Share

Bab 4 (Perjalanan ke kampung Padalang)

“Rangga-” teriak Sulastri mencari-cari keberadaan cucunya tersebut. “Pasti dia berulah lagi,” tebak ibu Arya tersebut.

“Di mana kamu bayi ajaib?”

Setelah selama satu jam mencari-cari akhirnya dia menyerah, Sulastri merebahkan badannya di bale luar.

“Aku di sini nek, ayo kejar aku.”

Sang bayi ajaib berjalan layaknya orang dewasa dan perlahan dia mengerjai sang nenek dengan tingkah polahnya yang lucu. “Sudah Rangga, nenek capek, lebih baik kamu makan bubur beras lagi ya nanti nenek buatkan.”

Sang bayi ajaib mengangguk dan bersiap untuk makan yang kedua kalinya. Walaupun badannya masih kecil tetapi Rangga bisa menghabiskan makanan hingga berkali-kali.

Seminggu berlalu Rangga tumbuh seperti balita berusia 3 tahun. Sulastri sudah tidak heran karena dari awal memang Rangga adalah anak spesial dari sang Dewa. Dia kini sudah akrab dengan si kecil dan menerima Rangga seperti cucu kandungnya sendiri.

Sementara di kampung Padalang, Arya sedang sibuk melayani pembeli di pasar. Dia memang pemuda yang sangat ramah, hingga tidak heran dari sekian banyak pendatang yang berdagang di pasar tersebut, hanya dagangan Arya yang paling laris.

Setelah buah-buahan laris di beberapa hari sebelumnya kini tinggal jagung dan singkong yang tersisa. Kebanyakan pembeli adalah gadis desa yang sengaja datang untuk sekedar mengobrol dengan Arya sosok lelaki tampan nan gagah dan berbudi baik. “Silahkan jagungnya nona.” Senyum khas yang di sunggingkan dari wajahnya menjadi daya tarik bagi setiap pembeli dan ada di sana.

Iring-iringan kerajaan melewati pasar Padalang. Sekilas Arya melihat putri cantik yang berada di atas kuda dan di kawal oleh beberapa prajurit penjaga khusus. Pandangan mata Arya tak beralih dari sosok wanita cantik sang putri kerajaan. “Siapakah gerangan gadis cantik itu?” lirihnya dalam hati.

Beberapa prajurit di perintahkan oleh sang putri untuk membeli perbekalan selama di perjalanan. Sang Putri akhirnya turun langsung ke pasar di temani dayang dan beberapa prajurit.

Di waktu bersamaan, ada beberapa pekerja kerajaan yang menagih uang pajak pada para pedagang yang berjualan di pasar. Pemuda dari kampung lain harus membayar pajak lebih besar dari penduduk pribumi. “Tidak bisa begitu, saya di sini kan hanya berdagang,” ucap seorang pemuda teman dari Arya.

“Oh, jadi kamu menolak membayar pajak?” tegas sang penagih.

Sebuah pedang dikeluarkan dari tempatnya.

“Sabar-sabar kisanak, kita bisa selesaikan dengan kepala dingin,” ucap Arya seraya menurunkan pedang yang diacungkan oleh sang penagih.

Sang putri yang menyaksikan hal tersebut merasa sangat tertarik dengan sikap Arya yang bijak. Nampaknya sang puteri pun merasa jatuh hati pada pemuda yang belum ia kenal tersebut. Ketegangan antara pedagang dan penagih pajak akhirnya bisa diselesaikan dengan jalan damai.

***

Dua minggu berlalu begitu cepat, Arya dan rombongan akhirnya kembali ke kampung Dukuh untuk menikmati hasil penjualan dagangan mereka selama berkelana. Arya sudah tidak sabar untuk bertemu dengan anaknya Rangga juga dengan ibundanya.

“Kamu pasti senang bapa bawakan anak kambing ini.” Arya menukar sebagian sisa dagangannya dan beberapa koin perak dengan anak kambing. Di sepanjang perjalanan Arya tak henti-hentinya memikirkan sang putri cantik yang ia temui di desa Padalang. Arya tidak punya nyali untuk sekedar mengetahui nama sang puteri. Dia berharap akan bertemu kembali dengan wanita cantik berambut hitam pekat itu.

“Arya, kamu kenapa melamun?” tanya kawannya di dokar sewaan yang membawanya pulang ke kampung Duku. Arya hanya tersenyum dan kembali masuk ke pembicaraan bersama kawan-kawan yang lain.

Sore menjelang, matahari pun telah tenggelam di peraduannya. Arya dan rombongan lain pulang ke rumah masing-masing dengan hati bahagia. Arya sudah tidak sabar untuk menemui anak dan ibundanya.

“Rangga-” Arya memasuki rumahnya tetapi sepi seolah tak berpenghuni.

