Sepulang dari rumah Bi Imah, Arini mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Tidur siang adalah hal yang tepat Arini lakukan siang itu. Kotak kecil yang diberikan Bi Imah, dia letakkan di meja rias dalam kamarnya.
Rasa lelah hati tak Arini rasakan. Saat ini yang terpenting adalah meneruskan hidupnya. Membangun rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warahmah bersama Arman suaminya.
Tak terasa kumandang adzan ashar membangunkan Arini. Segera dirinya membersihkan diri dan menyiapkan makan untuk makan malam untuk dirinya sendiri. Tak lupa pula, Arini menelepon suaminya.
"Assalamualaikum, Mas! Sudah pulang kerja belum?" tanya Arini saat Arman mengangkat teleponnya.
"W*'alaikumsalam, Sayang! Belum, ini sebentar lagi juga pulang. Gimana di sana, Sayang? Baik-baik saja, kan?" tanya balik Arman.
"Alhamdulillah, Mas, semua baik-baik saja. Insyaa Allah lusa Arini sudah pulang, Mas. Besok Mas gak usah jemput Arini. Biar Arini naik ojek saja," kata Arini. Saat ini Arini sedang berada di ruang tamu.
"Ya sudah. Kamu hati-hati kalau besok pulang, ya, Sayang! Jangan lupa kabari Mas dulu," sahut Arman.
"Iya, Mas. Ya sudah ... Mas kalau mau pulang, Arini tutup teleponnya, ya? Assalamualaikum!" Arini mengakhiri percakapan keduanya.
"W*'alaikumsalam!" balas Arman singkat.
Dua hari lagi Arini akan pulang ke kota. Pulang ke rumah mertua dan suaminya. Baju-baju sudah Arini tata dalam tas. Arini menikmati suasana kampung ini sebelum dirinya akan balik lagi ke kota esok lusa.
Saat sedang berjalan keliling kampung, Arini berpapasan dengan Bude Jamilah. Arini yang memang merasa tak punya dendam dan masalah, tetap menyapa budenya itu.
"Assalamualaikum, Bude!" sapa Arini. Bude Jamilah hanya melengos tak mengindahkan sapaan Arini, seperti orang yang tidak saling kenal.
Arini pun tak mau ambil pusing dengan sikap Bude Jamilah. Dia pun kembali meneruskan langkah menyusuri setiap tempat yang memiliki kenangan bersama Bapak dan Emaknya. Tanpa terasa, hari sudah menjelang Maghrib. Arini segera pulang ke rumah.
*****
Orang tua Arini tak memiliki anak selain dirinya. Jadi, saat orang tuanya telah tiada, Arini benar-benar tak ada teman ketika pulang kampung seperti ini. Selesai makan malam seorang diri, tak ada kegiatan yang bisa Arini lakukan.
Saat Arini merenung, tiba-tiba dia teringat akan kotak kecil yang Bi Imah serahkan padanya. Diambilnya kotak kecil itu dari dalam kamar dan kembali lagi ke ruang tamu. Ada perasaan tak enak kala Arini melihat kembali kotak kecil itu.
"Bismillahirrahmanirrahim!" kata Arini saat dirinya mantap membuka kotak kecil itu.
Terdapat kertas, kain selendang batik dan juga kalung bertuliskan huruf 'A' di dalamnya. Lantas, Arini membuka perlahan kertas yang ada di dalam. Ternyata kertas itu adalah surat dari Bapak dan Emak. Arini pun lalu membaca surat tersebut.
Arini, Sayang ... anak Bapak dan Emak yang paling kami sayangi dan cintai. Mungkin, saat Arini menerima kotak kecil dari bibimu, Bapak dan Emak sudah tiada. Bapak dan Emak sengaja menitipkan kotak itu pada bibimu, karena hanya bibimu yang kami percaya. Emak minta bibimu menyerahkan kotak ini ketika Bapak dan Emak sudah tidak ada.
Arini ... lewat surat ini, ada hal penting yang ingin Emak sampaikan. Tapi, jangan sampai apa yang akan Emak sampaikan ini membuat Arini jadi membenci Bapak dan Emak, ya, Nak!
Tak kuasa melanjutkan membaca, Arini berhenti sejenak dan minum air untuk meredakan emosinya. Ditariknya nafas yang dalam dan dihembuskan secara perlahan. Setelah dirasa tenang, Arini kembali membaca lanjutan isi surat itu.
