"Di mana dia? Kenapa tiba-tiba menghilang?" seru salah seorang lelaki yang mengejar Mita.
"Dia pasti sembunyi di sekitar sini. Enggak mungkin dia menghilang gitu aja," timpal laki-laki yang lain.
Mita yang mendengar suara itu menjadi gusar. Dia takut persembunyiannya akan diketahui para laki-laki hidung belang yang mengejarnya.
"Enggak usah takut. Lo aman sama gue," bisik Rayyan santai sembari melepas jumper hoodie-nya.
"Kamu mau ngapain?" Raut Mita mendadak tegang.
"Lo pake aja. Mereka pasti udah hafal warna baju lo." Tanpa aba-aba Rayyan memakaikan jaketnya ke badan Mita. Mita yang panik hanya diam menurut.
Sesaat kemudian, Mita terkesiap ketika tangan Rayyan menariknya ke dalam dekapan, membelakangi tirai yang disibak dengan paksa.
"Eh, sorry. Lihat cewek pake kaus warna biru muda? Rambut panjang, diikat ekor kuda. Dia menghilang di sekitar sini," tanya seorang laki-laki yang suaranya Mita kenal. Laki-laki yang sejak tadi mengikuti ke mana saja Lia melangkah.
"Enggak. Dari tadi cuma berdua sama pacar gue," jawab Rayyan tegas. "Can you go? You're disturbing us."
Melihat laki-laki itu menatap curiga, Rayyan bergerak cepat. Diraihnya dagu Mita dan mengecup bibir gadis itu dengan lembut.
"Oh, sorry," ujar laki-laki itu merasa tidak enak hati. Dia pun pergi meninggalkan Rayyan dan Mita.
Merasa sutuasi sudah aman, Mita mendorong dada bidang Rayyan. Dia tidak menyangka Rayyan akan memanfaatkan kesempatan itu untuk mengambil first kiss-nya.
Mita dengan cepat melepas jumper dan mengembalikannya pada Rayyan. "Thank's for your help. But you shouldn't have to kiss my lips," ucapnya lalu pergi begitu saja tanpa berani menatap rupa Rayyan karena dadanya mendadak bergemuruh.
"Hei, tunggu! Lo bisa ketahuan kalo lepas jaket gue!" Rayyan dengan cepat menangkap pergelangan tangan Mita.
"Kalo aku pake jaket kamu, enggak tahu harus gimana balikinnya nanti," aku Mita. Sungguh, dia tidak ingin Rayyan tahu tentang latar belakang kehidupannya di luar sekolah.
"It's okay. Jaket gue banyak," balas Rayyan sambil menyampirkan jaketnya di bahu Mita. "Daripada lo ketahuan," sambungnya.
Tanpa pikir panjang, Mita yang masih membelakangi Rayyan menerima begitu saja saran dari laki-laki itu. Dipakainya jaket Rayyan dan menutup kepala dengan hoodie.
"Makasih. Aku pasti kembaliin jaket kamu," ucap Mita sebelum pergi.
Mita keluar dengan rasa cemas. Dia tidak bisa menghentikan debar-debar aneh dalam dadanya terhitung sejak bibir Rayyan menyentuh bibirnya. Mita berlari menuju tempat kos secepat mungkin tanpa menghiraukan rasa lelah yang mulai menjalar di kaki.
Yang jelas, Mita tidak akan melupakan kejadian malam ini. Malam yang membuatnya merasa risi dan bergidik ngeri ketika melihat tatapan-tatapan aneh dari para lelaki hidung belang karena kelakuan Lia, juga malam yang membuatnya tidak akan lupa pada Rayyan yang tiba-tiba mengecup bibirnya.
***
"Heh, Mit! Kenapa ngelamun aja? Lo kesambet?" Erick dengan semangat mengguncangkan bahu Mita begitu bel istirahat berbunyi. Membuat gadis itu terganggu dan mencubit lengan Erick dengan gemas.
"Aduh, duh, duh ... demi Demian Adit yang gantengnya selangit, gue enggak nyangka kalo demit bisa nyubit. Dan Demi Tuhan Yang Maha Esa, rasanya sakit bingit!" gerutu Erick sambil mengelus-elus kulitnya yang terasa panas akibat cubitan Mita.
