Share

Bab 2(Bertemu Nenek Gendeng)

Arya segera kembali ke dalam hutan dan menuju ke tempat semula. “Aku tadi berada di sini, aku yakin sekali.”

Arya memeriksa sekitar dan tidak menemukan apapun. “Kamu mencari ini?” Suara seorang nenek tua mengagetkan Arya. Mbah Rasih penjaga hutan yang terkenal gendeng alias sedikit gila. Konon dia dulunya adalah seorang pendekar wanita hebat. Dia telah memiliki seorang putri cantik hasil hubungannya dengan pendekar musuh perguruan ayahnya, namun karena tidak disetujui oleh ayahnya Mbah Rasih pergi mengembara dengan membawa sang bayi. Pada suatu ketika sang gadis kecil tumbuh menjadi wanita cantik dan bertemu pangeran dari kerajaan Budaya. Pihak kerajaan meminta putrinya untuk jadi bagian dari kerajaan. Akhirnya Mbah Rasih tinggal hidup di hutan seorang diri.

“Kamu mencari jimat ini pemuda tampan?”ucap mbah Rasih.

Arya menoleh dan menatap sang nenek tua yang bergelantungan di dahan pohon. “Dari mana mbah tahu?” Arya mencoba meraih kalung jimat dari tangan sang nenek gendeng itu.

“Eits, tidak semudah itu anak muda, kejar aku kalau bisa,haha.”

Arya merasa tertantang dan mengejar sang nenek tua itu, “Mau kemana kamu Mbah?”

Arya mencoba mengimbangi langkah besar mbah Ratih dan berkali-kali mencoba merebut kalung jimat itu tetapi tidak juga berhasil.

“Hah, umur saja muda tetapi lembek,haha.” Ledek Mbah Rasih.

“Sudahlah mbah, hari sudah mulai gelap, aku harus segera mengalungkannya kepada Rangga.”

Mbah Ratih menghentikan lompatannya di dahan pohon besar. “Jadi namanya Rangga, apa pedulimu terhadap bayi temuan itu Arya?”ucap nenek tua itu.

Arya bergeming, dia pun tidak tahu mengapa memutuskan untuk mengasuh sang bayi yang tidak tahu asal usulnya tersebut. Arya hanya merasa kasihan melihat bayi tak berdosa itu sendirian di dalam hutan. Belum tentu orang lain yang menemukannya akan mengurus bayi tersebut.

“Sudahlah aku juga sudah lelah, ini aku kembalikan!”

Mbah Rasih melemparkan kalung jimat itu kepada Arya, “Kamu harus tetap berhati-hati pada MBok Siem, dia itu licik!” Nenek gendeng meninggalkan Arya tanpa memberi penjelasan lebih jauh apa maksud perkataannya.

Arya tidak mengambil pusing perkataan sang nenek gendeng itu. Dia segera pergi dari hutan dan kembali ke rumahnya.

***

“Bu, aku sudah menemukan kalung jimat ini.” Ucapan Arya hampir saja membangunkan sang bayi yang tertidur dalam ayunan kain. “SStt, jangan bersuara keras, Rangga baru saja tidur.” Ibunya mengalungkan jimat tersebut kemudian pergi ke dapur dan menyiapkan singkong rebus untuk Arya.

“Makanlah dulu, dari pagi kamu pasti belum makan.”

Arya meraih tembikar berisi makanan dan memakannya dengan lahap. “Terima kasih bu.”

“Arya, ibu mau bicara denganmu!”

Arya menghentikan gerakan mengunyahnya dan meminum air dari dalam kendi yang tersedia di meja. “Ada apa bu?” ucap Arya penasaran.

“Sebenarnya ibu sedikit keberatan atas kehadiran bayi ini. Entah mengapa firasat ibu mengatakan bayi ini bukan bayi biasa,” jelas Ibunya.

“Tapi bu, mengapa ibu bisa berfikiran seperti itu?”

Ibu Arya menatap lekat sang bayi yang masih merah itu. “ Ini adalah bulan purnama di tahun emas. Menurut kalender kuno akan hadir seorang penerus kegelapan yang ditunggu-tunggu oleh aliran hitam.”

Arya menggernyitkan dahi dan belum paham atas perkataan sang ibunda. “Tetapi belum tentu juga Rangga adalah bayi yang di maksud bu,” jawab Arya.

Ibu Arya masih merasa cemas dengan ramalan dari leluhurnya. DIa khawatir kehadiran sang bayi di kampungnya akan membawa malapetaka.

“Sudahlah bu, itu masih ramalan yang belum tentu terjadi. Ibu tidak usah khawatir yang berlebihan.”

Arya mencoba menenangkan ibundanya. Dan kembali melahap singkong yang masih berasap itu.

