Share

BAB 2

Setelah kepergok dalam kesalahpahaman tadi, Keisha dan Kenzie segera dibawa oleh Ibu ke ruang tamu. Wanita paruh baya tersebut kemudian memanggil Ayah dan anak keduanya—Aldi, untuk ikut dalam proses interogasi terhadap dua sejoli di hadapannya saat ini.

Tidak lupa juga Mama Yunita, mamanya Kenzie, yang langsung dijemput Aldi dari rumah sebelah. Ya, mereka ini memang tinggal tetanggaan.

“Sumpah, Bu! Ini tuh cuma salah paham aja," rengek Keisha dengan wajahnya yang memerah padam, menahan tangis karena takut dituduh telah berbuat hal yang tidak senonoh.

"Apa yang Ibu liat tuh, nggak seperti apa yang ada dipikiran Ibu sekarang!" lanjut Keisha.

Kenzie sendiri, duduk dengan tatapan datar, mencoba untuk tetap tenang. Sementara Keisha tampak gelisah di sampingnya, sesekali melemparkan pandangan takut ke arah orang-orang di sekelilingnya.

"Gimana Ibu nggak mikir yang aneh-aneh, kalau posisi Kenzie itu lagi dalam keadaan telanjang, Kei," sergah Ibu menepis ucapan Keisha.

“Setengah doang, Bu. Keisha baru buka beberapa kancingnya…,” Keisha mencoba membela diri.

“Sama aja!”

“Beda, Bu. Kalau Ibu bilangnya telanjang, kesannya—”

“KEISHA RIZKY ABRISAM!”

Keisha terdiam, matanya memperhatikan sang ibu yang mulai membentak dan memanggil namanya dengan keras. Suara gemuruh itu membuat air mata Keisha kembali menggenang di pelupuk mata, dan tubuhnya mulai gemetar tak karuan.

Namun tiba-tiba, di saat genting seperti ini, Keisha merasakan kehangatan dari genggaman tangan besar yang menggenggam tangannya dengan lembut. Rasanya seolah ada seseorang yang mencoba menenangkan dirinya di tengah badai emosi yang melanda.

Itu tangan Kenzie.

“Please, percaya sama aku …. Kejadian tadi tuh sama sekali bukan kayak gitu.” Keisha kembali mengulang pembelaannya sambil terisak dalam genggaman Kenzie.

"Kalau bukan kayak gitu, jadi apa?" tanya Aldi dengan menyilangkan tangannya. Ia berdiri tepat di belakang Ibu. "Petting? Atau lagi foreplay dulu?"

"Hah? Gila, ya enggaklah!"

"Terus apaan kalau bukan pemanasan?"

"YA BUKAN APA-APAAN!"

Keisha yang tadi menangis, kini jadi bersungut-sungut. Ia begitu kesal dengan tuduhan yang tak berdasar dari segala arah. Dan semakin geram ketika melihat Kenzie yang hanya diam membisu, tidak berusaha untuk ikut menjelaskan seperti dirinya sekarang.

"Ngomong dong, Bang!" ketus Keisha sambil menepis tangan Kenzie yang menggenggamnya, lalu mencubit pinggang Kenzie sambil kembali mendesis, "BANG!"

Sontak, Kenzie yang tengah melamun pun mengaduh kesakitan.

“Ugh!” Dia menoleh ke arah Keisha, lalu membalaskan dendam dengan langsung mencubit pipi bulat dan merah milik gadis tersebut.

"Arghhh! SAKIT! Kok nyubit sih, Bang!?"

“Kamu yang mulai duluan. Saya bela diri.”

“Ya Abang jangan diam aja dong!”

Akhirnya, pertengkaran pun tak bisa dihindari. Kenzie dan Keisha saling menyakiti tanpa ada yang mau mundur sedikit pun.

“Sudah, sudah! Kok malah kalian yang marah-marah?! Harusnya kami dong!?” tegur Ibu Keisha.

"Kayaknya mereka berdua memang punya hubungan khusus deh, San," ucap Mama kepada Ibu. "Mending langsung dinikahin aja nggak, sih?"