"Biar kamu tahu, kalo aku sama sekali enggak lagi kesambet," balas Mita enteng sembil membenarkan posisi duduknya. Dia memang tidak kesambet, tapi sedang kepikiran first kiss-nya dengan Rayyan semalam. Benar-benar di luar dugaan.
"Ya tapi enggak usah pake cubit-cubit maut begitu kali," geram Erick yang masih terduduk di sebelah Mita, sambil memanyunkan bibirnya.
Mita menggeleng perlahan mendengar ucapan Erick yang gayanya selalu saja kemayu. Benar-benar tidak sinkron dengan postur badannya yang lumayan tinggi dan sedikit gempal.
"Kalo gitu aku ke perpus dulu, deh. Daripada di sini denger celotehan kamu yang enggak jelas. Bisa-bisa panas ini telinga." Mita terkekeh. "Mau ikut?" tawarnya pada Erick.
"Enggak, enggak. Makasih. Gue enggak suka baca, enggak mau mata gue minus juga. Jadi cukup lo aja yang jadi kutu buku, bermata empat. Jangan bawa-bawa gue," jawab Erick dengan gaya bicaranya yang khas.
Mita manggut-manggut. "It's okay. Kalo gitu aku ke perpus dulu. Sekalian mau ngerjain PR dari Bu Risa tadi, jadi nanti malem udah enggak rempong lagi kerjain PR," gumam Mita tanpa sadar. Ups, untung saja dia tidak keceplosan membahas tentang pekerjaan. Buru-buru Mita menutup mulut dengan tangan.
"Kalo gitu ... boleh lah, gue ikut ke perpus. Biar lo kasih contekan." Erick mengedipkan matanya dengan jahil.
"Yee, nyontek. Enggak, enggak. Kita bisa kerjain bareng kalo kamu mau. Tapi kalo buat nyontek, sorry aja. Aku enggak mau bikin kamu bodoh," aku Mita yang lagi-lagi membuat Erick manyun lima centi.
"Demi Demian Adit yang gantengnya selangit, kata-kata lo ada benernya. Dan demi Tuhan Yang Maha Esa, gue emang udah bodoh sih. Iya, bodoh. Mengsedih banget gue yak?" ujar Erick sembari mengangguk-angguk.
Mita menggeleng-geleng melihat tingkah Erick. "Jadi, kalo kamu merasa bodoh, ya udah. Kenapa harus males ngikut aku ke perpus? Kita bisa belajar di sana. Kenapa kamu selalu anti sama perpus? Di sana itu asyik. Aku selalu belajar di satu meja yang paling asyik buat ditempati di sana. Nanti aku tunjukin," kata Mita dengan semangat sambil membenarkan letak kacamata tebalnya.
"Sebenernya gue males banget ke perpus. Gue pusing liat buku banyak. Tapi, karna lo maksa ... gue ikut deh," seru Erick dengan semangat. Semangat mencontek.
"Ya udah, yuk!" Mita membawa buku-buku mata pelajaran yang diajarkan Bu Risa, buku latihan matematika dan beberapa lembar kerja yang tadi diberikan.
Baru saja Mita berdiri hendak berjalan, buku-bukunya terjatuh akibat Naura yang tiba-tiba menyenggol lengannya.
"Ups, sorry. Gue enggak sengaja, Mit. Lagian lo mendadak banget berdiri dari situ," seru Naura dengan rupa tanpa dosa.
Erick mencebik. "Lo mah biasa. Udah jadi rahasia umum kalo hobby lo tuh rese sama orang," ujarnya.
"Lah siapa juga yang rese? Gue kan enggak sengaja dan gue udah minta maaf juga sama Sasmita," protes Naura.
"Swastamita, bukan Sasmita," ralat Mita sembari menghela napas panjang. "Ya udah, Rick, enggak pa-pa. Ayo, jadi ikutan ke perpus apa enggak?"
