Share

Bab 2. Siapa yang Datang?

Tok!

Tok!

Tok!

“Assalammu’alaikum, Bu Ida!” Terdengar suara perempuan mengetuk pintu dan mengucap salam.

“Waalaikumsalam!” balas Bu Ida sedikit berteriak.

“Arini! Buka pintu sana!” perintah Bu Ida pada Arini. Arini hanya menganggukkan kepala dan segera membukakan pintu.

Terlihat seorang ibu yang seumuran dengan Bu Ida tengah berdiri dengan tangan memegang kipas. Dari penampilannya, Arini menebak kalau ibu itu teman sosialita ibu mertuanya. Ditangannya banyak sekali perhiasan yang menempel. Tak lupa pula sebuah kalung besar ada dilehernya.

“Bu Ida ada?” tanya ibu itu. Gayanya seperti orang yang baru kaya dan terkesan sombong.

“Ada, Bu! Mari silahkan masuk, Bu!” jawab Arini ramah. Setelah mempersilahkan duduk, Arini masuk ke dalam dan memanggil mertuanya.

“Bu ... ada tamu. Sepertinya teman Ibu,” tebak Arini. Bu Ida terlihat mengernyitkan dahi. Karena merasa tidak ada janjian dengan siapapun.

“Siapa?” balas Bu Ida ketus.

“Arini belum sempat tanya namanya, Bu,” jawab Arini.

“Kamu ini gimana, sih? Kalau ada orang yang belum kamu kenal, tanya dulu siapa dia! Jangan main suruh masuk aja! Kalau pencuri bagaimana?” omel Bu Ida dengan bibir mengerucut. Arini hanya bisa diam tanpa ada perlawanan.

Dengan sedikit malas, Bu Ida bangkit dan berjalan menuju ruang tamu. Saat sampai di ruang tamu, betapa terkejutnya dia saat tahu siapa yang datang. Bu Wati, teman Bu Ida dari jaman dulu yang sempat terpisah. Setelah tamat SMP, Bu Wati ikut orang tuanya merantau ke Kalimantan.

“Ya Allah ... Wati! Ini beneran Wati, kan?” tanya Bu Ida. Seolah tak percaya, orang yang tengah berada di ruang tamunya adalah temannya dulu. Teman yang sama-sama dari keluarga yang miskin dengan pakaian yang lusuh, sekarang berbeda seratus delapan puluh derajat.

“Sekarang sudah sukses, ya?” kata Bu Ida. Pandangan Bu Ida tidak lepas dari perhiasaan yang dikenakan temannya itu.

“Ah ... biasa aja, Jenk. Ini belum seberapa,” celetuk Bu Wati menyombongkan diri.

“Maklum lah, namanya juga punya suami juragan perkebunan sawit dan anakku punya restoran mewah,” ungkap Bu Wati sambil terkekeh.

“Beruntungnya kamu, Jenk, punya suami kaya raya. Sedangkan aku? Mas Herman mat* tak meninggalkan warisan apa-apa. Untung sekarang anakku Arman sudah jadi manajer, jadi kehidupanku tak menyedihkan seperti dulu,” timpal Bu Ida. Dirinya membayangkan susahnya hidupnya dulu setelah ditinggal meninggal suaminya.

“Wah hebat dong si Arman itu? Boleh dong dijodohkan dengan anakku? Sarah namanya,” sahut Bu Wati. 

“Ssstttt ...” Bu Ida memberikan kode diam, dengan telunjuknya diletakkan di depan mulut. Seketika, Bu Wati menutup mulutnya rapat.

“Kenapa, Jenk?” bisik Bu Wati pada Bu Ida.

“Nanti aku ceritakan, Jenk! Sabar ya,” jawab Bu Ida.

“Arini! Buatkan minum!” teriak Bu ida pada menantunya. 

Arini yang saat itu tengah mencuci pakaian, terkejut mendengar teriakan ibu mertuanya. Bergegas Arini melaksanakan perintah ibu mertuanya. Dibawanya nampan berisi dua gelas teh hangat ke depan. 

“Silahkan diminum, Bu!” tawar Arini sembari meletakkan dua gelas kecil dihadapan tamu dan ibu mertuanya.

“Terima kasih, Mbak!” jawab Bu Wati.

"Pembantumu masih muda, Jenk?" tanya Bu Wati. Bu Ida yang mendengar pertanyaan temannya itu secara spontan tertawa terbahak-bahak.

“Kenapa, Jenk? Ada yang salah?” tanya Bu Wati heran. Arini saat itu sudah kembali masuk untuk melanjutkan pekerjaannya.

“Hem ...gak salah kok, Jenk. Emang pantasnya jadi pembantu, kan? Lihat saja penampilannya kucel begitu! Saya juga heran, Jenk, kenapa Arman memilih perempuan itu,” terang Bu Ida seraya meminum teh hangat di depannya.

“HAH?! Jadi ... dia?” pekik Bu Wati kaget. Untung belum sempat minum tehnya, jadi Bu Wati tidak tersedak karena kaget.

“Ya begitulah, Jenk. Dia itu menantuku, istrinya Arman. Tapi, tak apalah ... selama ada dia, pekerjaanku jadi ringan dan tentunya dapat pembantu gratis,” tawa Bu Ida pecah. Melihat temannya tertawa, Bu Wati pun ikut tertawa.

Setelah satu jam lamanya, Bu Wati pamit pulang. Dia berjanji akan sering-sering ke rumah Bu Ida. Sekarang dia tinggal dengan Sarah dan rumahnya tidak begitu jauh dari rumah Bu Ida. 

Bu Wati dan Bu Ida membuat rencana akan mempertemukan kedua anaknya di restoran Sarah.

