Pagi itu di sebuah hotel mewah, Jeffan telah rapi dan wangi dengan mengenakan pakaian formal. Lelaki itu terlihat sangat tampan. “Rasanya sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Angel kembali. Mungkinkah aku mulai jatuh cinta padanya?” monolog Jeffan sambil bercermin dan merapikan rambutnya. Lelaki tampan itu tampak bersemangat. Baginya saat ini adalah waktu yang sangat spesial. Sebelumnya ia memang belum pernah berkencan sama sekali. Apalagi melakukan pendekatan dengan keluarga kekasihnya. “Sebaiknya aku segera berangkat.” Sayang sekali meskipun terlihat sangat tampan, Jeffan hanya mengendarai sepeda motor. Mobil satu-satunya yang ia miliki sedang dipinjam adik perempuannya. “Angel, aku datang.” Jeffan mengendarai sepeda motornya dengan cukup kencang. Ia benar-benar sudah tidak sabar untuk berkenalan dengan orang tua Angel. Meski sebenarnya di dalam hatinya merasa takut dan was-was. Motor Jeffan berhenti di depan pintu gerbang. Ia mengamati rumah besar bagai istana di had
“Yang menelepon adalah Tante Kinan,” jawab Reina kemudian. “Tante Kinan?” Regan mengulangi ucapan Reina sambil mengingat siapa yang memiliki nama tersebut. “Ya, dia adalah mamanya Leon. Leon kecelakaan. Kondisinya parah. Tante Karin memintaku untuk datang ke rumah sakit. Dia tidak tahu kalau aku dan Leon sudah putus sejak lama.” Regan cukup terkejut mendengarkan penjelasan dari Reina. Ia tidak pernah menyangka jika yang menghubungi istrinya adalah mama dari sang mantan. “Baiklah. Kita segera ke sana. Aku akan menemanimu. Katakan saja jika kalian sudah putus.” “Tapi, Pak. Bagaimana jika nanti Tante Kinan syok dan pingsan?” Entah mengapa perasaan Reina jadi tidak tenang. “Jadi kamu akan tetap berpura-pura sebagai pacarnya Leon?” Reina menggelengkan kepalanya. “Reina tidak tahu, Pak.” “Seharusnya kamu tahu. Aku akan sangat cemburu jika kamu melakukannya.” Regan melirik ke arah Reina yang tampak kebingungan. Lelaki tampan itu segera meraih tangan istrinya. “Ayolah, sebaik
“Aku tidak sakit, Sayang. Pergilah.” Reina mengangguk saja. Lalu ia menemani Leon di ruangannya. Wanita itu duduk. Menanti dengan sabar hingga rasa kantuk datang menyerang. Reina ketiduran dengan wajah yang bertumpu di kedua tangannya. Dengan perlahan Leon mulai membuka kedua matanya. Jemari bergerak hingga mengenai kepala Reina. Seketika Reina terbangun karena terkejut. Ia segera mendongakkan kepalanya. “Leon ... kamu sudah sadar?” tanya Reina antusias. “Reina ... bagaimana bisa kamu ada di sini? Apa yang terjadi kepadaku?” tanya Leon begitu lirih suaranya hampir tidak terdengar. “Kamu kecelakaannya, Leon.” Leon mulai mengingat kejadian tadi malam. Ia sangat kecewa dan sakit hati kepada Karin. Akan tetapi lelaki itu tidak mau menceritakan hal itu kepada Reina. Leon merasa malu. “Terima masih sudah mau menemani aku di sini.” Lelaki itu tersenyum tipis. Reina pun membalas dengan sebuah anggukan dan senyuman. Ingin rasanya menanyakan tentang Karin. Namun ia belum berani. Takut
“Reina hanya ingin minta maaf. Tidak seharusnya Reina bertengkar dengan Karin karena Leon.” “Baiklah. Mungkin setelah ini kamu tidak akan bertengkar lagi dengan Karin karena dia sudah tidak bekerja di sini. Aku akan memaafkan kamu. Tapi ada syaratnya?” Regan menaik-turunkan alisnya. Reina mengerucutkan bibirnya. Ia tidak mau jika syaratnya aneh-aneh. Perasaannya sudah tidak enak. “Sayang ... kok malah cemberut? Aku tidak meminta yang aneh-aneh kok. Aku ingin nanti malam kamu menemaniku pergi ke suatu tempat. Mau 'kan?” pinta lelaki itu memohon. “Suatu tempat? Ke mana?” “Rahasia. Anggap saja sebuah kejutan.” “Kenapa harus kejutan? Kenapa tidak mengatakannya saja mulai sekarang?” Reina sengaja bersikap manja. “Jadi mau dimaafkan atau tidak?” Regan menyentil pelan hidung istrinya. Reina pun segera menganggukkan kepalanya. Setelah itu Regan kembali ke ruangannya. Dan Reina mulai melanjutkan pekerjaannya sebagai sekretaris. Sore itu tidak ada yang lembur. Jeffan pun memi