Arini ... sebenarnya, Arini bukanlah anak kandung Bapak dan Emak. Maafkan Bapak dan Emak yang tak sanggup memberitahukan kepadamu secara langsung. Karena, Bapak dan Emak sudah menganggap Arini seperti anak kandung kami sendiri. Jangan benci kami, ya, Nak! Kami tak memberitahumu karena takut kehilangan kamu, Arini! Bapak dan Emak tak sanggup jika harus kehilangan anak kami satu-satunya.
Tak ada yang bisa kami berikan kecuali kain dan juga kalung emas yang dulu kamu pakai saat kami temukan. Gunakan dua benda itu untuk mencari tahu keberadaan orang tua kandungmu, Nak! Hanya itu petunjuk yang bisa kami berikan.
Kami menemukanmu tergeletak di pinggir sawah, Nak. Kondisimu saat itu memprihatikan. Kami yang merasa kasihan, lantas membawamu ke puskesmas dan memutuskan untuk merawatmu.
Satu pesan kami, Nak! Jangan benci orang tua kandungmu juga. Cari tahu penyebab mereka menelantarkanmu. Karena kita tidak tahu sebenarnya kamu ditelantarkan orang tua kandungmu sendiri atau sebelumnya kamu diculik atau dijual. Tetaplah berpikiran positif, ya, Nak!
Oh ya, Arini. Sertifikat rumah ini ada di bank dan hanya Arini yang bisa mengambilnya, karena kami hanya mendaftarkan kamu sebagai ahli waris kami. Keluarga Bapak dan Emak tak berhak mencampuri urusan rumah itu, karena kami membelinya sendiri tanpa campur tangan kedua orang tua kami. Dan sekarang, rumah itu kami serahkan padamu, Nak.
Semoga, calon suamimu kelak bisa membawamu dan membimbingmu senantiasa di jalan yang benar, ya, Nak! Doa kami selalu menyertaimu, anakku sayang.
Terima kasih, Arini! Kamu sudah hadir sebagai pelengkap dalam kehidupan kami. Kamu sudah menjadi penyemangat hidup kami. Lanjutkan dan teruskan apa yang menjadi cita-citamu, Nak. Semoga kelak, kita dipertemukan di surga-Nya. Aamiin ....
*****
Tak terasa, air mata Arini sudah membanjiri wajahnya. Sekarang Arini paham, kenapa selama ini keluarga Bapak dan Emaknya tidak pernah suka dengan kehadirannya. Ternyata ini alasan yang selama ini tidak Arini ketahui. Dia bukanlah anak dari Pak Broto dan Bu Yayuk.
Perasaan Arini saat ini hancur. Tak tahu lagi pada siapa dirinya harus mengadu. Tapi, menangis pun tak ada gunanya. Sekarang, Arini punya misi baru untuk menemukan keberadaan orang tua kandungan dan menanyakan alasan kenapa membuangnya saat itu.
"Besok aku harus ke tempat Bude Jamilah! Ya! Semoga dari Bude, aku bisa mendapatkan petunjuk yang lain," gumam Arini seorang diri.
Arini tak peduli dengan reaksi yang akan budenya itu berikan. Karena, selama ini yang paling vokal menyatakan kebenciannya pada Arini hanya dia. Dan sebelum balik ke kota, rencananya Arini akan ke bank untuk mengambil sertifikat rumah orang tuanya. Karena Arini akan membawanya serta balik ke kota.
*****
Keesokan harinya, seperti yang Arini rencanakan, dirinya akan ke rumah Bude Jamilah. Jarak rumah Bude Jamilah hanya berselisih delapan rumah, jadi tak perlu lagi minta bantuan Mang Jaja.
"Eh! Ngapain anak pembawa s*Al pagi-pagi kesini? Mau minta sumbangan? Gak ada! Pergi sana!" kata-kata pedas terlontar begitu saja dari mulut Bude Jamilah. Belum juga Arini menginjakkan kaki di rumahnya, Bude Jamilah sudah mengusirnya.
"Bude ... Arini mau tanya sama Bude. Salah Arini apa, Bude? Sampai Bude sebegitu bencinya dengan Arini?" tanya Arini dengan nada bicara kecewa.
