Share

Bab 6. Surat Emak dan Bapak

Sepulang dari rumah Bi Imah, Arini mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Tidur siang adalah hal yang tepat Arini lakukan siang itu. Kotak kecil yang diberikan Bi Imah, dia letakkan di meja rias dalam kamarnya.

Rasa lelah hati tak Arini rasakan. Saat ini yang terpenting adalah meneruskan hidupnya. Membangun rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warahmah bersama Arman suaminya. 

Tak terasa kumandang adzan ashar membangunkan Arini. Segera dirinya membersihkan diri dan menyiapkan makan untuk makan malam untuk dirinya sendiri. Tak lupa pula, Arini menelepon suaminya.

"Assalamualaikum, Mas! Sudah pulang kerja belum?" tanya Arini saat Arman mengangkat teleponnya.

"W*'alaikumsalam, Sayang! Belum, ini sebentar lagi juga pulang. Gimana di sana, Sayang? Baik-baik saja, kan?" tanya balik Arman.

"Alhamdulillah, Mas, semua baik-baik saja. Insyaa Allah lusa Arini sudah pulang, Mas. Besok Mas gak usah jemput Arini. Biar Arini naik ojek saja," kata Arini. Saat ini Arini sedang berada di ruang tamu.

"Ya sudah. Kamu hati-hati kalau besok pulang, ya, Sayang! Jangan lupa kabari Mas dulu," sahut Arman.

"Iya, Mas. Ya sudah ... Mas kalau mau pulang, Arini tutup teleponnya, ya? Assalamualaikum!" Arini mengakhiri percakapan keduanya.

"W*'alaikumsalam!" balas Arman singkat.

Dua hari lagi Arini akan pulang ke kota. Pulang ke rumah mertua dan suaminya. Baju-baju sudah Arini tata dalam tas. Arini menikmati suasana kampung ini sebelum dirinya akan balik lagi ke kota esok lusa.

Saat sedang berjalan keliling kampung, Arini berpapasan dengan Bude Jamilah. Arini yang memang merasa tak punya dendam dan masalah, tetap menyapa budenya itu.

"Assalamualaikum, Bude!" sapa Arini. Bude Jamilah hanya melengos tak mengindahkan sapaan Arini, seperti orang yang tidak saling kenal.

Arini pun tak mau ambil pusing dengan sikap Bude Jamilah. Dia pun kembali meneruskan langkah menyusuri setiap tempat yang memiliki kenangan bersama Bapak dan Emaknya. Tanpa terasa, hari sudah menjelang Maghrib. Arini segera pulang ke rumah.

*****

Orang tua Arini tak memiliki anak selain dirinya. Jadi, saat orang tuanya telah tiada, Arini benar-benar tak ada teman ketika pulang kampung seperti ini. Selesai makan malam seorang diri, tak ada kegiatan yang bisa Arini lakukan. 

Saat Arini merenung, tiba-tiba dia teringat akan kotak kecil yang Bi Imah serahkan padanya. Diambilnya kotak kecil itu dari dalam kamar dan kembali lagi ke ruang tamu. Ada perasaan tak enak kala Arini melihat kembali kotak kecil itu.

"Bismillahirrahmanirrahim!" kata Arini saat dirinya mantap membuka kotak kecil itu.

Terdapat kertas, kain selendang batik dan juga kalung bertuliskan huruf 'A' di dalamnya. Lantas, Arini membuka perlahan kertas yang ada di dalam. Ternyata kertas itu adalah surat dari Bapak dan Emak. Arini pun lalu membaca surat tersebut.

Arini, Sayang ... anak Bapak dan Emak yang paling kami sayangi dan cintai. Mungkin, saat Arini menerima kotak kecil dari bibimu, Bapak dan Emak sudah tiada. Bapak dan Emak sengaja menitipkan kotak itu pada bibimu, karena hanya bibimu yang kami percaya. Emak minta bibimu menyerahkan kotak ini ketika Bapak dan Emak sudah tidak ada.

Arini ... lewat surat ini, ada hal penting yang ingin Emak sampaikan. Tapi, jangan sampai apa yang akan Emak sampaikan ini membuat Arini jadi membenci Bapak dan Emak, ya, Nak!

Tak kuasa melanjutkan membaca, Arini berhenti sejenak dan minum air untuk meredakan emosinya. Ditariknya nafas yang dalam dan dihembuskan secara perlahan. Setelah dirasa tenang, Arini kembali membaca lanjutan isi surat itu.

Arini ... sebenarnya, Arini bukanlah anak kandung Bapak dan Emak. Maafkan Bapak dan Emak yang tak sanggup memberitahukan kepadamu secara langsung. Karena, Bapak dan Emak sudah menganggap Arini seperti anak kandung kami sendiri. Jangan benci kami, ya, Nak! Kami tak memberitahumu karena takut kehilangan kamu, Arini! Bapak dan Emak tak sanggup jika harus kehilangan anak kami satu-satunya. 

Tak ada yang bisa kami berikan kecuali kain dan juga kalung emas yang dulu kamu pakai saat kami temukan. Gunakan dua benda itu untuk mencari tahu keberadaan orang tua kandungmu, Nak! Hanya itu petunjuk yang bisa kami berikan.

Kami menemukanmu tergeletak di pinggir sawah, Nak. Kondisimu saat itu memprihatikan. Kami yang merasa kasihan, lantas membawamu ke puskesmas dan memutuskan untuk merawatmu.

Satu pesan kami, Nak! Jangan benci orang tua kandungmu juga. Cari tahu penyebab mereka menelantarkanmu. Karena kita tidak tahu sebenarnya kamu ditelantarkan orang tua kandungmu sendiri atau sebelumnya kamu diculik atau dijual. Tetaplah berpikiran positif, ya, Nak!

