Share

3.

Riani langsung berbalik badan, menggeret koper yang sudah ia siapkan tadi. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Namun, dari wajahnya sudah terlihat jelas amarah yang terpendam. Rasa bersalah merajai hati. Ingin kupeluk ia, tapi takut jika istriku itu menolak.

Akhirnya, aku menyusul Riani setelah lebih dulu mengunci pintu. Mobil kami pun sudah tidak ada di garasi karena sudah dijual. Riani berdiri di samping koper sambil mengusap perutnya yang buncit. Tangisnya sudah reda.

"Mau ke mana, Mbak Riani?"

Mbak Anis, tetangga yang rumahnya berhadapan dengan kami berdua menyapa. Aku tersenyum sambil mengangguk. Wanita itu kulihat baru saja ke luar rumah.

"Saya titip rumah ya, Mbak. Mau ada urusan dulu di luar beberapa hari," jawab Riani.

Napasku sudah tertahan tadinya, takut Riani akan berkata seiya-iyanya karena tengah menahan amarah.

"Hati-hati ya, Mbak Riani," kata Mbak Anis.

Taksi online sudah datang ke hadapan kami. Aku angkat koper, lalu memasukkan ke bagasi mobil.

"Eh, Mbak Riani. Mau kabur dari hutang, Mbak?"

Kepala istriku langsung menoleh ke sumber suara di mana sudah hafal di luar kepala kalau itu Bu Mery. Dia terkenal di komplek ini sebagai CCTV berjalan.

"Jangan begitu, Bu. Kalau di kemudian hari Bu Mery yang terlilit hutang, gimana?" jawab istriku dengan suara dingin.

Aku mengangguk sedikit ke arah Bu Mery karena tak enak sambil tersenyum tipis. Bu Mery mencebik sambil menggerutu ke arah Mbak Anies. Mungkin untuk mencari dukungan.

"Ayo, masuk, Ri."

Alih-alih masuk, Riani justru menatap perutnya sambil mengusap air mata yang lagi-lagi turun. Kulihat helaan napasnya yang berat, kemudian masuk mobil tanpa memandangku yang duduk di sampingnya. Supir mulai melajukan kendaraan. Riani tetap pada posisinya, mengusap perut sambil menatap jalanan yang basah oleh gerimis.

Ponselku berdering, tertera nama Sigit di sana. Kuangkat telepon darinya sedikit berbisik.

"Gimana, Git? Aku lagi perjalanan ke rumahmu."

"Aku tunggu kedatangan kalian di istanaku," jawab Sigit di seberang sana. Lalu dimatikan sepihak.

"Di depan, belok kiri, Bang," ucapku memberi perintah.

Tempatku dengan rumah Sigit memang tak begitu jauh. Hanya 20 menit perjalanan, sudah sampai. Jarak 10 meter, terlihat rumah bak istana seperti kata Sigit tadi. Rumah bercat putih dengan dua patung burung elang di depan rumah menambah kesan elit.

Sesampainya di sana, setelah tak lupa membayar biaya perjalanan, kugandeng Riani masuk ke rumah Sigit. Tangannya begitu dingin setara dengan wajahnya saat ini. Jujur saja, melihat kemewahan ini membuatku semangat akan tujuanku kali ini. Pasti bisalah aku mengikuti jejak Sigit.

"Pak Sigitnya sedang berenang, Pak. Nanti saya panggilkan," ujar pembantu Sigit. Aku mengangguk.

Ketika kami berdua tengah duduk menunggu datangnya Sigit, ada satu wanita cantik dengan riasan tipis duduk di samping Riani sambil menggenggam tangannya. Apa dia istri Sigit? Wanita itu mengelus perut istriku dengan tatapan iba, sedangkan Riani kembali berkaca-kaca.

"Nggak pa-pa. Kalau mau punya jabang bayi yang sehat memang harus punya ekonomi yang kuat, Cah Ayu. Berkorban satu anak untuk meraih kejayaan hidup itu sebanding."

Glek! Kutelan ludah secara kasar. Agak-agak rupanya wanita ini. Mata Riani yang semula berkaca-kaca dengan raut sedih kini menganga.

