Tok!
Tok!
Tok!
“Assalammu’alaikum, Bu Ida!” Terdengar suara perempuan mengetuk pintu dan mengucap salam.
“Waalaikumsalam!” balas Bu Ida sedikit berteriak.
“Arini! Buka pintu sana!” perintah Bu Ida pada Arini. Arini hanya menganggukkan kepala dan segera membukakan pintu.
Terlihat seorang ibu yang seumuran dengan Bu Ida tengah berdiri dengan tangan memegang kipas. Dari penampilannya, Arini menebak kalau ibu itu teman sosialita ibu mertuanya. Ditangannya banyak sekali perhiasan yang menempel. Tak lupa pula sebuah kalung besar ada dilehernya.
“Bu Ida ada?” tanya ibu itu. Gayanya seperti orang yang baru kaya dan terkesan sombong.
“Ada, Bu! Mari silahkan masuk, Bu!” jawab Arini ramah. Setelah mempersilahkan duduk, Arini masuk ke dalam dan memanggil mertuanya.
“Bu ... ada tamu. Sepertinya teman Ibu,” tebak Arini. Bu Ida terlihat mengernyitkan dahi. Karena merasa tidak ada janjian dengan siapapun.
“Siapa?” balas Bu Ida ketus.
“Arini belum sempat tanya namanya, Bu,” jawab Arini.
“Kamu ini gimana, sih? Kalau ada orang yang belum kamu kenal, tanya dulu siapa dia! Jangan main suruh masuk aja! Kalau pencuri bagaimana?” omel Bu Ida dengan bibir mengerucut. Arini hanya bisa diam tanpa ada perlawanan.
Dengan sedikit malas, Bu Ida bangkit dan berjalan menuju ruang tamu. Saat sampai di ruang tamu, betapa terkejutnya dia saat tahu siapa yang datang. Bu Wati, teman Bu Ida dari jaman dulu yang sempat terpisah. Setelah tamat SMP, Bu Wati ikut orang tuanya merantau ke Kalimantan.
“Ya Allah ... Wati! Ini beneran Wati, kan?” tanya Bu Ida. Seolah tak percaya, orang yang tengah berada di ruang tamunya adalah temannya dulu. Teman yang sama-sama dari keluarga yang miskin dengan pakaian yang lusuh, sekarang berbeda seratus delapan puluh derajat.
“Sekarang sudah sukses, ya?” kata Bu Ida. Pandangan Bu Ida tidak lepas dari perhiasaan yang dikenakan temannya itu.
“Ah ... biasa aja, Jenk. Ini belum seberapa,” celetuk Bu Wati menyombongkan diri.
“Maklum lah, namanya juga punya suami juragan perkebunan sawit dan anakku punya restoran mewah,” ungkap Bu Wati sambil terkekeh.
“Beruntungnya kamu, Jenk, punya suami kaya raya. Sedangkan aku? Mas Herman mat* tak meninggalkan warisan apa-apa. Untung sekarang anakku Arman sudah jadi manajer, jadi kehidupanku tak menyedihkan seperti dulu,” timpal Bu Ida. Dirinya membayangkan susahnya hidupnya dulu setelah ditinggal meninggal suaminya.
“Wah hebat dong si Arman itu? Boleh dong dijodohkan dengan anakku? Sarah namanya,” sahut Bu Wati.
“Ssstttt ...” Bu Ida memberikan kode diam, dengan telunjuknya diletakkan di depan mulut. Seketika, Bu Wati menutup mulutnya rapat.
“Kenapa, Jenk?” bisik Bu Wati pada Bu Ida.
“Nanti aku ceritakan, Jenk! Sabar ya,” jawab Bu Ida.
“Arini! Buatkan minum!” teriak Bu ida pada menantunya.
Arini yang saat itu tengah mencuci pakaian, terkejut mendengar teriakan ibu mertuanya. Bergegas Arini melaksanakan perintah ibu mertuanya. Dibawanya nampan berisi dua gelas teh hangat ke depan.
“Silahkan diminum, Bu!” tawar Arini sembari meletakkan dua gelas kecil dihadapan tamu dan ibu mertuanya.
“Terima kasih, Mbak!” jawab Bu Wati.
"Pembantumu masih muda, Jenk?" tanya Bu Wati. Bu Ida yang mendengar pertanyaan temannya itu secara spontan tertawa terbahak-bahak.