"Kamu masih tanya salahmu apa? Hah?! Salah kamu adalah kamu dilahirkan di dunia ini! Paham kamu?" teriak Bude Jamilah memekikkan telinga.
"Maksud Bude apa? Bude pasti juga tahu kalau Arini ini hanya anak angkat, kan?" Pertanyaan Arini sontak membuat Bude Jamilah kaget. Tapi itu hanya sebentar saja.
"Oh, jadi kamu sudah tahu rupanya? Baguslah! Gara-gara kamu kakakku meninggal!" ucap Bude Jamilah dengan kata-kata yang sama seperti kemarin.
"Itu sudah takdir, Bude. Arini juga gak mau seperti itu. Tapi, Allah berkata lain, Bude," ucap Arini mengingatkan Bude Jamilah.
"Kalau kakakku gak memaksa mengangkatmu jadi anaknya, pasti sampai saat ini mereka masih ada. Sadar, Arini! Orang tua kandungmu saja membuangmu, pasti ada sesuatu yang tak beres dari dirimu!" ucapan pedas terlontar lagi dari mulut Bude Jamilah.
"Astagfirullah hal adzim, Bude! Istighfar, Bude! Gak baik bicara seperti itu," sahut Arini mengingatkan.
"Halah! Coba kamu pikir, mana ada orang tua kandung membuang bayinya ke sawah begitu saja kalau bayi itu tak ada masalah! Mungkin memang kamu lahir karena tak diinginkan!" sindir Bude Jamilah.
Deg!
Perkataan Bude Jamilah barusan berhasil membuat Arini terpaku. Bisa jadi, apa yang dikatakan Bude Jamilah itu ada benarnya. Mungkin dirinya lahir karena tak diinginkan, makanya orang tuanya membuangnya. Air matanya berhasil menetes.
Tanpa memperdulikan lagi apa perkataan budenya, Arini berjalan tertatih pulang menuju rumah orang tuanya. Hatinya saat ini benar-benar hancur. Harapan untuk tahu petunjuk dimana keberadaan orang tuanya sirna, karena Arini termakan omongan Bude Jamilah.
"Biarlah, aku tak perlu mencari keberadaan orang tuaku. Bagiku Bapak dan Emak adalah orang tua kandungku. Tak ada lagi orang tuaku yang lain! Ya ... sepertinya aku harus melupakannya. Jangan sampai nantinya, aku akan kecewa kalau tahu kenyataan yang ada tak sesuai harapanku," kata Arini dalam hati.
Disimpannya kotak kecil itu di dalam tas. Besok saat Arini pulang, kotak kecil itu akan dia bawa ikut serta pulang ke rumah.
bersambung ....
Setelah pertemuan Arman dan Sarah, Ibu Ida selalu membahas tentang hal itu. Hal itu membuat Arman jengah. Bagaimana tidak? Ibunya sendiri sengaja menjodohkan dia dengan Sarah. Padahal ibunya juga tahu kalau dia sudah menikah."Man ... Sarah itu sudah cantik, pinter pula ya berbisnis," celetuk Ibu Ida saat sedang makan malam. Arman yang memang enggan membahas Sarah, menyikapinya dingin."Emang begitu, ya, Bu? Boleh dong, kapan-kapan Bela dikenalin!" sahut adik perempuan Arman."Boleh! Ibu saja sering ditanya kapan mampir ke restorannya lagi. Besok kita ke sana, ya, Man? Ajak Bela sekalian," ucap Ibu Ida bersemangat."Ibu itu kenapa, sih? Ibu sadar gak kalau Arman itu sudah punya istri?" kata Arman dengan nada tinggi. Emosinya mulai tersulut karena rencana ibunya yang tak masuk akal. Arman beranjak dari meja makan menuju kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat."Lihat masmu itu, diajak enak sedikit aja gak mau!" sungut Ibu Ida. "Kamu harus dukung Ibu, Bela. Calon kakak iparmu yang ini b