"Jadi, dong." Erick menjawab cepat lalu mengikuti Mita yang sudsh melangkah lebih dulu, meninggalkan Naura yang masih bergeming di tempatnya.
"Amit-amit deh, Mit. Jangan sampe kita berurusan sama nenek lampir tukang gosip satu itu. Bisa-bisa kita jadi terkenal, melebihi Mbak Andin dan Mas Aldebaran." Erick berjalan sambil bersungut-sungut.
Ya, tentu saja. Mita tidak ingin berurusan dengan si ratu gosip macam Naura. karena itu, dia lebih memilih untuk menghindar setiap kali berpapasan dengan Naura.
"Jadi lo suka duduk di mana? Gue jadi penasaran, mana ada tempat yang enak di perpus? Yang ada, di sini tuh udah kayak lautan. Jujur gue suka takut tenggelam kalo lama-lama di perpus. Mending gue pake waktu istirahat buat jajan, isi perut biar kenyang," celoteh Erick ketika memasuki ruang perpustakaan sekolah yang lumayan luas.
"Ngikut aja, nanti juga tahu sendiri." Mita membalas ucapan Erick dengan santai tanpa menoleh pada lawan bicara yang berjalan di belakangnya.
Beberapa hari tidak memasuki ruang perpustaakaan, Mita tidak menyangka tempat duduk favoritnya di sana ternyata sudah diambil alih. Dia pun hanya berdiri mematung sebelum sampai di meja yang dimaksud.
"Kenapa berhenti, sih? Lo enggak lagi lihat hantu, kan? Lagian, mana mungkin perpus di sekolah ini berhantu? Orang suasananya nyaman banget gini, terang juga." Erick mulai berkelakar.
"Bukan gitu. Tapi, tempat duduk favorit aku udah diambil alih," kata Mita dengan mimik kecewa.
"Emang meja favorit lo yang mana?" tanya Erick yang memang belum mengetahui tempat favorit Mita.
"Itu," jawab Mita sembari menunjuk ke sebuah meja.
"Alamak! Demi Demian Adit yang gantengnya selangit, itu bukannya Rayyan? Dan demi Tuhan Yang maha Esa, gue enggak nyangka kalo dia suka ke perpus juga."
Mita menurunkan tangan begitu Rayyan melihat ke arahnya. "Duh, gawat. Cabut, Rick. Kita bisa cari tempat lain yang enggak kalah enak daripada di situ," gumamnya tanpa didengar Rayyan.
"Lah, kenapa? Lo sungkan sama Rayyan? Jangan-jangan lo naksir sama dia?" bisik Erick.
"Enggak," sergah Mita sembari membalikkan badan dengan cepat.
"Heh, Sasmita!"
Langkah Mita terhenti seketika. Kenapa Rayyan memanggilnya? Apa jangan-jangan laki-laki itu menyadari kalau gadis yang semalam dia tolong adalah dirinya? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benak Mita. Dia enggan menoleh karena khawatir Rayyan akan bertanya macam-macam tentang kejadian semalam.
