Share

Chapter 8 - POV Ghanindra

“Manusia kali ini benar-benar merepotkan. Seharusnya, dia langsung saja meminta permohonan. Toh, ia tahu kalau masa hidupnya sudah tidak lama lagi.” Aku memperhatikan dari atap gedung tempat Rinjani bekerja.

“Percuma saja kamu meminta pertolongan. Karena tak ada siapapun yang dapat membantumu untuk lepas dari takdir yang sudah terjalin antara kita berdua.”

Yah, untuk sementara ini aku memutuskan untuk memperhatikan apa yang akan gadis itu lakukan. Sama seperti para mangsaku sebelumnya, ia sangat bertekad untuk bisa lepas dariku. Sampai-sampai dia mencari tahu apapun tentangku. Usaha yang tak pernah dilakukan oleh mangsa-mangsaku sebelumnya.

Walau tak bisa dipungkiri, hal itu karena bantuan dari leluhurnya. Siapa lagi kalau bukan wanita yang menyebabkan diriku terkurung di dalam gua. Tapi, semua itu jadi  membuatku sedikit tertarik. Aku jadi seperti hewan buas yang memainkan mangsanya sebelum benar-benar membunuhnya.

Tak terasa, bibirku terangkat membentuk sebuah seringai. Aku sudah tak ingat, kapan terakhir kali diriku merasa bersemangat seperti ini. tak apalah jika aku menunda eksekusinya sebentar. Siapa tahu, akan ada hal menarik yang akan terjadi kedepannya. Dan, kalaupun aku memangsanya sekarang, aku akan langsung kembali ke gua itu.

“Zaman cepat sekali berubah.”

Melihat banyak bangunan tinggi, kendaraan yang berlalu lalang disana-sini. terutama saat aku melihat benda pipih yang dimiliki tiap orang membuatku kagum dengan benda yang berhasil diciptakan oleh manusia.

Mereka bisa berkomunikasi tanpa harus bertemu dengan satu sama lain. Tak seperti dulu, yang harus menempuh perjalanan jauh hanya untuk menyampaikan informasi.

Malam menjelang, Rinjani bersama dengan teman perempuannya terlihat keluar dari gedung tempat mereka bekerja. Dari atap, aku tetap bisa mendengar percakapan mereka. Aku tahu, setelah ini mereka akan pergi kemana.

“Yakin, kamu mau nemenin aku sekarang?” Rinjani dan Sarah berdiri di depan pintu lobby.

“Ya iyalah. Siapa yang nggak panik kalau kamu sampai ngomong begitu?” Rinjani sempat bergumam kalau mungkin beberapa hari kedepan, yang tertinggal darinya hanya sebuah nama.

“Lagian, kamu juga kan belum tahu tempatnya.” Lanjut sarah.

“Makasi banget ya sar. Kamu emang sahabat aku yang paling baik.” Rinjani memeluk sahabatnya.

Mereka berdua segera menaiki kendaran roda empat yang berbahan dasar besi. Jika dibandingkan, kecepatannya sama. Bahkan bisa melebihi kecepatan kuda yang dipacu dengan cepat.

Malam semakin larut, ditambah suasanya mencekam dari hutan. Tapi, tak menghentikan langkah mereka menuju tempat yang diyakini sebagai manusia yang dapat membantu gadis itu untuk lepas dariku.

“Rin, kamu belum cerita sama aku. Memangnya apa yang sedang terjadi sih? Jangan bikin aku takut gini ah!” Sambil berkendara, Sarah terus memberondong Rinjani dengan serentetan pertanyaan.

Rinjani memainkan jari-jemarinya. Ia memperhitungkan, jika diceritakan apakah Sarah akan percaya dengan apa yang sedang ia hadapi?.

Brak…

Karena jalanan yang gelap, tak disangka ban mobil yang sedang mereka naiki masuk ke dalam lubang.

“Gimana Sar?” Rinjani ikut keluar dari mobil, mengikuti Sarah yang sedang mengecek kondisi mobilnya.

“Kayaknya nggak apa-apa.” jawabnya.

Walau ukuran lubangnya tidak terlalu besar, tetap saja dapat membuat jantung mereka berdua nyaris keluar dari tempatnya. Apalagi, suasana disekitar mereka berdua terbilang gelap, karena jalan sudah mulai memasuki area hutan. Ditambah, hanya ada mereka berdua di tempat itu. jika bukan disebut nekat, apalagi namanya?.

Rinjani memperhatikan lingkungan sekitar. Benar-benar sepi, tak ada satu orang pendudukpun yang lewat.

“Sepi banget.”

“Jelas aja. Secara, disini tuh hutan. Emang, siapa mau datang malam-malam kesini? Cuma kita!”