"HAH?!"

Bukan, bukan ibu Keisha yang terkejut berteriak. Tetapi Keisha sendiri.

“Keisha nggak mau!” pekik Keisha lagi.

Ia tidak pernah menduga bahwa mama Kenzie yang sudah dikenalnya selama belasan tahun itu, justru langsung menyarankan hal gila tadi.

“Ini tuh buat meminimalisir kemungkinan hamil di luar nikah, Kei …,” jelas Mama memberi pengertian. “Anak seumur kalian berdua itu cintanya masih bergejolak hebat. Jadi daripada kebobolan dan bikin buruk citra kedua keluarga, ya mending langsung dihalalin aja, kan?”

"NGGAK! Nggak mau!" Emosi Keisha kembali meradang. Dadanya kini naik turun seiring dengan tingkat emosionalnya yang tak beraturan.

"Aku bilang kan aku nggak ngapa-ngapain sama Bang Kenzie, Ma, Bu! Aku tadi tuh cuma ngegambar dada Bang Kenzie buat tugas kuliah doang. Nggak ada yang aneh-aneh!"

"Ngegambar di tubuhnya Kenzie, maksud kamu?" tanya Ibu yang masih saja tak percaya. "Sejak kapan kamu ada mata kuliah tentang per-tatoan?"

“IBU!” Keisha memekik, lalu kembali beralih pada Kenzie. “Bang! Ngomong, ih! Emang kamu mau nikah sama aku?!”

Kenzie pun mengangguk cepat. Sorot matanya tertuju langsung pada sang Mama. “Jadi gini, Ma—"

"Menurut Ayah, gimana?" Ibu memotong ucapan Kenzie dengan tanpa merasa bersalah. "Apa kita harus menikahkannya bulan ini? Atau ... minggu depan aja biar kita semua bisa tenang?"

Tatapan penuh harap ditujukan Keisha kepada sang ayah, sosok yang selalu memberinya kekuatan. Dia yakin ayahnya akan berpikir dengan logika.

"Hm ...." Ayah mengeluarkan suara berat saat ia berdeham. Dia melirik Kenzie. “Jelaskan dulu, Nak.”

Keisha menghela napas, lega ada yang bersedia mendengarkan penjelasan tanpa prasangka apa pun. Dia pun melirik Kenzie, dan pria itu pun meliriknya sesaat.

“Saya ….” Kenzie melirik ayah Keisha, lalu menautkan alis, seperti melihat sesuatu yang aneh sebelum akhirnya menghela napas. “Saya rasa semuanya sudah jelas, Om. Saya tidak ada pembelaan.”

“LOH!?” Keisha melongo. Tak sedikit pun menyadari ada senyuman penuh arti yang sang ayah berikan kepada Kenzie. “Kok gitu, Bang!?”

“Tuh kan, benerrrr!” Aldi, kakak kedua Keisha, bertepuk tangan kegirangan.

Ibu Keisha juga menimpali, “Ibu bilang juga apa!”

“Udah nikahin aja, Bu, nikahin! Kebetulan Aldi punya kenalan penghulu, nih!”

Kegaduhan pun terus terdengar di sana-sini. Mereka saling sahut menyahut dengan antusias atas jawaban Kenzie yang seolah mengkonfirmasi kejadian tersebut. Sungguh, mereka tampak seolah tengah bergembira di atas penderitaan Keisha.

"Oke." Ayah Keisha kembali melihat Kenzie dengan lekat. "Kamu sudah dengar sendiri kan, tentang kerisauan hati kami sebagai orang tua?"

"Iya, Om."

"Kamu paham, dan juga mengerti kan dengan maksud baik kami?"

"Iya, Om."

Ayah mengangguk sambil tersenyum lebar. "Kalau begitu, kapan kamu siap untuk menikahi Keisha?"

“Kapan pun saya siap, Om.”

"BANG!" Keisha semakin berteriak. “Gila, ya!?"

Kok malah jadi seperti ini!?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status