Setelah kepergok dalam kesalahpahaman tadi, Keisha dan Kenzie segera dibawa oleh Ibu ke ruang tamu. Wanita paruh baya tersebut kemudian memanggil Ayah dan anak keduanya—Aldi, untuk ikut dalam proses interogasi terhadap dua sejoli di hadapannya saat ini.
Tidak lupa juga Mama Yunita, mamanya Kenzie, yang langsung dijemput Aldi dari rumah sebelah. Ya, mereka ini memang tinggal tetanggaan.
“Sumpah, Bu! Ini tuh cuma salah paham aja," rengek Keisha dengan wajahnya yang memerah padam, menahan tangis karena takut dituduh telah berbuat hal yang tidak senonoh.
"Apa yang Ibu liat tuh, nggak seperti apa yang ada dipikiran Ibu sekarang!" lanjut Keisha.
Kenzie sendiri, duduk dengan tatapan datar, mencoba untuk tetap tenang. Sementara Keisha tampak gelisah di sampingnya, sesekali melemparkan pandangan takut ke arah orang-orang di sekelilingnya.
"Gimana Ibu nggak mikir yang aneh-aneh, kalau posisi Kenzie itu lagi dalam keadaan telanjang, Kei," sergah Ibu menepis ucapan Keisha.
“Setengah doang, Bu. Keisha baru buka beberapa kancingnya…,” Keisha mencoba membela diri.
“Sama aja!”
“Beda, Bu. Kalau Ibu bilangnya telanjang, kesannya—”
“KEISHA RIZKY ABRISAM!”
Keisha terdiam, matanya memperhatikan sang ibu yang mulai membentak dan memanggil namanya dengan keras. Suara gemuruh itu membuat air mata Keisha kembali menggenang di pelupuk mata, dan tubuhnya mulai gemetar tak karuan.
Namun tiba-tiba, di saat genting seperti ini, Keisha merasakan kehangatan dari genggaman tangan besar yang menggenggam tangannya dengan lembut. Rasanya seolah ada seseorang yang mencoba menenangkan dirinya di tengah badai emosi yang melanda.
Itu tangan Kenzie.
“Please, percaya sama aku …. Kejadian tadi tuh sama sekali bukan kayak gitu.” Keisha kembali mengulang pembelaannya sambil terisak dalam genggaman Kenzie.
"Kalau bukan kayak gitu, jadi apa?" tanya Aldi dengan menyilangkan tangannya. Ia berdiri tepat di belakang Ibu. "Petting? Atau lagi foreplay dulu?"
"Hah? Gila, ya enggaklah!"
"Terus apaan kalau bukan pemanasan?"
"YA BUKAN APA-APAAN!"
Keisha yang tadi menangis, kini jadi bersungut-sungut. Ia begitu kesal dengan tuduhan yang tak berdasar dari segala arah. Dan semakin geram ketika melihat Kenzie yang hanya diam membisu, tidak berusaha untuk ikut menjelaskan seperti dirinya sekarang.
"Ngomong dong, Bang!" ketus Keisha sambil menepis tangan Kenzie yang menggenggamnya, lalu mencubit pinggang Kenzie sambil kembali mendesis, "BANG!"
Sontak, Kenzie yang tengah melamun pun mengaduh kesakitan.
“Ugh!” Dia menoleh ke arah Keisha, lalu membalaskan dendam dengan langsung mencubit pipi bulat dan merah milik gadis tersebut.
"Arghhh! SAKIT! Kok nyubit sih, Bang!?"
“Kamu yang mulai duluan. Saya bela diri.”
“Ya Abang jangan diam aja dong!”
Akhirnya, pertengkaran pun tak bisa dihindari. Kenzie dan Keisha saling menyakiti tanpa ada yang mau mundur sedikit pun.
“Sudah, sudah! Kok malah kalian yang marah-marah?! Harusnya kami dong!?” tegur Ibu Keisha.
"Kayaknya mereka berdua memang punya hubungan khusus deh, San," ucap Mama kepada Ibu. "Mending langsung dinikahin aja nggak, sih?"
"HAH?!"
Bukan, bukan ibu Keisha yang terkejut berteriak. Tetapi Keisha sendiri.
“Keisha nggak mau!” pekik Keisha lagi.
Ia tidak pernah menduga bahwa mama Kenzie yang sudah dikenalnya selama belasan tahun itu, justru langsung menyarankan hal gila tadi.