“Kenapa, Jenk? Ada yang salah?” tanya Bu Wati heran. Arini saat itu sudah kembali masuk untuk melanjutkan pekerjaannya.
“Hem ...gak salah kok, Jenk. Emang pantasnya jadi pembantu, kan? Lihat saja penampilannya kucel begitu! Saya juga heran, Jenk, kenapa Arman memilih perempuan itu,” terang Bu Ida seraya meminum teh hangat di depannya.
“HAH?! Jadi ... dia?” pekik Bu Wati kaget. Untung belum sempat minum tehnya, jadi Bu Wati tidak tersedak karena kaget.
“Ya begitulah, Jenk. Dia itu menantuku, istrinya Arman. Tapi, tak apalah ... selama ada dia, pekerjaanku jadi ringan dan tentunya dapat pembantu gratis,” tawa Bu Ida pecah. Melihat temannya tertawa, Bu Wati pun ikut tertawa.
Setelah satu jam lamanya, Bu Wati pamit pulang. Dia berjanji akan sering-sering ke rumah Bu Ida. Sekarang dia tinggal dengan Sarah dan rumahnya tidak begitu jauh dari rumah Bu Ida.
Bu Wati dan Bu Ida membuat rencana akan mempertemukan kedua anaknya di restoran Sarah.
“Jangan lupa, ya, Jenk! Besok di restoran anakku, kita ketemuan di sana,” pesan Bu Wati pada temannya itu.
“Siap! Besok saat Arman makan siang, aku pasti ajak ke sana, Jenk. Dekat juga dari hotel Arman, jadi besok bisa janjian ketemu di sana,” balas Bu Ida.
Bu Wati pun meninggalkan halaman rumah Bu Ida dengan mengendari mobil mewahnya. Seketika, Bu Ida membayangkan, kalau Arman menikah dengan Sarah. Tentu hidup mereka semakin kaya dan Sarah bisa dia pamerkan ke teman-teman sosialitanya, yang selama ini tidak pernah dia lakukan pada Arini, karena dia malu membawa menantunya itu. Tanpa sadar, Bu Ida tertawa lebar. Siap menyusun rencana yang tidak akan pernah ditolak anak laki-laki satu-satunya itu.
*****
Arini yang baru saja menyelesaikan pekerjaan rumah yang tak pernah ada habisnya, terkejut mendengar pintu kamarnya yang dibuka kasar oleh mertuanya.“HEH! Menantu tak tahu diri! Malah malas-malasan di kamar! Itu rumput depan rumah sudah tinggi-tinggi! Buruan dicabuti!” perintah Bu Ida.
“Iya, Bu,” jawab Arini patuh. Biarpun diperlakukan seperti itu, Arini tetaplah menghormati mertuanya itu. Baginya, Ibu Ida bukan sekedar mertua, tapi sudah dianggap seperti ibu kandung sendiri. Tapi, mertuanya itu berpikiran lain, dia tak ubahnya menganggap Arini sebagai pembantu.
“Mbak Arini! Dimana kamu, Mbak? Tolong setrikain bajuku, aku mau berangkat ke kampus!” teriak Bela dari dalam rumah. Bela memang sedang kuliah semester lima di perguruan tinggi di kotanya.
Arini yang masih sibuk dengan halaman rumah, segera mencuci tangannya dan menghampiri Bela.
“Awas, hati-hati jangan sampai hangus, Mbak! Baju mahal itu!” pekik Bela. Dilemparnya baju itu ke muka Arini.
"Astaghfirullah!" lirih Arini.
“Iya ... tunggu sebentar,” balas Arini yang langsung berlalu menuju meja setrika.
Ibu Ida yang melihat halaman belum selesai dibersihkan merasa geram.
“Punya menantu perempuan kok leletnya minta ampun! Pusing aku!” keluh Bu Ida.
“Arini! Halaman belum bersih begini kok main tinggal aja! Dasar perempuan gak guna!” teriak dan maki Bu Ida. Dengan setengah berlari, Arini menuju ke depan.
“Maaf, Bu! Tadi Bela minta tolong buat setrikain bajunya yang mau dipakai kuliah,” jawab Arini. Ibu Ida mencebikkan mulutnya.
“Halah ... omong aja kamu malas!” cibir mertuanya.