“Biasa aja dong jawabnya. Pake gas segala.” Goda Rinjani.

“Kenapa mobilnya, neng?” Suara dari seorang lelaki tua yang tiba-tiba berada di belakang mereka berdua. sontak, hal itu membuat mereka berdua terlonjak kaget.

“Astaga!” Rinjani tak bisa menahan teriakannya.

“MAMAA…!” Begitupun dengan Sarah, yang spontan memanggil nama orangtuanya.

Kedua gadis itu kompak memegang dadanya. Bukan tanpa alasan, mereka dikejutkan dengan suara lelaki yang tiba-tiba terdengar di telinga. Apalagi, sebelumnya tak ada tanda sedikitpun jika ada seseorang yang tengah berada di tempat itu.

“Sedang apa kalian di tempat ini? Sudah malam, sangat berbahaya. Apalagi kalian berdua hanya perempuan.” Ucap lelaki itu sambil memperhatian area sekitar.

“Kami mau pergi ke suatu tempat pak.” Dengan sopan, Rinjani menjawab. Sementara itu, Sarah mengerutkan keningnya.

"Mbah Marno?" Setelah beberapa saat berpikir, akhirnya Sarah berbicara.

“Neng kenal sama saya?”

“Bukan kenal lagi. Justru kami kesini buat ketemu sama mbah.” Sarah mengambil ponselnya, menyalahkan lampu sorot lalu mengarahkan ke wajahnya.

“Ini aku mbah. Yang waktu itu pernah minta tolong sama mbah biar bisa lepas dari pelet.” Gadis itu meyakinkan lagi.

“Kamu pernah dipelet? Kok nggak cerita sama aku?” Tentu saja, Rinjani sangat terkejut mendengar kenyataan itu.

“Bukan. Tapi sepupu aku.” Sarah mengkonfirmasi.

“Oh.”

“Oh, iya. Mbah ingat. Kalau begitu, gimana kalau kita lanjutkan obrolan ini di rumah mbah? Karena sepertinya, ada makhluk yang sedang memperhatikan kita.” Kedua mata mbah marno terlihat sedang memperhatikan sekitar. Tak hanya itu, raut wajahnya juga menunjukkan gelagat kegelisahan.

“Gimana kalau kita naik mobil aja, Mbah?” Tawar Sarah.

Tak berselang lama, mereka bertiga naik ke dalam mobil. Kebetulan, karena jarak rumahnya sudah dekat, sehingga hanya memerlukan waktu lima menit saja, mereka sudah sampai di tempat tujuan.

“Dari tadi kamu nggak ngomong sama sekali, Rin.”

“Nggak. Nggak kenapa-napa kok.” Rinjani memaksakan senyumnya.

Sementara itu, lelaki yang terkenal sebagai dukun sakti hanya menyipitkan kedua matanya, sambil terus memperhatikan area sekitar. Aku yakin, lelaki tua itu bisa merasakan kehadiranku.

“Ayo, masuk!” Dukun itu melangkahkan kakinya ke dalam, diikuti oleh Rinjani dan juga Sarah.

“Apa yang sudah kamu perbuat, sehingga kamu diikuti oleh makhluk berbahaya seperti dia?” Setelah mereka duduk, tanpa basa-basi, Mbah Marno mengajukan pertanyaan yang ditujukkan kepada Rinjani.

Rinjani tersenyum masam, “Ternyata Mbah sudah tahu ya?”

“Iya. Awalnya saya penasaran. Kenapa sampai ada makhluk seperti itu datang ke tempat ini. Ternyata ada seseorang yang sedang dia ikuti.”

Keheningan menyertai mereka bertiga dalam beberapa saat, “Namanya Ghanindra, Mbah tahu siapa dia?”

“Tunggu deh, aku nggak ngerti sama sekali. Coba kamu jelasin, Rin!” Sarah gemas, karena hanya ia yang tidak tahu kondisinya.

“Kamu ingat, gua tempat kita berteduh sewaktu menaiki gunung beberapa hari yang lalu?”

Sarah mengangguk.

“Itu adalah tempat makhluk itu dikurung. Dan kita sudah membuatnya bebas.”

“Apa?! Tapi, kenapa cuma kamu yang diikuti?”

“Karena akulah yang masuk terlebih dahulu ke tempat itu.”

Aku tahu. Sebagai seorang teman baik, sudah pasti perasaan Sarah saat ini bercampur aduk.  Tapi aku yakin, sebagian besar dari pikirannya merasa lega. Jika bukan karena Rinjani yang masuk lebih dulu, pasti ia lah yang akan menjadi targetku.

“Benar. Sekarang, temanmu ini sudah ditandai. Dan dia akan menjadi tumbalnya.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status