Saat Bu Ida ikut masuk ke dalam kamar Bela, mereka merencanakan sesuatu agar Arman mau menuruti apa kata ibunya."Ibu mau pura-pura bunuh diri, nanti kamu teriak yang kenceng, ya, Bel? Biar Masmu itu dengar, oke?" ucap Ibu Ida pada Bela yang masih cemberut karena dibentak Arman."Iya, Bu!" dengan setengah menahan kesal."Satu ... dua ..." Ibu Ida mulai menghitung."Tiga! Cepat, Bel!" kata Ibu Ida lagi."Mas Arman! Ibu, Mas! Cepat ke sini!" teriak Bela kencang."Mas ... Mas Arman!" teriak Bela lebih kencang lagi. Arman lagi dengan tergopoh-gopoh menuju kamar Bela. Saat Sampai di kamar Bela, dirinya berteriak."Ibu!" teriak Arman. Arman melihat ibunya memegang pisau yang diletakkan di pergelangan tangan."Ibu jangan berpikiran nekat!" teriak Arman lagi. Ibunya menangis sesenggukan."Buat apa Ibu hidup, kalau anak Ibu laki-laki satu-satunya tak mau menuruti apa kata Ibu! Lebih baik Ibu mati saja!" ancam Ibu Ida saat itu. "Tapi, Bu ... Arman sudah punya Arini," suara Arman melemah, dia b
Arman memilih menunggu Arini di depan pintu kamar. Rasanya enggak untuk bergabung kembali bersama ibunya. Ada rasa kecewa yang besar terhadap sikap ibunya kali ini. Ingat sekali memberontak, tapi, yang Arman dapatkan hanyalah ancaman dari sang ibu."Ya Allah! Jauhkan keluarga hamba dari perpecahan!" ucap Arman lirih. Tangannya mengusap wajahnya kasar. Sementara, di dalam kamar ada Arini yang masih sesenggukan. "Mas, Arini punya kejutan untukmu. Tapi ... ternyata Arini yang terkejut," lirih Arini. Ditatapnya benda pipih yang menunjukkan dua garis itu. Sejatinya, benda itu akan diserahkan pada Arman saat dirinya sudah sampai di rumah.Karena lelah menangis, Arini sampai terlelap di tepi ranjang dengan posisi terduduk. Arman yang sudah tak mendengar isakan dari Arini, memberanikan diri untuk masuk ke dalam kamar. Sarah langsung pulang, saat Arman menyusul istrinya ke kamar. Perlahan Arman membuka pintu kamar. Arman mendekat di tempat istrinya tidur. Ingin sekali mengangkat dan membarin
Arman yang sedang dikejar deadline, saat Ibu Ida meneleponnya. KESAL? Tentu saja! Itu yang Arman rasakan saat ini."Kenapa, sih, Ibu ini? Arman lagi dikejar deadline, Bu!" sungut Arman kesal."Pokoknya Ibu gak mau tahu. Kamu harus pulang tepat waktu, Man! Ibu tunggu di rumah!" kata Ibu Ida saat menelepon Arman. Tanpa menunggu jawaban dari Arman, Ibu Ida menutup teleponnya.Kalau Ibu Ida sudah memerintah, maka mau tak mau harus dilaksanakan. Arman mengacak rambutnya kasar karena kelakuan ibunya itu."Arrghh!" teriak Arman. Terpaksa hari ini dia bawa pulang lagi pekerjaan yang belum dia selesaikan.Sedangkan di rumah, saat Arini masih berbaring di tempat tidur, tiba-tiba pintu kamarnya dibuka dengan kencang.BRAAKKK!Suara pintu yang cukup keras membuat Arini terkejut dan langsung berubah posisi dari tiduran ke berdiri."Ibu ..." lirih Arini. Tatapan mata Ibu Ida penuh dengan amarah dan kebencian. Dibelakang Ibu Ida, ada Salma, Bela dan juga Sarah yang tak mau ketinggalan adegan heboh.