“Ya sudah cepat selesaikan! Oh iya ... kalau kamu mau pulang kampung, silahkan saja. Tapi jangan lama-lama dan sebelum kamu pergi, rumah jangan lupa dibersihkan dulu,” kata Bu Ida.
Setelah Bu Wati datang, Bu Ida jadi berubah pikiran. Tadinya tidak mengizinkan Arini pulang kampung, tapi setelah dipikir-pikir itu kesempatan bagus untuk memperkenalkan Arman dengan Sarah anak Bu Wati.
“Alhamdulillah! Baik, Bu. Terima kasih sudah mengizinkan Arini pulang sebentar,” balas Arini dengan wajah sumringah.
“Hem,” respon mertuanya singkat. Bu Ida lalu bergegas masuk ke dalam rumah.
Mendapatkan izin dari sang mertua, membuat Arini merasa bersemangat lagi. Pekerjaan yang tadinya terasa berat, tak dirasakannya karena sebentar lagi dia akan kembali ke kampung dan melepaskan rasa rindu pada sosok emak dan bapaknya. Walaupun, itu hanya lewat sebuah kenangan. Kenangan indah saat Arini kecil bersama Ibu dan Bapak ada di kampung halamannya.
*****
"Salma, besok ikut Ibu, ya?" ucap Ibu Ida saat anak pertamanya datang ke rumah."Kemana, Bu?" tanya Salma.
"Ibu mau ngenalin adikmu sama perempuan tajir, Sal. Mumpung besok Arini mau pulang kampung. Kamu bantu Ibu, ya?" balas Ibu Ida.
"Maksudnya gimana, sih, Bu? Ibu mau ngenalin siapa? Arman?" Salma yang bingung dengan pernyataan ibunya itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Aduh! Punya anak perempuan kok ya beg*nya minta ampun! Anak laki-laki Ibu, kan, ya cuma Arman! Siapa lagi coba?" jawab Ibu Ida geram. Ditoyornya kepala anak perempuannya itu.
"Maksud Salma itu, kan Arman sudah menikah. Kenapa Ibu masih mau mengenalkan sama perempuan segala?" bibir Salma mengerucut karena tindakan ibunya itu.
"Arini? Apa yang bisa diharapkan dari perempuan itu? Sudah miskin, gak mau kerja ditambah yatim piatu pula!" jelas Ibu Ida. Salma mangut-mangut mengerti maksud ibunya.
"Perempuan ini kebetulan anak teman lama Ibu. Ayahnya punya kebun sawit dan anaknya ini punya restoran mewah. Gimana, Sal? Asyik, kan?" Alis Ibu Ida dinaik turunkan.
"Oh begitu! Oke, Salma paham sekarang, Bu. Kalau begitu, Salma setuju, Bu!" ucap Salma sambil mengacungkan jempol dan tersenyum.
bersambung...“Mas ... Arini besok jadi pulang kampung, ya?” ucap Arini saat mereka sudah di kamar. Setelah pulang bekerja, Arman memang langsung mandi dan makan malam. Kebetulan kali ini dia pulang agak terlambat dari biasanya karena ada meeting dadakan. Tak ada obrolan yang serius antara Arman dan Bu Ida saat di meja makan. Setelahnya, Arman masuk ke kamar dan diikuti oleh Arini. Arman merasa sangat lelah saat itu.“Sudah bilang sama Ibu, kan, Sayang?” tanya Arman.“Sudah, Mas! Kata Ibu boleh tapi gak boleh lama-lama,” jawab Arini. Setelah beres, Arini naik ke ranjang dan tidur disebelah suaminya itu. Arman memang sosok suami yang lemah lembut dan penyayang menurut Arini. Arini merasa beruntung dipertemukan dengan suaminya itu. Selain itu, Arman juga anak laki-laki yang taat pada ibunya. Arman berharap bisa adil memperlakukan Ibu dan istrinya, sehingga tidak akan ada yang cemburu satu sama lain karena merasa diabaikan. “Ya sudah, besok Mas anter ke stasiun, ya, Dek.” Arman memeluk Arini malam