“Jangan lupa, ya, Jenk! Besok di restoran anakku, kita ketemuan di sana,” pesan Bu Wati pada temannya itu.

“Siap! Besok saat Arman makan siang, aku pasti ajak ke sana, Jenk. Dekat juga dari hotel Arman, jadi besok bisa janjian ketemu di sana,” balas Bu Ida.

Bu Wati pun meninggalkan halaman rumah Bu Ida dengan mengendari mobil mewahnya. Seketika, Bu Ida membayangkan, kalau Arman menikah dengan Sarah. Tentu hidup mereka semakin kaya dan Sarah bisa dia pamerkan ke teman-teman sosialitanya, yang selama ini tidak pernah dia lakukan pada Arini, karena dia malu membawa menantunya itu. Tanpa sadar, Bu Ida tertawa lebar. Siap menyusun rencana yang tidak akan pernah ditolak anak laki-laki satu-satunya itu.

*****

Arini yang baru saja menyelesaikan pekerjaan rumah yang tak pernah ada habisnya, terkejut mendengar pintu kamarnya yang dibuka kasar oleh mertuanya.

“HEH! Menantu tak tahu diri! Malah malas-malasan di kamar! Itu rumput depan rumah sudah tinggi-tinggi! Buruan dicabuti!” perintah Bu Ida. 

“Iya, Bu,” jawab Arini patuh. Biarpun diperlakukan seperti itu, Arini tetaplah menghormati mertuanya itu. Baginya, Ibu Ida bukan sekedar mertua, tapi sudah dianggap seperti ibu kandung sendiri. Tapi, mertuanya itu berpikiran lain, dia tak ubahnya menganggap Arini sebagai pembantu.

“Mbak Arini! Dimana kamu, Mbak? Tolong setrikain bajuku, aku mau berangkat ke kampus!” teriak Bela dari dalam rumah. Bela memang sedang kuliah semester lima di perguruan tinggi di kotanya.

Arini yang masih sibuk dengan halaman rumah, segera mencuci tangannya dan menghampiri Bela.

“Awas, hati-hati jangan sampai hangus, Mbak! Baju mahal itu!” pekik Bela. Dilemparnya baju itu ke muka Arini.

"Astaghfirullah!" lirih Arini.

“Iya ... tunggu sebentar,” balas Arini yang langsung berlalu menuju meja setrika.

Ibu Ida yang melihat halaman belum selesai dibersihkan merasa geram. 

“Punya menantu perempuan kok leletnya minta ampun! Pusing aku!” keluh Bu Ida.

“Arini! Halaman belum bersih begini kok main tinggal aja! Dasar perempuan gak guna!” teriak dan maki Bu Ida. Dengan setengah berlari, Arini menuju ke depan.

“Maaf, Bu! Tadi Bela minta tolong buat setrikain bajunya yang mau dipakai kuliah,” jawab Arini. Ibu Ida mencebikkan mulutnya.

“Halah ... omong aja kamu malas!” cibir mertuanya.

“Ya sudah cepat selesaikan! Oh iya ... kalau kamu mau pulang kampung, silahkan saja. Tapi jangan lama-lama dan sebelum kamu pergi, rumah jangan lupa dibersihkan dulu,” kata Bu Ida.

Setelah Bu Wati datang, Bu Ida jadi berubah pikiran. Tadinya tidak mengizinkan Arini pulang kampung, tapi setelah dipikir-pikir itu kesempatan bagus untuk memperkenalkan Arman dengan Sarah anak Bu Wati.

“Alhamdulillah! Baik, Bu. Terima kasih sudah mengizinkan Arini pulang sebentar,” balas Arini dengan wajah sumringah.

“Hem,” respon mertuanya singkat. Bu Ida lalu bergegas masuk ke dalam rumah.

Mendapatkan izin dari sang mertua, membuat Arini merasa bersemangat lagi. Pekerjaan yang tadinya terasa berat, tak dirasakannya karena sebentar lagi dia akan kembali ke kampung dan melepaskan rasa rindu pada sosok emak dan bapaknya. Walaupun, itu hanya lewat sebuah kenangan. Kenangan indah saat Arini kecil bersama Ibu dan Bapak ada di kampung halamannya.

*****

"Salma, besok ikut Ibu, ya?" ucap Ibu Ida saat anak pertamanya datang ke rumah.

"Kemana, Bu?" tanya Salma. 

"Ibu mau ngenalin adikmu sama perempuan tajir, Sal. Mumpung besok Arini mau pulang kampung. Kamu bantu Ibu, ya?" balas Ibu Ida.

"Maksudnya gimana, sih, Bu? Ibu mau ngenalin siapa? Arman?" Salma yang bingung dengan pernyataan ibunya itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Aduh! Punya anak perempuan kok ya beg*nya minta ampun! Anak laki-laki Ibu, kan, ya cuma Arman! Siapa lagi coba?" jawab Ibu Ida geram. Ditoyornya kepala anak perempuannya itu.

"Maksud Salma itu, kan Arman sudah menikah. Kenapa Ibu masih mau mengenalkan sama perempuan segala?" bibir Salma mengerucut karena tindakan ibunya itu.

"Arini? Apa yang bisa diharapkan dari perempuan itu? Sudah miskin, gak mau kerja ditambah yatim piatu pula!" jelas Ibu Ida. Salma mangut-mangut mengerti maksud ibunya.

"Perempuan ini kebetulan anak teman lama Ibu. Ayahnya punya kebun sawit dan anaknya ini punya restoran mewah. Gimana, Sal? Asyik, kan?" Alis Ibu Ida dinaik turunkan.

"Oh begitu! Oke, Salma paham sekarang, Bu. Kalau begitu, Salma setuju, Bu!" ucap Salma sambil mengacungkan jempol dan tersenyum.

bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status