul 11.48 yang artinya hampir 5 jam an ia berlatih sejak Maghrib tadi. Berjalan pelan menuju ranjang kecil, ia menyamankan posisinya untuk rebahan.

Ratih membuka grub chat di aplikasi hijau.

Tiga Dara Menggoda (3 messages)

Revalina : Dimanakah Gina yang pintar dan baik hati itu?

Regina : Memuji jika ada maunya, dasar bermuka dua!

Revalina : Iya bermuka dua saat berkaca, hahaha.

Weningratih : PR kalian sudah selesai?

Regina : Oh lihatlah, sekarang ada 5 muka disini!

Revalina : Ayolah, guru matematika itu galak, jangan sampai kita didepak.

Regina mengirimkan foto.

Regina : Dimana rasa terimakasih mu wahai kisanak?

Revalina : Terimakasih banyak yang mulia!

Weningratih : Terimakasih.

Regina : Pastikan jawaban kalian dibedakan, aku tidak mau dihukum karena ketahuan memberi contekan ya!

Revalina : Mudah! Tinggal mengubah rumusnya saja!

Weningratih : Akan lebih parah, bisa jadi hasilnya berbeda. Bu Anjar orang yang sangat teliti, kau pasti akan di interogasi.

Regina : Benar! Hah, asal kalian tahu ya, wanita itu lebih galak daripada guru BK.

Revalina : Ya, ya ya. Semoga Bu Anjar tidak masuk kelas, aameen!

Weningratih & Regina : Aameen!

Regina : Sedikit mustahil tapi aku aameen kan!

Revalina : Sebentar, aku memiliki sesuatu untuk kalian.

Revalina mengirimkan foto.

Revalina : Sebenarnya aku tak sengaja melihatnya saat penasaran dengan adik kelas yang tampan itu, aku menemukan ini.

Weningratih : Maksudmu? Wali kelasnya?

Revalina : Ya benar! Haha, sulit mendapatkan foto si tampan, karena itu aku mencarinya di foto kelas bersama.

Regina : Lalu apa? Aku bingung!

Revalina : Astaga, lihatlah dengan cermat dahi kanan wali kelas itu, yang mulia!

Weningratih : Ini, sungguh?

Ratih menatap foto yang Reva kirimkan di ponselnya, ia perbesar bagian dahi pria itu dan memperjelas gambarnya. Benar dugaannya, tato naga itu terlihat jelas di sana, meski warnanya samar bentuknya begitu ketara.

Regina : Haruskah kita meneliti semua guru dan karyawan di sekolah?

Revalina : Harus! Ini akan membawa kita menemukan ujung benang merah yang kusut!

Weningratih : Setelah pulang sekolah besok akan ku ajak kalian ke suatu tempat, mau?

Revalina : Ayo ayo ayo! Aku tidak sabar, tempat apa? Bukan rumah kosong kan?

Regina : Dasar penakut.

Revalina : Dasar pemberani!

Regina : Dasar cerewet!

Revalina : Cermin di mana cermin?

Weningratih : Ke rumah pohon.

Regina : Wah! Yang benar saja? Punya siapa?

Revalina : Jangan bilang kita akan ke tempat rekreasi.

Weningratih : Lihat saja besok, aku tidur dulu.

Revalina : Ya, semoga tidurmu nyenyak! Aku akan datang menghiasi mimpi indah mu!

Regina : Selama tidur Ratih, ingatlah bahwa kau tidak sendirian! Kami berdua akan selalu menemani mu.

Regina : Jangan biarkan Reva merusak mimpi indah mu! Usir saja saat kau melihatnya di sana!

Revalina : Gina, awas saja. Akan ku berikan foto aib mu kepada Zidan!

Weningratih : Terimakasih, sampai jumpa kalian.

Ratih keluar dari aplikasi hijau itu walau Gina dan Reva masih saling bertukar pesan, berlalu menggulir layar mencari jam dan mengatur alarm, pukul 4 pagi sepertinya waktu yang pas, ia akan membuat PR nya nanti.

Ditaruhnya ponsel itu di meja kecil dan bergerak mematikan obor, Ratih hanya menyisakan satu lentera kecil sebagai penerangan. Selimut tipis membalut tubuhnya, hujan di luar masih deras meski sudah tidak ada petir yang bergemuruh riuh, menyisakan suara kala air-air itu menyentuh atap dan dedaunan.