"Ini dia anakku, Jenk! Sarah!" ucap Bu Wati saat mereka sudah duduk kembali."Cantik dan modis sekali penampilannya, berkelas!" puji Bu Ida pada Sarah. Yang dipuji hanya tersenyum."Arman! Kenalkan ini anak teman Ibu, Sarah namanya." Bu Ida memperkenalkan Sarah pada Arman.Tanpa mereka tahu, kalau Arman dan Sarah sebenarnya sudah saling kenal dan bahkan sangat kenal. Dua tahun lalu, saat Arman melamar Sarah untuk dijadikan istri, Sarah menolaknya. Alasan Sarah saat itu masih ingin mengejar karirnya dan ingin mewujudkan impiannya mempunyai restoran mewah. Padahal umur Arman dan Sarah bisa dibilang cukup untuk menikah, yaitu dua puluh sembilan tahun.Ya ... Arman dan Sarah pernah menjalin hubungan kurang lebih lima tahun lamanya. Bukan waktu yang singkat untuk menjalin hubungan. Dan saat hubungan itu ingin diteruskan ke jenjang yang lebih serius, ternyata ada salah satu pihak yang belum siap.Sakit hati! Itulah yang Arman rasakan saat itu. Waktu itu Arman sudah bekerja di hotel tapi pos
Belum juga sehari ditinggal Arini pergi, Arman sudah mengirim pesan rindu pada Arini. Ini membuat Arini semakin cinta pada suaminya itu. Tak terasa sudah delapan jam Arini berada di kereta, sebentar lagi sudah sampai di Kabupaten dimana dia dibesarkan.Saat Arini keluar stasiun, banyak sekali abang-abang ojek pengkolan yang menghampirinya. Buat apa lagi kalau bukan untuk menawarkan jasa mereka. Hingga akhirnya, Arini memutuskan menggunakan salah satu dari Abang ojek itu.Perjalanan dari stasiun ke kampungnya bisa dibilang cukup jauh, yaitu sekitar satu jam lebih. Biarpun jam menunjukkan pukul dua siang, suasana pedesaan yang masih asri membuat perjalanan mereka tidaklah tersengat matahari."Bang, mampir ke pemakaman umum di sebelah sana, ya?" kata Arini pada Abang ojek. Abang ojek itu pun melihat ke arah yang Arini tunjuk."Oh ... iya, Mbak. Siap!" balas Abang ojek. Motor yang Arini tumpangi pun berbelok ke arah pemakaman."Tunggu sebentar, ya, Bang! Nanti uangnya saya lebihin," ucap
Sepulang dari rumah Bi Imah, Arini mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Tidur siang adalah hal yang tepat Arini lakukan siang itu. Kotak kecil yang diberikan Bi Imah, dia letakkan di meja rias dalam kamarnya.Rasa lelah hati tak Arini rasakan. Saat ini yang terpenting adalah meneruskan hidupnya. Membangun rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warahmah bersama Arman suaminya. Tak terasa kumandang adzan ashar membangunkan Arini. Segera dirinya membersihkan diri dan menyiapkan makan untuk makan malam untuk dirinya sendiri. Tak lupa pula, Arini menelepon suaminya."Assalamualaikum, Mas! Sudah pulang kerja belum?" tanya Arini saat Arman mengangkat teleponnya."Wa'alaikumsalam, Sayang! Belum, ini sebentar lagi juga pulang. Gimana di sana, Sayang? Baik-baik saja, kan?" tanya balik Arman."Alhamdulillah, Mas, semua baik-baik saja. Insyaa Allah lusa Arini sudah pulang, Mas. Besok Mas gak usah jemput Arini. Biar Arini naik ojek saja," kata Arini. Saat ini Arini sedang berada di ruang tamu."Ya
Setelah pertemuan Arman dan Sarah, Ibu Ida selalu membahas tentang hal itu. Hal itu membuat Arman jengah. Bagaimana tidak? Ibunya sendiri sengaja menjodohkan dia dengan Sarah. Padahal ibunya juga tahu kalau dia sudah menikah."Man ... Sarah itu sudah cantik, pinter pula ya berbisnis," celetuk Ibu Ida saat sedang makan malam. Arman yang memang enggan membahas Sarah, menyikapinya dingin."Emang begitu, ya, Bu? Boleh dong, kapan-kapan Bela dikenalin!" sahut adik perempuan Arman."Boleh! Ibu saja sering ditanya kapan mampir ke restorannya lagi. Besok kita ke sana, ya, Man? Ajak Bela sekalian," ucap Ibu Ida bersemangat."Ibu itu kenapa, sih? Ibu sadar gak kalau Arman itu sudah punya istri?" kata Arman dengan nada tinggi. Emosinya mulai tersulut karena rencana ibunya yang tak masuk akal. Arman beranjak dari meja makan menuju kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat."Lihat masmu itu, diajak enak sedikit aja gak mau!" sungut Ibu Ida. "Kamu harus dukung Ibu, Bela. Calon kakak iparmu yang ini b