"Jangan dengarkan Lembayung, Mbak. Memiliki anak apa lagi kosong lama sepertimu pasti sangat membahagiakan dibanding janin hilang secara tiba-tiba!" sela wanita yang baru ke luar dari ruangan entah apa itu.

"Asmarani!"

Wanita itu mencebik setelah datangnya Sigit. Lelaki itu ke luar dari pintu kaca sambil memakai kimono mandi. Matanya kulihat menahan amarah menatap wanita yang disebut Asmarani.

"Benarkan apa yang kubilang, Mas?!"

Aku salut pada Asmarani. Ia menyalak di hadapan Sigit seolah tak gentar dengan perawakan suaminya. Mungkin rasa kesal sudah tak dapat dibendung. Menoleh ke arah Riani, ternyata ia tengah menatapku. Kutelan ludah susah payah. Pasti keraguannya semakin merajai hati.

"Masuk kamarmu!" bentak Sigit. Asmarani terlihat menghentakkan kaki, wajahnya kesal bukan kepalang.

Kulihat Riani kini menatap ke lantai, ada air mata yang jatuh ke pipi tapi segera ia usap dengan punggung tangan. Kuusap bahunya agar ia tenang, tapi justru ia duduk menjauh. Kini Sigit membuka pintu kamar yang Asmarani buka, tak lama, ternyata ia hanya berganti pakaian.

Kami berdua diminta Sigit untuk bergegas mengikutinya. Ternyata ke arah mobil Toyota Vellfire. Gila! Ini gila! Jika aku berhasil dalam pesugihan ini, mobil seharga satu setengah milyar ini dapat dijangkau dengan mudah! Kutarik tangan Riani yang melambat. Rasa ragu dalam hatiku kini hilang. Melihat wajah Riani yang menunduk sejak tadi membuatku muak.

"Kamu mau kita kaya apa enggak?! Jangan lelet!"

Riani melepaskan genggaman tanganku. "Mas, kamu pikir apa yang kita lakuin ini benar?" Matanya tetap berkaca-kaca sejak pagi.

"Riani! Kamu lihat mobil Sigit! Bukan nggak mungkin aku bisa belikan mansion yang kamu inginkan! Meski anak kita akan jadi tumbal pun aku tetap cinta sama kamu. Anggap saja, ini sebagai ujian pernikahan kita sebelum kita hidup enak! Percaya saja padaku, Riani!" ujarku menggebu-gebu.

"Wajar, Ndri, karena istrimu baru mau memulai. Kamu lihat Lembayung? Dia justru menikmati semua kekayaan milik kami ini. Dulu dia pun sama seperti istrimu," sahut Sigit mulai duduk di kursi samping supir.

Sepertinya semua pembantu dan supir rekanku ini sudah tahu tentang pesugihan tuannya, hingga mendengar hal-hal begini pun mereka diam saja. Hebatnya kekuatan uang itu. Kutarik Riani untuk masuk ke kursi belakang bersampingan denganku. Mobil mulai melaju. Kuhirup aroma kekayaan yang hendak datang ini dengan senyum semringah.

***

Entah berapa lama perjalanan, aku tertidur. Ternyata begini rasanya tidur di mobil mewah. Aku memang sempat berkecukupan, namun tak seperti Sigit. Mobil ini membawa kami ke daerah perkampungan di mana kiri kanan banyak sekali pohon bambu yang sangat rindang.

Kulihat jam di pergelangan tangan, jam menunjukkan pukul dua pagi. Deburan ombak pun lamat-lamat kudengar nan jauh di sana. Kulihat Riani, ia pun tertidur dengan leher memakai bantal pemberian dari Asmarani saat kami hendak pergi.

Mobil berhenti. Aku tak melihat apa pun di depan sana, hanya kegelapan dan suara alam. Kubangunkan istriku, ia berdeham kemudian membuka mata. Begitu turun dari mobil, kami berdiri di antara bebatuan dan bersebelahan dengan jurang. Sigit memanggilku untuk mengikutinya.

Sigit berada paling depan, istriku di tengah, sedangkan aku di belakang. Jalanan hanya cukup untuk satu orang. Sepanjang perjalanan, mataku semakin tajam menatap sekitar karena kurasa ada yang mengintai setiap aku melangkah. Pegangan Riani pun mengeras pada tanganku, sepertinya, lelembut di tempat ini menyambut kami.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status