Ratih masih terjaga dengan mata yang terpejam, dirinya tidak bisa tidur sejak tadi. Pikirannya kemana-mana, berkecamuk mengaduk memori. Suara tokek dari jauh terdengar samar, hujan masih setia menyirami bumi.

"Tuhan, peluk aku ..., aku tidak bisa tidur dengan nyenyak."

Memeluk dirinya sendiri dengan erat, Ratih meringkuk memepet dinding. Gadis itu menangis dalam diam, bahunya bergetar kecil dengan tangannya yang memeluk erat selimut.

Bagaimanapun juga Ratih masih sedih, bayangan sang ibu yang setiap hari menemaninya, memberinya hadiah setiap ia mendapatkan juara kelas, memasakkan makanan untuknya, mencium puncak kepalanya sebelum tidur, mengajarkan apapun kepadanya, semuanya masuk berdesakan memenuhi pikiran.

Ratih tertidur karena lelah menangis, Tuhan membuatnya tidur sebagai istirahat setelah kesedihan yang mendalam. Menangis itu melelahkan, perasaan dan pikiran bertabrakan keluar menjadi air mata. Pikiran memutar ingatan, perasaan bereaksi dengan empati.

Fajar pertama menyingsing dari arah timur, guratan cahaya begitu terlihat indah dari kejauhan. Cahaya putih nan suci menyinari langit yang masih bersih tanpa awan, Ratih terbangun dengan perasaan lega.

"Em, jam setengah 5? Kenapa alarmnya tidak terdengar," gumam Ratih serak, matanya masih mengantuk menatap ponselnya.

Menguap kecil dan menutupinya dengan punggung tangan, Ratih mengucek matanya sebentar. Mata cantik itu berkedip-kedip menyesuaikan pandangan, lenteranya sudah mati ia hanya bisa melihat yang terkena cahaya ponselnya.

Ratih bangun berdiri dan meregangkan otot-otot tubuhnya, ia menggunakan ponselnya untuk penerangan. Dibereskan nya tempat tidur, melipat selimut, menata bantalnya dan berlalu mengambil seragam di jendela.

"Masih basah," gumam Ratih memasukkan seragam itu ke keresek berlalu mematikan senter ponsel dan membawanya keluar.

Ratih turun ke bawah, pandangannya tertuju ke arah samsak buatannya, sedikit heran karena samsak itu rusak parah.

"Sekeras itu kah?" tanyanya heran.

Disentuhnya bagian bagian yang robek, ia baru menyadari jika tangannya lecet, meski sudah mengering sebagian tetap saja rasa perihnya belum hilang.

"Astaga ...."

Ratih berjalan pulang ke rumah, langit masih sedikit gelap, sinar matahari pagi belum terlihat dengan jelas. Jalanan begitu becek sisa hujan semalam menimbulkan suara kecipak air tiap kakinya melangkah. Udara pagi yang dingin ditambah kabut tipis sedikit menghalangi pandangannya.

Sampai di rumah Ratih bergegas ke kamar mandi mencuci kakinya, sekalian mencuci seragamnya dan menjemurnya di teras belakang. Membersihkan jejaknya dengan pel saat masuk tadi, ia dapati pintu kamarnya terbuka tidak dikunci.

"Apa yang? Apa ini?" monolognya menemukan kalung yang tergeletak dilantai kamarnya.

Kalung emas putih dengan bandul berbentuk hati itu tampak begitu indah, ia seperti pernah melihatnya, tapi dimana? tanyanya dalam hati.

Netranya memperhatikan ruang kamarnya, tidak ada yang hilang hanya saja Ratih ingat barang-barangnya bergeser tidak sesuai tempatnya semula.

"Maling di tempat orang miskin itu rugi."

Bergegas mencari buku matematika dan menyelesaikan tugasnya, Ratih mengerjakannya sendiri bukan hasil contekan dari Gina semalam. Ia paham betul, menyontek hanya akan membuatnya menjadi pemalas karena ingin hasil tanpa usaha.

"Akhirnya selesai, terimakasih Tuhan telah melancarkan otakku."

***

"Yang ku tau naga itu melambangkan kekuatan dan kekuasaan, dia kan menyemburkan api dari mulutnya."

Mereka bertiga sedang duduk di kelas menunggu jam pelajaran masuk, Gina dan Ratih mendengarkan pendapat Reva yang bersemangat sejak tadi.