Saat Bu Ida ikut masuk ke dalam kamar Bela, mereka merencanakan sesuatu agar Arman mau menuruti apa kata ibunya."Ibu mau pura-pura bunuh diri, nanti kamu teriak yang kenceng, ya, Bel? Biar Masmu itu dengar, oke?" ucap Ibu Ida pada Bela yang masih cemberut karena dibentak Arman."Iya, Bu!" dengan setengah menahan kesal."Satu ... dua ..." Ibu Ida mulai menghitung."Tiga! Cepat, Bel!" kata Ibu Ida lagi."Mas Arman! Ibu, Mas! Cepat ke sini!" teriak Bela kencang."Mas ... Mas Arman!" teriak Bela lebih kencang lagi. Arman lagi dengan tergopoh-gopoh menuju kamar Bela. Saat Sampai di kamar Bela, dirinya berteriak."Ibu!" teriak Arman. Arman melihat ibunya memegang pisau yang diletakkan di pergelangan tangan."Ibu jangan berpikiran nekat!" teriak Arman lagi. Ibunya menangis sesenggukan."Buat apa Ibu hidup, kalau anak Ibu laki-laki satu-satunya tak mau menuruti apa kata Ibu! Lebih baik Ibu mati saja!" ancam Ibu Ida saat itu. "Tapi, Bu ... Arman sudah punya Arini," suara Arman melemah, dia b
Arman memilih menunggu Arini di depan pintu kamar. Rasanya enggak untuk bergabung kembali bersama ibunya. Ada rasa kecewa yang besar terhadap sikap ibunya kali ini. Ingat sekali memberontak, tapi, yang Arman dapatkan hanyalah ancaman dari sang ibu."Ya Allah! Jauhkan keluarga hamba dari perpecahan!" ucap Arman lirih. Tangannya mengusap wajahnya kasar. Sementara, di dalam kamar ada Arini yang masih sesenggukan. "Mas, Arini punya kejutan untukmu. Tapi ... ternyata Arini yang terkejut," lirih Arini. Ditatapnya benda pipih yang menunjukkan dua garis itu. Sejatinya, benda itu akan diserahkan pada Arman saat dirinya sudah sampai di rumah.Karena lelah menangis, Arini sampai terlelap di tepi ranjang dengan posisi terduduk. Arman yang sudah tak mendengar isakan dari Arini, memberanikan diri untuk masuk ke dalam kamar. Sarah langsung pulang, saat Arman menyusul istrinya ke kamar. Perlahan Arman membuka pintu kamar. Arman mendekat di tempat istrinya tidur. Ingin sekali mengangkat dan membarin
Arman yang sedang dikejar deadline, saat Ibu Ida meneleponnya. KESAL? Tentu saja! Itu yang Arman rasakan saat ini."Kenapa, sih, Ibu ini? Arman lagi dikejar deadline, Bu!" sungut Arman kesal."Pokoknya Ibu gak mau tahu. Kamu harus pulang tepat waktu, Man! Ibu tunggu di rumah!" kata Ibu Ida saat menelepon Arman. Tanpa menunggu jawaban dari Arman, Ibu Ida menutup teleponnya.Kalau Ibu Ida sudah memerintah, maka mau tak mau harus dilaksanakan. Arman mengacak rambutnya kasar karena kelakuan ibunya itu."Arrghh!" teriak Arman. Terpaksa hari ini dia bawa pulang lagi pekerjaan yang belum dia selesaikan.Sedangkan di rumah, saat Arini masih berbaring di tempat tidur, tiba-tiba pintu kamarnya dibuka dengan kencang.BRAAKKK!Suara pintu yang cukup keras membuat Arini terkejut dan langsung berubah posisi dari tiduran ke berdiri."Ibu ..." lirih Arini. Tatapan mata Ibu Ida penuh dengan amarah dan kebencian. Dibelakang Ibu Ida, ada Salma, Bela dan juga Sarah yang tak mau ketinggalan adegan heboh.