Dokter masuk lagi ke ruangan Arini. Saat ini Arini dalam kondisi sadar dan sudah stabil. Biarpun mengalami pendarahan, tapi janin yang ada di dalam perut Arini masih bisa bertahan."Bagaimana kondisinya sekarang, Bu Arini? Sudah lebih baik?" tanya Dokter Enny dengan senyum ramah."Alhamdulillah, Dok. Terima kasih, Dok, sudah menyelamatkan janin saya," ucap Arini. Arini tak henti-hentinya menangis kala tahu kalau dirinya pendarahan."Bukan saya, Bu. Tapi Allah yang sudah membuat janin Ibu kuat. Pesan saya, Ibu jangan kerja yang berat-berat dan jangan terlalu banyak pikiran, ya, Bu!" nasehat Dokter hanya Arini tanggapi dengan anggukan.Bagaimana mungkin dirinya bisa berisitirahat kalau di rumah mertuanya saja selalu ada saja yang harus dia kerjakan. Bukan Arini ingin dimanja, tapi keadaannya yg sedang hamil memang tak seperti sebelum hamil.Pernah Ibu Ida berkata, kalau dulu saat hamil anak-anaknya, Beliau masih bisa melakukan semua pekerjaan rumah. "Tapi, Bu ... tidak semua wanita bis
Selama hamil dan memiliki pembantu, Arini lebih sering berada dalam kamar. Menghindari perdebatan dengan Ibu Mertua atau Bela. Saat ini usia kandungan Arini sudah memasuki usia enam belas Minggu atau empat bulan.Rencananya, Arman akan mengadakan pengajian esok lusa untuk mendoakan untuk keselamatan istri dan calon anaknya. Persiapannya sudah diserahkan pada Ibu Ida dan Tuti."Bu, persiapan untuk pengajian bagaimana? Adakah yang kurang?" tanya Arman sebelum berangkat ke kantor."Sudah siap semuanya, Man. Kamu tenang saja," balas Ibu Ida."Syukurlah!" jawab Arman singkatTuti yang sedang menghidangkan sarapan, matanya tak lepas dari sang majikan. Semakin hari, pesona Arman di mata Tuti semakin besar. Rasa ingin memiliki pun juga bertambah besar."Sayang, jaga diri baik-baik, ya? Mas berangkat kerja dulu," pamit Arman seraya mencium kening dan perut Arini.Tuti yang melihatnya, menatap mereka dengan tatapan tak suka. Cemburu! Ya, Tuti cemburu pada Arini yang mendapat perhatian lebih dar
"Saya tahu Mbak Sarah ingin menyingkirkan Mbak Arini dari rumah ini," kata Tuti dengan senyum mengembang. Sarah yang mendengarnya pun kaget."Gak usah kaget gitu, Mbak. Tuti itu bisa nebak muka orang," ucap Tuti terkekeh."Gimana kalau kita kerjasama, Mbak? Tapi ..." ucap Tuti terputus."Tapi apa?" tanya Sarah. Tuti tersenyum sembari menaikturunkan alisnya."Gak ada yang gratis, Mbak!" kekeh Tuti pelan. Tuti memang terpesona dengan Arman. Tapi, kalau ada kesempatan mencari uang lebih, dia akan melakukan segala cara untuk mendapatkannya."Bisa dipercaya gak kamu?" jawab Sarah yang ragu karena belum mengenal Tuti."Jangan ragu sama Tuti, Mbak. Dijamin beres!" Tuti mengacungkan jempol pada Sarah. Senyum Sarah pun mengembang dari bibirnya.Karena tak mau ada yang curiga, Sarah meminta nomor telepon Tuti. Setelah itu, Sarah berlalu meninggalkan rumah Arman.*****Arini yang kelelahan memilih untuk langsung masuk ke kamar. Sedangkan Arman bersama Ibu Ida dan juga kakak adiknya masih berada
"Jangan-jangan itu bukan anak Mas Arman, Tan," Sarah mulai meracuni pikiran Ibu Ida."Ah gak mungkin, Sarah! Arini itu gak pernah kemana-mana," ucap Ibu Ida. "Tante yakin?" tanya Sarah. Sarah mencari cara agar Ibu Ida yakin padanya."Eh tapi ... memang, sih, Arini sempat keluar beberapa kali dan terakhir dia pulang kampung," kata Ibu Ida. Sarah tersenyum menyeringai, melihat adanya celah untuk menghasut Ibu Ida."Nah, kan, Tan! Tante juga gak tahu di luar sana Arini gimana dan ngelakuin apa aja," ujar Sarah makin percaya diri."Ah masak, sih?" Ibu Ida masih saja ragu dengan perkataan Sarah. Karena, biar bagaimanapun, selama ini Arini memang tidak pernah bersikap aneh atau neko-neko."Nanti kita cari bukti, Tan. Biar Tante yakin, nanti Sarah bantu," tawar Sarah. Ibu Ida yang memang tidak suka dengan Arini, setuju saja dengan saran Sarah.*****Sementara itu, Arini sudah sampai di rumah sakit dan sedang menunggu nomor antriannya dipanggil. Rahman menunggu di luar, karena tadi Arini mem