"Tapi ya, api yang dikeluarkannya itu berbahaya jika tidak digunakan untuk kebaikan, itu bisa membakar desa bahkan hutan!" Reva menjelaskan pendapat nya, tadi pagi sebelum berangkat gadis itu mencari-cari tahu tentang perdebatannya dengan Gina semalam.

"Itu benar! Tapi sepertinya naga yang ini jahat, apinya membakar asa kehidupan."

Reva dan Ratih terdiam, benar apa yang Gina katakan. Asa kehidupan Ratih sudah terbakar habis, menyisakan serpihan abu dalam jiwanya yang kemudian mengotori air jernih pikirannya.

Kelas pertama matematika sudah di mulai, semuanya mengerjakan PR dan tidak ada hukuman untuk hari ini. Bu Anjar terlihat lebih bahagia dari sebelumnya, wajahnya tidak dingin seperti biasa.

"Do'a kita tertolak, padahal kita anak baik," bisik Gina sedih.

"Tapi sebagai gantinya Bu Anjar terlihat lebih manusiawi," sahut Reva berbisik membalas.

"Kau benar, baru kali ini aku merasa aman diajar olehnya."

"Ya, biasanya kau sampai berkeringat dingin."

Ratih yang duduk sendirian dibelakang hanya diam, apa yang ke-dua temannya lihat tak seperti yang ia lihat. Dari sini Ratih menduga Bu Anjar bahagia seperti ketiban durian, matanya berkilat saat menatap layar ponselnya.

"Baiklah, sekarang kita masuk ke materi selanjutnya."

Suara Bu Anjar terdengar merdu, namun menakutkan karena bergema. Ratih tidak bisa tenang sedari tadi, ia memutuskan untuk izin ke toilet, dan yang mengherankan adalah Bu Anjar memperbolehkannya, biasanya tidak boleh kecuali buang air atau mual.

Ratih berlalu keluar dari kelas, ia menghela nafas lega. Sepanjang berjalan di koridor sekolah terasa nyaman, begitu sepi karena masih jam pembelajaran. Gadis itu masuk ke toilet perempuan di sana kosong tidak ada siapapun, ia masuk ke toilet paling pojok dan duduk di kloset setelah menutup pintunya.

"Apalagi ini?" tanyanya lagi, Ratih melihat ponselnya di sana ada kasus yang baru saja terjadi, motifnya sama yaitu pemerkosaan di hutan, korbannya juga merupakan seorang janda.

"Parah, bahkan polisi tidak mampu mengungkap pelakunya! Bodoh sekali mereka!" geramnya ketika membaca kelanjutan berita itu, kasus itu dibiarkan begitu saja seolah bukan hal yang penting untuk ditangani.

Terdengar suara pintu dibuka dan langkah seseorang masuk, Ratih diam mendengarkan telinganya ia pasang lebar-lebar.

"Ya, aku sudah mendapatkan datanya," ucap orang itu, sepertinya sedang berbicara di telepon.

Lawan bicaranya tidak terdengar begitu jelas, hanya seperti gumaman bernada. Ratih masih diam sembari mengangkat kakinya ke atas, agar tidak ketahuan jika disini ada orang lain.

"Benar, putrinya bersekolah di sini. Aku lupa namanya, sebentar."

Ada jeda sejenak, Ratih ikut menebak penasaran dari dalam sana.

"Weningratih, ya itu namanya. Gadis itu kelas 12 MIPA 3."

Ratih yang di dalam toilet terdiam terpaku itu adalah dirinya, hanya ada satu Weningratih di kelas 12 MIPA 3. Putrinya? Berarti mereka sedang membicarakan ibuku, batin Ratih.

"Aku tidak terlalu kenal dengan gadis itu, dia terlalu dingin dan tertutup sekarang."

Disahut dengan gumaman yang tidak terlalu jelas dari tempat Ratih mendengar, ia sungguh penasaran apa yang mereka bicarakan.

"Akan ku coba, berhasil tidaknya aku sudah berusaha."

"Ya, kirimkan saja uangnya ke nomor rekening ku. Apa? Oh iya, oke baiklah, tentu dengan senang hati. Terimakasih kembali!"

Percakapan mereka sudah berakhir, kini Ratih bingung haruskah ia keluar dan langsung bertanya atau tetap menunggu dan diam di sini.

"Ratih, Ratih ...., kasihan sekali hidup mu, selalu dikejar-kejar kematian." Meski suara seseorang itu pelan Ratih masih bisa mendengarnya.