Oh ya, Arini. Sertifikat rumah ini ada di bank dan hanya Arini yang bisa mengambilnya, karena kami hanya mendaftarkan kamu sebagai ahli waris kami. Keluarga Bapak dan Emak tak berhak mencampuri urusan rumah itu, karena kami membelinya sendiri tanpa campur tangan kedua orang tua kami. Dan sekarang, rumah itu kami serahkan padamu, Nak.

Semoga, calon suamimu kelak bisa membawamu dan membimbingmu senantiasa di jalan yang benar, ya, Nak! Doa kami selalu menyertaimu, anakku sayang.  

Terima kasih, Arini! Kamu sudah hadir sebagai pelengkap dalam kehidupan kami. Kamu sudah menjadi penyemangat hidup kami. Lanjutkan dan teruskan apa yang menjadi cita-citamu, Nak. Semoga kelak, kita dipertemukan di surga-Nya. Aamiin ....

*****

Tak terasa, air mata Arini sudah membanjiri wajahnya. Sekarang Arini paham, kenapa selama ini keluarga Bapak dan Emaknya tidak pernah suka dengan kehadirannya. Ternyata ini alasan yang selama ini tidak Arini ketahui. Dia bukanlah anak dari Pak Broto dan Bu Yayuk.

Perasaan Arini saat ini hancur. Tak tahu lagi pada siapa dirinya harus mengadu. Tapi, menangis pun tak ada gunanya. Sekarang, Arini punya misi baru untuk menemukan keberadaan orang tua kandungan dan menanyakan alasan kenapa membuangnya saat itu.

"Besok aku harus ke tempat Bude Jamilah! Ya! Semoga dari Bude, aku bisa mendapatkan petunjuk yang lain," gumam Arini seorang diri.

Arini tak peduli dengan reaksi yang akan budenya itu berikan. Karena, selama ini yang paling vokal menyatakan kebenciannya pada Arini hanya dia. Dan sebelum balik ke kota, rencananya Arini akan ke bank untuk mengambil sertifikat rumah orang tuanya. Karena Arini akan membawanya serta balik ke kota.

*****

Keesokan harinya, seperti yang Arini rencanakan, dirinya akan ke rumah Bude Jamilah. Jarak rumah Bude Jamilah hanya berselisih delapan rumah, jadi tak perlu lagi minta bantuan Mang Jaja.

"Eh! Ngapain anak pembawa s*Al pagi-pagi kesini? Mau minta sumbangan? Gak ada! Pergi sana!" kata-kata pedas terlontar begitu saja dari mulut Bude Jamilah. Belum juga Arini menginjakkan kaki di rumahnya, Bude Jamilah sudah mengusirnya.

"Bude ... Arini mau tanya sama Bude. Salah Arini apa, Bude? Sampai Bude sebegitu bencinya dengan Arini?" tanya Arini dengan nada bicara kecewa.

"Kamu masih tanya salahmu apa? Hah?! Salah kamu adalah kamu dilahirkan di dunia ini! Paham kamu?" teriak Bude Jamilah memekikkan telinga.

"Maksud Bude apa? Bude pasti juga tahu kalau Arini ini hanya anak angkat, kan?" Pertanyaan Arini sontak membuat Bude Jamilah kaget. Tapi itu hanya sebentar saja.

"Oh, jadi kamu sudah tahu rupanya? Baguslah! Gara-gara kamu kakakku meninggal!" ucap Bude Jamilah dengan kata-kata yang sama seperti kemarin.

"Itu sudah takdir, Bude. Arini juga gak mau seperti itu. Tapi, Allah berkata lain, Bude," ucap Arini mengingatkan Bude Jamilah.

"Kalau kakakku gak memaksa mengangkatmu jadi anaknya, pasti sampai saat ini mereka masih ada. Sadar, Arini! Orang tua kandungmu saja membuangmu, pasti ada sesuatu yang tak beres dari dirimu!" ucapan pedas terlontar lagi dari mulut Bude Jamilah.

"Astagfirullah hal adzim, Bude! Istighfar, Bude! Gak baik bicara seperti itu," sahut Arini mengingatkan.

"Halah! Coba kamu pikir, mana ada orang tua kandung membuang bayinya ke sawah begitu saja kalau bayi itu tak ada masalah! Mungkin memang kamu lahir karena tak diinginkan!" sindir Bude Jamilah.

Deg!

Perkataan Bude Jamilah barusan berhasil membuat Arini terpaku. Bisa jadi, apa yang dikatakan Bude Jamilah itu ada benarnya. Mungkin dirinya lahir karena tak diinginkan, makanya orang tuanya membuangnya. Air matanya berhasil menetes. 

Tanpa memperdulikan lagi apa perkataan budenya, Arini berjalan tertatih pulang menuju rumah orang tuanya. Hatinya saat ini benar-benar hancur. Harapan untuk tahu petunjuk dimana keberadaan orang tuanya sirna, karena Arini termakan omongan Bude Jamilah.

"Biarlah, aku tak perlu mencari keberadaan orang tuaku. Bagiku Bapak dan Emak adalah orang tua kandungku. Tak ada lagi orang tuaku yang lain! Ya ... sepertinya aku harus melupakannya. Jangan sampai nantinya, aku akan kecewa kalau tahu kenyataan yang ada tak sesuai harapanku," kata Arini dalam hati.

Disimpannya kotak kecil itu di dalam tas. Besok saat Arini pulang, kotak kecil itu akan dia bawa ikut serta pulang ke rumah.

bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status