“Ini tuh buat meminimalisir kemungkinan hamil di luar nikah, Kei …,” jelas Mama memberi pengertian. “Anak seumur kalian berdua itu cintanya masih bergejolak hebat. Jadi daripada kebobolan dan bikin buruk citra kedua keluarga, ya mending langsung dihalalin aja, kan?”
"NGGAK! Nggak mau!" Emosi Keisha kembali meradang. Dadanya kini naik turun seiring dengan tingkat emosionalnya yang tak beraturan.
"Aku bilang kan aku nggak ngapa-ngapain sama Bang Kenzie, Ma, Bu! Aku tadi tuh cuma ngegambar dada Bang Kenzie buat tugas kuliah doang. Nggak ada yang aneh-aneh!"
"Ngegambar di tubuhnya Kenzie, maksud kamu?" tanya Ibu yang masih saja tak percaya. "Sejak kapan kamu ada mata kuliah tentang per-tatoan?"
“IBU!” Keisha memekik, lalu kembali beralih pada Kenzie. “Bang! Ngomong, ih! Emang kamu mau nikah sama aku?!”
Kenzie pun mengangguk cepat. Sorot matanya tertuju langsung pada sang Mama. “Jadi gini, Ma—"
"Menurut Ayah, gimana?" Ibu memotong ucapan Kenzie dengan tanpa merasa bersalah. "Apa kita harus menikahkannya bulan ini? Atau ... minggu depan aja biar kita semua bisa tenang?"
Tatapan penuh harap ditujukan Keisha kepada sang ayah, sosok yang selalu memberinya kekuatan. Dia yakin ayahnya akan berpikir dengan logika.
"Hm ...." Ayah mengeluarkan suara berat saat ia berdeham. Dia melirik Kenzie. “Jelaskan dulu, Nak.”
Keisha menghela napas, lega ada yang bersedia mendengarkan penjelasan tanpa prasangka apa pun. Dia pun melirik Kenzie, dan pria itu pun meliriknya sesaat.
“Saya ….” Kenzie melirik ayah Keisha, lalu menautkan alis, seperti melihat sesuatu yang aneh sebelum akhirnya menghela napas. “Saya rasa semuanya sudah jelas, Om. Saya tidak ada pembelaan.”
“LOH!?” Keisha melongo. Tak sedikit pun menyadari ada senyuman penuh arti yang sang ayah berikan kepada Kenzie. “Kok gitu, Bang!?”
“Tuh kan, benerrrr!” Aldi, kakak kedua Keisha, bertepuk tangan kegirangan.
Ibu Keisha juga menimpali, “Ibu bilang juga apa!”
“Udah nikahin aja, Bu, nikahin! Kebetulan Aldi punya kenalan penghulu, nih!”
Kegaduhan pun terus terdengar di sana-sini. Mereka saling sahut menyahut dengan antusias atas jawaban Kenzie yang seolah mengkonfirmasi kejadian tersebut. Sungguh, mereka tampak seolah tengah bergembira di atas penderitaan Keisha.
"Oke." Ayah Keisha kembali melihat Kenzie dengan lekat. "Kamu sudah dengar sendiri kan, tentang kerisauan hati kami sebagai orang tua?"
"Iya, Om."
"Kamu paham, dan juga mengerti kan dengan maksud baik kami?"
"Iya, Om."
Ayah mengangguk sambil tersenyum lebar. "Kalau begitu, kapan kamu siap untuk menikahi Keisha?"
“Kapan pun saya siap, Om.”
"BANG!" Keisha semakin berteriak. “Gila, ya!?"
Kok malah jadi seperti ini!?