Malam semakin larut, namun sang bayi tertidur sangat pulas. Beberapa kali Arya memeriksa keadaan sang bayi, tetapi bayi itu tertidur sangat pulas. Tidak seperti bayi pada umumnya yang menangis dan terjaga di malam hari. Arya pun bisa tertidur pulas.

“Arya,Ar-” teriak ibunya memanggil-manggil Arya

“Ada apa bu?” Arya menghampiri ibunya sambil terkejut. “LIhat Arya!” ucap ibunya

Bayi kecil yang Arya temukan masih merah sehari kemudian sudah tumbuh besar hanya dalam waktu satu hari.

Rangga terlihat sedang meraih singkong yang ada di atas meja. “Bayi ajaib!” Arya menatap Rangga dengan sangat takjub. Sementara ibu Arya ketakutan melihat bayi yang baru berumur satu hari sudah bisa merangkak layaknya bayi delapan bulan.

“Arya, apa ibu bilang ini bukan bayi biasa!” Ibunya memalingkan pandangan ke arah hutan tempat Rangga ditemukan. “Kembalikan saja dia ke hutan!”

Arya menolak permintaan ibunya dengan halus, “Tidak bu, kasihan Rangga.

Ibu Arya meninggalkan Arya dan Rangga lalu pergi ke sumur mengambil air.

Arya menggendong Rangga dengan wajah yang masih bingung. “Rangga, kamu tumbuh sangat cepat.”

Tiba-tiba Arya terbangun dan menyadari apa yang dialaminya ternyata hanya mimpi. Arya masuk ke bilik kamar tempat Rangga di tidurkan. Tetap saja Rangga tidak bersuara semalaman.

Di tempat lain Mbok Siem diam-diam bertapa di gua sakti.

“Menurut terawanganku, bayi itu adalah penerus kegelapan,” batin Mbok Siem meracau sendiri. “Tidak salah lagi, bayi ini adalah yang di tunggu-tunggu para leluhur terdahulu. Pusaka sakti akan segera muncul tidak lama lagi.” Senyum merekah di wajah keriput MBok Siem.

Siang menjelang rumah Arya kedatangan Mbok Siem sang dukun desa. “Arya, dimana bayimu?”tanya mbok Siem. Arya menunjukkan tempat dimana sang bayi tertidur.

“Benar-benar bayi ajaib!” ucap mbok Siem takjub melihat perkembangan Rangga yang tumbuh lebih cepat, tetapi Arya dan Ibunya belum menyadari hal itu.

“Ingat pesanku, jangan biarkan dia pergi ke hutan sebelum usia 5 tahun.” Pesan sang dukun desa.

Arya tetiba teringat perkataan sang nenek gendeng yaitu harus berhati-hati terhadap mbok Siem, tetapi hati kecilnya ia mempercayai sang dukun beranak itu. “Tidak mungkin dia berniat jahat,”lirih Arya dalam hati. “Kamu mau mengatakan sesuatu?” tanya MBok Siem.

Arya menggeleng, dia gelagapan karena MBok Siem seolah mengetahui apa yang baru saja dia ucapkan dalam hati. “Ti-tidak Mbok.”

Beberapa hari setelahnya Rangga sudah bisa berdiri dan mulai bisa berjalan. Dia meraih setiap benda di meja dan bale tempat Arya tidur. Sulastri-ibu Arya- masih belum luluh juga terhadap Rangga. Dia bersikap dingin terhadap sang bayi. Hanya membantu Arya sebisanya.

“Nek-” kata pertama keluar dari mulut Rangga saat Sulastri memandikan sang bayi.

Sulastri terkejut dan menoleh ke arah lain barangkali ada anak kecil yang memanggilnya di luar rumah. “Nek ini aku Rangga yang berbicara.”

Seketika Lastri menjauh dari Rangga karena terkejut, dia ingin berteriak namun percuma Arya sedang mencari kayu bakar di hutan. Rumahnya dengan penduduk lain begitu berjauhan.

“Jangan takut nek, aku tidak berniat jahat.” sambung Rangga.

“Kamu bisa bicara?” Lastri duduk lemas di pojok rumahnya.

Sementara Rangga kembali diam dan memainkan air di dalam gentong tempatnya mandi.

Lastri kemudian meninggalkan bayi itu sendirian dan pergi ke rumah mbok Siem untuk menanyakan hal aneh yang selama ini dialami oleh Rangga.

“Aku harus menanyakan hal ini kepada mbok Siem, aku tidak mau gila karena menghadapi bayi aneh ini setiap hari, setiap aku bercerita pada Arya dia tidak mau mengerti,” batinnya dalam hati.

“Permisi mbok Siem..”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status