Ratih mendekat ke sela-sela pintu, ia mengintip dari sana dan melihat gadis yang sedang bercermin membenarkan bulu mata palsunya. Ia tidak kenal dengan gadis itu siapa kiranya, haruskah kenalan sekarang? batin Ratih bimbang.

"Ah, sudah ganti pelajaran, aku harus cepat," ucap gadis itu lagi, bel tanda pembelajaran berganti barusan berbunyi.

Setelah gadis itu pergi dari sana barulah Ratih keluar dan mendekati wastafel tadi, tidak ada apapun yang mencurigakan. Ia mencuci tangan dan wajahnya, sesudahnya kembali berjalan ke kelas.

***

"Sejak kapan ada rumah pohon sebagus ini di sini! Astaga, kenapa kau tidak memberitahuku sejak dulu! Aku pasti akan sering mampir ke rumahmu sebelum pulang!" Gina berseru senang, gadis itu memanjat tangga naik ke rumah pohon Ratih.

Saat ini Ratih mengajak Gina dan Reva ke rumah pohonnya, Gina terlihat sangat antusias sedangkan Reva masih mengitari sekeliling.

"Kau yakin ini aman? Tidak ada binatang buas disini kan?" tanya Reva memastikan, ia sedikit parno karena yang dirinya tahu setiap alam liar pasti ada hewan melata didalamnya.

"Aman, tidak pernah ada." Ratih menjawab biasa saja, selama ia berumah pohon di sini tak pernah ia temui binatang buas, mungkin hanya burung hantu yang bertengger di dahan pohon dan laba-laba menghiasi langit ruangan.

"Amanlah kalau begitu, ini apa?" tanya Reva, gadis itu memegang samsak buatannya yang masih rusak.

"Ah, cuma samsak."

"Hah? Samsak? Kenapa rusak? Kau yang menggunakannya?"

Ratih hanya menggeleng dan ikut Gina naik ke rumah pohon.

"Hei! Aku ikut!"

"Astaga licin sekali!" gerutu Reva, meski sedikit takut terjatuh ia tetap naik ke atas.

Gina sudah anteng rebahan dengan ponsel ditangannya, sedangkan Ratih menulis di pojokan.

"Kalian membosankan!" seru Reva, sejak tadi ia masuk tidak ada perbincangan apa pun semua saling diam di dunianya masing-masing.

Ratih melirik Reva, berjalan mendekatinya menyerahkan kertas yang sudah ia tulis sesuatu.

"Agar tidak bosan."

"Hm? Bukankah ini nama guru-guru kita?" tanya Reva yang membuat Gina mendekat penasaran.

Gina ikut melirik kertas itu, "Iya benar? Kenapa kau menuliskan nama mereka?"

Ratih mengeluarkan ponselnya memperhatikan beberapa gambar, ini adalah gambar yang ia temukan dari sosial media.

"Lihatlah mereka saling berkaitan, perhatikan ruangan sebagai latar belakangnya. Semuanya sama bukan? Hanya objeknya yang berbeda, jika dilihat-lihat ruangan ini seperti ruangan tertutup. Aku tidak bisa menemukan di website menggunakan gambarnya."

Gina dan Reva memperhatikan dengan cermat, di sana ada beberapa foto dengan latar tempat yang sama. Foto pertama berisi 1 gurunya dengan 4 orang asing, foto selanjutnya berisi 3 gurunya dengan 2 orang yang mereka ingat adalah pelaku tersangka kemarin.

"Astaga otakku tidak sampai, kau paham tidak?" ungkap Gina menoleh ke arah Reva.

"Sama, bisa saja ini kebetulan bukan?" sahut Reva.

"Sebentar, aku menemukan ini lagi." Ratih menunjukkan beberapa foto lagi, kali ini adalah foto orang-orang asing itu.

"Lihat, mereka semua memiliki tato kecil di dahi, kenapa tidak dibelakang telinga? Karena beda kasta, dahi untuk atasan dan belakang telinga untuk bawahan," jelas Ratih.

"Astaga aku semakin tidak paham!" kesal Gina.

"Begini maksudku, dahi untuk berpikir dan telinga untuk mendengar. Orang-orang ini atasan dan kemarin yang pelaku tersangka adalah bawahan."

Reva dan Gina tersentak mendengarnya, kesimpulan yang dibuat oleh Ratih sedikit tidak mereka pahami.

"Maksudmu? Orang-orang ini menyuruh untuk meng-anu ibumu?" tanya Gina setelahnya.

Ratih mengangguk sebagai jawaban, Reva masih terdiam mencerna hal ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status