Meledak. Mungkin itulah gambaran yang paling pas untuk perasaan Keisha sekarang. Ia begitu marah karena Kenzie malah menyanggupi keinginan Ayah untuk menikahinya. Padahal jelas-jelas jika di antara mereka berdua itu hanyalah kesalahpahaman saja. Setelah keluarga mereka memutuskan untuk menikahkan keduanya, dan masing-masing lanjut pergi dengan kesibukan mereka, Keisha memberanikan diri untuk menemui Kenzie di rumahnya. "GIMANA SIH, BANG?!" jerit Keisha sambil melempar bantal ke arah tubuh Kenzie yang tengah duduk santai di atas tempat tidurnya. "Kenapa main iya-iya aja pas mereka nyaranin buat kita nikah?!" lanjut Keisha dengan masih bernada tinggi. "Udah nggak waras, ya?!" Berkali-kali memukul Kenzie untuk melampiaskan amarah, Keisha yang berujung lelah akhirnya memutuskan untuk membaringkan tubuh di atas kasur Kenzie. "Udah habis baterainya?" Sudut bibir kanan Kenzie terangkat membentuk senyum seringai. "Masih mau mukulin saya lagi?" "MASIH!" semprot Keisha, tapi kemudian dia
"Kawin kontrak?" ucap Keisha ketika ia membaca judulnya. "Maksudnya?" "Baca dulu sampai selesai baru bertanya." Keisha melirik Kenzie sambil mengambil surat itu. Ia bisa melihat Kenzie diam-diam tersenyum menyeringai. Wajahnya seolah tengah menyiratkan suatu hal yang mencurigakan, dan tentu saja membuat penasaran. “Abang nggak lagi kerjain aku, kan?” tanya Keisha penuh kecurigaan. Namun, Kenzie hanya menghela napas. “Baca, Keisha.” Keisha mendengus dan mulai membaca isi kontrak itu secara detail. Dahinya terus berkerut di setiap kalimat yang dibacanya. Memang tidak aneh, tapi kenapa dia merasa sedang dipermainkan Kenzie di sini. Perjanjian Pernikahan Kontrak Keisha - Kenzie. Pernikahan ini hanya berupa status semata. Oleh karena itu kedua belah pihak harus berakting di depan kedua orang tua. Tidak diperkenankan melakukan skinship jika salah satu di antara mereka tidak menginginkannya. Mereka juga bebas melakukan apa pun termasuk berpacaran, dengan catatan harus dilakukan s
Baru dua hari yang lalu Keisha menyesali dengan keputusan gila yang ia buat, hari ini sang ibu semakin membuatnya menyesal. Pagi-pagi sekali, Keisha dibangunkan oleh sang ibu karena kedatangan Kenzie di rumahnya. Hari ini ia memang ada kelas, tapi tidak biasanya laki-laki itu menjemput Keisha di rumah. Ralat. Bukan tidak biasanya, tapi tidak pernah! “Aneh banget, nih, orang tiba-tiba jemput,” gerutu Keisha ketika ia bersiap-siap. Kalau bukan karena dipaksa Ibu, Keisha mana mau semobil dengan Kenzie. Apa kata warga kampus nanti kalau tiba-tiba ia terlihat keluar dari mobil dosen dingin ini? Keisha bahkan menyembunyikan fakta kalau mereka bertetangga dan Kenzie adalah sahabat Reyhan, kakak pertamanya. Sibuk dengan pemikiran aneh dan ketakutannya, Keisha sampai tidak menyadari kalau mereka sudah memasuki area kampus. Ia baru sadar ketika mobil Kenzie melewati halte bus di depan Fakultas Seni. Keisha refleks berteriak, “Eh, Bang! Stop, stop! Sampe sini aja.” Keisha buru-buru melepa
“Baris kedua dari belakang.” Tiba-tiba, Kenzie menunjuk Keisha dan kedua temannya yang sontak menjadi pusat perhatian satu kelas. Pikiran Keisha yang beberapa detik lalu masih mengawang pun dipaksa masuk kembali. Ia merasakan Cindy terus menyenggol lengannya. “Ya, tiga mahasiswi di sana. Apa kalian sudah mengerti materi yang saya jelaskan hari ini?” lanjut Kenzie. “S-sudah, Pak,” Keisha menjawab refleks saking terkejutnya. “Kalau sudah, coba terangkan di depan,” sahutnya tegas seraya memberikan spidol papan tulis kepada Keisha. “Eh….” Keisha menelan ludahnya gugup. “M-maksudnya belum, Pak.” Kenzie menghela napasnya kasar dan mengetuk papan tulis dengan jarinya sebanyak dua kali. “Saya diam sejak tadi, bukan berarti saya tidak mendengar,” sambungnya membuat Keisha dan dua temannya menutup mulut rapat-rapat. “Dengarkan baik-baik kalau tidak mau ada tugas tambahan untuk kalian.” “I-iya, Pak,” jawab ketiganya dengan wajah pucat. Keisha berdecak. Sia-sia saja debaran jantungnya tad