“Kemana ibu dan Rangga?” lirihnya dalam hati. Arya mengambil kendi dan meneguk air di dalamnya. Karena sangat lelah akhirnya Arya tertidur pulas di bale depan rumahnya.

“Ayahanda-”

Suara mungil seorang anak kecil memanggil-manggilnya dan Arya terbangun dari tidur lelapnya. “Rangga?” Arya melotot keheranan karena Rangga tubuh begitu cepat. “Bu, apakah ini benar-benar Rangga?”

Sulastri terdiam dan kemudian mengangguk, dia sudah menebak pasti Arya akan terkejut melihat Rangga. “Ini anakmu yang kau temukan tempo hari di hutan.”

Arya mengingat-ingat perjalanannya selama berdagang ke kampung tetangga. “Aku hanya pergi kurang dari sebulan bu, kenapa Rangga sudah sebesar ini?” Arya masih terheran

dengan apa yang ia lihat.

Sulastri hanya tersenyum tipis, kemudian dia berkata,” aku sudah bilang kepadamu berkali-kali Rangga ini bukan bayi biasa, dia ini bayi ajaib Nak.”

Arya terdiam mencoba mengingat berbagai kejadian yang diceritakan ibunya sebelum dia berkelana. “Maafkan aku bu, tidak mempercayai ibu saat itu.” Rangga kemudian pergi keluar dan bermain-main dengan anak kambing yang Arya bawakan.

“Arya, menurut penerawangan Mbok Siem, anak ini harus selalu dalam pengawasannya.”

Arya terhenyak, dia tidak mengerti dengan ucapan sang ibunda. “Jadi ibu baru saja pulang dari rumah mbok Siem?” tebak Arya. Ibunya mengiyakan. Arya tidak mengerti dengan semua yang ia saksikan sekarang, dia tidak menyangka bahwa Rangga bukanlah anak yang biasa seperti anak pada umumnya. Kini ia bertanya-tanya anak siapa sebenarnya bayi Rangga ini? Apakah betul dia terlahir dari jelmaan dewa?

Berbagai pertanyaan berkecamuk di pikiran Arya. Sampai waktu yang sangat larut Arya masih terjaga dan merasa ingin tahu jawaban dari semua pertanyaannya ini.

“Hey Arya, kamu sudah pulang,” tanya sang gagak hitam sahabat Arya di hutan.

“Untuk apa kamu kemari?” Arya balik bertanya pada sang gagak betina tersebut.

Gagak memberitahukan bahwa si nenek gendeng sedang sakit di dalam hutan. Arya di harapkan bisa menolong sang nenek tersebut, karena gagak tidak tega melihat nenek gendeng kesakitan sendiri di dalam gubuknya.

“Baiklah aku kesana esok.”

Gagak hitam akhirnya terbang di antara kegelapan malam, berselimut kabut tebal yang turun. Membawa hawa dingin hingga menusuk ke tulang.

“Tidak biasanya kabut turun di waktu malam?” Arya bertanya sendiri dalam hati.

***

Keesokan harinya Arya mencari kayu bakar ke dalam hutan. Seperti biasa dia membawa peralatan memburu binatang dan peralatan perkayuan untuk memotong dahan yang besar.

“Sepertinya aku harus mampir ke gubuk nenek gendeng,” ujar sang pemuda tampan itu meskipun sebenarnya dia malas sekali berhubungan dengan sang nenek gendeng yang cerewet melebihi ibunya sendiri.

“Sampurasun.”

Tidak ada jawaban dari dalam gubuk tua milik sang Nenek tersebut. Arya berinisiatif untuk masuk dan memeriksa sendiri keadaan sang nenek.

“Hey pemuda tampan, kamu sudah lama sekali tidak ke hutan? Apakah kau merindukanku sekarang?” ucap sang nenek dengan penuh percaya diri.

“Hmm,” Arya pura-pura tersedak dan mengalihkan pembicaraan kepada hal lain. Sang nenek tua itu memang senang menggoda pemuda gagah seperti Arya, dari sekian pemuda yang ia goda, hanya Arya yang masih bersikap sopan terhadapnya.

“Nenek butuh apa biar saya carikan di hutan” tanya Arya.

“Obat yang saya cari tidak ada di hutan ini, tetapi ada di hutan terlarang di seberang sana.”

Arya tertunduk seperti memikirkan sesuatu. “Tidak apa-apa kau tidak perlu repot-repot pergi kesana, biarkan aku mati disini sendirian, ini memang sudah takdirku.”

Arya merasa tidak tega melihat keadaan sang nenek tua yang terlihat sangat lemah. “Apa sebenarnya yang terjadi?” tanya Arya penasaran. Arya merasa tidak yakin bahwa si nenek gendeng sakit yang biasa saja. Pasti ada sesuatu yang membuat Nek Rasih terluka dalam.

“Aku ingin menceritakan apa yang terjadi, tapi kamu harus percaya akan cerita ini.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status