Tanpa terasa waktu yang ditunggu-tunggu pun telah tiba. Hari ini adalah hari perayaan pernikahan Reina dan Regan. Acaranya diadakan di sebuah hotel berbintang lima. Sejak pagi Reina sudah disibukkan dengan berbagai peralatan make up. Wanita itu dirias layaknya seorang ratu. Reina mengenakan pakaian berwarna putih yang dipilihkan Desvita waktu itu. Benar-benar sangat cocok dan tampak elegan saat dikenakan oleh Reina. “Kamu sangat cantik, Sayang. Kamu terlihat sempurna,” puji Regan kepada Reina yang memakai gaun begitu indah. Terpancar raut wajah penuh kebahagiaan di antara keduanya. “Pak Regan juga sangat tampan.” Reina malu-malu mengatakannya. “Aku harap setelah ini kamu tidak memanggilku Bapak lagi Istriku,” bisik Regan di dekat telinga wanita itu. “Kalau begitu ... sebaiknya Bapak menyiapkan panggilan yang tepat. Atau—” “Akan aku pikirkan panggilan paling romantis untukku.” Mereka berdua terkekeh pelan. Acara demi acara pun berlangsung sangat lancar. Setelah pemotongan
“Pak Regan, maafkan Reina.” Wanita itu memeluk tubuh Regan dari belakang saat sang suami hendak meninggalkannya sendirian. “Jangan tinggalkan, Reina.” Wanita itu memohon. Reina ingin Regan mendengar penjelasannya dan menerima permintaan maafnya. Regan memejamkan kedua matanya. Menarik napas panjang. Kemudian baru memutar tubuhnya perlahan. Tentu ia tidak bisa jika harus marah kepada Reina. “Katakanlah apa yang terjadi!” ujar Regan kemudian. Kedua tangannya memegang bahu kanan dan kiri istrinya. Reina pun mengangguk dan segera menjelaskan semuanya tanpa ditutup-tutupi lagi. Ia benar-benar tidak mau jika Regan mencurigai dirinya. “Bapak percaya 'kan sama Reina?” ujar Reina berwajah sendu. “Reina hanya penasaran dengan hubungan Evan dan Karin. Reina ternyata masih peduli dengan Karin.” Regan langsung menarik tubuh Reina dan mendekapnya begitu erat. Sebenarnya ia tidak benar-benar marah. Hanya menginginkan Reina bertindak lebih tegas dan jujur kepadanya. Rasa sayang Regan jauh leb
“Kamu ini bicara apa, Sayang? Mana mungkin aku melakukannya? Pacaran saja tidak pernah.” “Mana mungkin?” Reina mengubah posisinya. Ia segera menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Walau bagaimanapun masih ada perasaan malu terhadap Regan. “Jadi kamu masih tidak percaya?” Jemari Regan membelai wajah istrinya. Ia ingin berlama-lama menatap wajah menyenangkan di depannya itu. Karena Regan tahu jika Reina kelelahan, maka lelaki itu membiarkan istrinya segera beristirahat. “Istirahatlah, Sayang. Pasti kamu sangat lelah.” “Pak Regan juga, ya?” Reina ikut membelai wajah suaminya. Terlihat kumis tipis mulai tumbuh di atas bibirnya. “Iya, Sayang.” Regan mengelus lembut kepala sang istri hingga tertidur. Pukul dua pagi, Reina terbangun karena merasa haus. Kedua matanya mengerjap pelan dan mendapati Regan tidak ada di sisinya. “Ke mana suamiku? Kenapa tidak ada di sini?” Dengan perlahan Reina turun dari ranjang. Bermaksud mengambil air minum sekaligus mencari keberadaan Regan. Samar-sa
Seketika Regan menoleh ke arah Reina. “Reina?”Regan merasa khawatir dengan keadaan istrinya.Lelaki itu langsung berjalan cepat menghampiri Reina. Memastikan bahwa sang istri baik-baik saja dan tidak terkena pecahan beling sehingga membuat kulitnya terluka.“Sayang ... kamu baik-baik saja?” Regan berusaha menyentuh istrinya untuk menenangkan. Tetapi Reina segera menepis tangan Regan.“Berhenti! Tidak usah sok peduli! Jadi benar 'kan, selama ini Pak Regan masih berhubungan dengan dia?” bentak Reina sambil menunjuk ke arah Kimberly yang masih berdiri di dekat pintu sambil memegangi perutnya.“Puas Pak Regan sudah menyakiti perasaan Reina? Bahkan Pak Regan dengan terang-terangan membuat wanita itu hamil?”Reina merasa Regan telah banyak berbohong kepadanya. Wanita itu menggeleng perlahan. “Pantas saja tadi bilang pengen cepat-cepat menjadi seorang papa. Jadi ini alasannya, hah?!”Air mata pun tak berhenti menetes. Reina menangis sejadi-jadinya. Tidak peduli jika Xavier dan beberapa pela