Kenzie tidak langsung menjawab, malah menatap Keisha cukup lama. Tentu itu membuat Keisha semakin kesal dan mulai mencubit paha pria itu. Barulah setelah itu, Kenzie menjawab sambil terkekeh. “Iya.” Keisha langsung beralih ke arah ponsel dan menatap Reyhan canggung. “Tuhkan, Bang Rey denger, hehehe!” Lalu, karena takut Reyhan menginterogasinya, Keisha buru-buru mengakhiri panggilan. “Nanti telepon lagi, ya, Bang! Dah! Aku mau lanjut ngerjain tugas dulu!” Tut! Sambungan diputuskan Keisha sepihak. Ia membuang napasnya, lalu menatap Kenzie dengan kesal. Kenapa pria ini suka sekali membuatnya panik tiba-tiba?! “Belum bilang sama Rey?” tanya Kenzie tiba-tiba. “Abang kan tau sifat Bang Rey gimana? Mana mungkin dia setuju-setuju aja sama pernikahan ini apalagi kalo tau alasan kita nikah?” decak Keisha. “Emangnya Abang mau dia terbang sekarang, balik ke Indo, cuma buat gebukin Bang Kenzie?” Kenzie hanya mengangguk-angguk. “Aku aja bilang ke Ibu supaya Bang Rey jangan dikasih tau dulu
Kenzie masuk ke mobilnya lebih dulu, lalu diikuti Keisha. Ia hanya diam setelah pintu ditutup. Padahal, ia mau Kenzie sedikit peka kalau dirinya sedang kesal. Keisha terus menggerutu dalam hati, sampai sebuah sentuhan ringan ia rasakan di ujung kelingking tangannya. “Kenapa, sih?” pekik Keisha jengkel. “Ya aneh aja kamu diam dari tadi,” jawab Kenzie enteng. Keisha berdecak, tapi tetap malas menatap pria itu. Ia bahkan sengaja menaikan dagunya. “Buka tuh HP. Aku chat dari tadi nggak dibales, malah asyik ngobrol sama Bu Olive. Aku dimarahin Ibu dari kemarin disuruh ke butik buat fitting baju. Abang mah enak, nggak bakal kena omel. Tapi aku yang dicecer abis-abisan kalo gak nurut.” Keisha mengembuskan napasnya kesal karena teringat bayang Kenzie dan Olive mengobrol tadi. “Abang juga ngapain sih ngobrol sama Bu Olive? Pas kampus udah sepi lagi. Abang mau emangnya jadi sasaran gosip anak-anak kalo mereka dilihat berduaan sama Bu Olive di tempat sepi?” Keisha berbicara tanpa jeda ka
Keisha jadi menelan air ludahnya susah payah ketika Kenzie mendekat. Pria itu berdiri tepat di hadapannya, hanya berjarak sekitar lima senti saja. Keisha juga bisa mencium parfum bergamot yang manis dari pria itu. Tangan Kenzie terulur ke belakang leher Keisha, membuat perempuan itu menutup matanya rapat-rapat. Padahal gaun ini menutupi sebagian pundaknya, tapi entah kenapa Keisha bisa merasakan sentuhan ringan dari Kenzie. 'Gila! Gila! Gila! Jantung... Tolong jangan ribut dong! Kalau Bang Kenzie denger gimanaaaa!' hati Keisha mulai ugal-ugalan. "Hm...." Keisha bisa mendengar suara rendah Kenzie di telinganya. "Cocok," ucap Kenzie kemudian. “Harganya cocok.” Tepat setelah itu, Kenzie pergi meninggalkan Keisha begitu saja, membuat Keisha membuka mataya secepat kita. Ternyata pria itu hanya ingin melihat tag harga yang ada di belakang gaun Keisha. Perempuan itu melongo tidak percaya. Mulutnya sampai terbuka setengah dan tangannya lemas di sisi tubuhnya. Ia tidak bisa berkata-kat
Keisha membuang napas panjangnya ketika kata-kata Reyhan kemarin kembali terputar di otaknya. Sejak itu, perasaan Keisha selalu cemas. Ia tidak bisa berbohong terus-terusan pada Reyhan. Mau bagaimana pun, Reyhan adalah abang yang paling ia sayang. Keisha tidak sampai hati kalau harus mengecewakan Reyhan karena sikapnya saat ini. “Kei!” Keisha tersentak ketika merasakan seseorang menyenggol lengannya. Ia menoleh. Ah… ia lupa kalau sedang bersama dua sahabatnya di kantin. “Ngelamun apa, sih? Itu dari tadi ada telepon.” Cindy menunjuk layar ponselnya yang menunjukkan tulisan ‘Bang Kenzie is calling…’ Keisha mengerjap. Ia sampai tidak sadar kalau ponselnya bunyi sejak tadi. “Halo, Bang?” jawab Keisha cepat, khawatir teman-temannya semakin curiga. “Cepet ke parkiran,” suara dalam Kenzie menyapa Keisha dengan renyah, membuat jantung perempuan itu entah kenapa langsung berdebar lebih cepat. “Hah? Harus banget?!” untuk menutupi kegugupannya, Keisha memekik. “Iya.” Keisha berdecak pe