“Tante, stop! Tante apa-apaan sih, seenaknya aja berantakin kamar kos Mita? Apa yang Tante cari di sini? Bukannya kemarin Mita udah bilang, kalo udah enggak ada uang lagi? Percuma Tante obrak-abrik kamar Mita,” seru Mita ketika mendapati kamar kosnya berantakan karena ulah Lia, adik mamanya yang beberapa tahun terakhir mengurus Mita dan adiknya, Bian. Lia melipat kedua tangan di depan dada. “Kamu pikir Tante bakal percaya gitu aja kalo kamu bilang enggak ada uang lagi? Itu ... buktinya kamu bisa ke sekolah. Naik apa? Enggak mungkin kan, kamu jalan kaki?” omel Lia. Mita merasa geram, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain diam dan menerima perlakuan Lia. Lagi pula, kesialan Mita pagi ini terjadi karena keteledorannya sendiri yang lupa mengunci pintu kamar kos sehingga Lia bisa masuk dengan seenak hati. “Asal kamu tahu, ya! Adik kamu butuh uang banyak buat sekolah dia. Dan uang yang kemarin kamu titip ke Tante itu belum cukup gantiin uang Tante yang dipake
“Hei! Kenapa diem aja, Ta?” “Kak Tina?” Mita meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Merasa dirinya bisa bernapas lega karena bukan Naura yang menepuk bahunya. “Kenapa kaget begitu?” selidik Tina, pegawai Hana yang lain. Mita diam-diam mengedarkan pandang. Setelah dirasa aman karena sosok Naura tidak terlihat lagi, dia baru merasa benar-benar lega. “Enggak pa-pa, Kak. Tadi salah lihat aja,” jawab Mita seadanya. “Oh, oke. Kamu bawa ini ke Kak Hana. Aku mau jaga pintu lagi,” seru Tina sembari menyerahkan selembar kertas berisi pesanan pelanggan kepada Mita. Sebagai pegawai baru tidak ada yang bisa dilakukan Mita kecuali mengangguk pasrah dan membawa kertas itu kepada Hana. *** "Pak, tolong buka pintu gerbangnya, dong!” seru Mita kepada satpam yang beberapa detik lalu menutup gerbang sekolah. Karena harus pergi ke sekolah dengan berjalan kaki, Mita jadi terlambat. "Enggak bisa. Ini sudah le
“Jelasin sama Kakak! Kenapa kamu harus berantem, Bi? Untung aja guru kamu kirim pesan ke Kakak. Coba kalo ke Tante Lia? Udah pasti kita bakal kena marah. Kamu enggak kasihan apa, sama Kakak? Hah?” sentak Mita yang jantungnya masih berdebar kencang, khawatir Bian kenapa-napa setelah berkelahi dengan teman sekolahnya. “Maaf, Kak. Aku enggak akan ulangi lagi,” janji Bian dengan wajah tertunduk. Mita mendesah lelah. “Lagian kenapa sih berantem segala? Biar kamu kelihatan jagoan, gitu? Inget, Bian. Enggak ada siapa-siapa yang perhatikan kita. Jadi kamu enggak perlu bikin ulah.” “Asal Kakak tahu, aku berantem karna enggak terima Kak Mita dibilang cewek enggak bener. Dia bilang, Kakak sengaja jadi kupu-kupu malam buat biayain aku sekolah. Jelas aku enggak terima!” Mita terperangah. Dia mendadak kesulitan bernapas saat mendengar penuturan Bian. Namun, sebisa mungkin dia menunjukkan sikap tetap tegar di hadapan sang adik supaya tidak terpancing dengan ucapan t
Mita, gadis bernama lengkap Swastamita itu melangkahkan kaki dengan perasaan was-was menuju ruang kepala sekolah. Dia khawatir sang kepala sekolah akan menegurnya gara-gara kejadian kemarin saat Mita meninggalkan sekolah karena memenuhi panggilan guru BK Bian. Bagaimana jika kepala sekolah yang terkenal garang itu tiba-tiba murka dan mencabut beasiswanya? Mita tidak bisa membayangkan jika hal itu sampai terjadi. Bisa-bisa Mita kesulitan membayar uang sekolah atau bahkan tidak bisa bersekolah lagi. Lalu, bagaimana Mita bisa maju jika dia tidak bisa meneruskan sekolah? Sementara di rumah Lia, ada Bian yang membutuhkan uluran tangannya. Tidak, tidak! Hal itu tidak boleh terjadi. Tanpa sadar, Mita menggeleng. “Jangan sampe, jangan sampe!” desis Mita pelan sembari tetap berjalan menunduk. Sesekali tangannya membenarkan letak kacamata tebalnya. Mita tidak sengaja menabrak seorang laki-laki ketika mereka sama-sama hendak memasuki ruang kepala sekolah.
Mita tersentak. Kenapa Rayyan menanyakan hal itu? Dari mana dia tahu kalau Mita bolos sekolah kemarin? Apa Erick yang memberitahunya? Tapi untuk apa? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benak Swastamita. Haruskah dia menjawab pertanyaan Rayyan? “Enggak usah kepedean. Gue cuma denger selentingan aja kalo katanya Si Kutu Buku lari dari sekolah.” Rayyan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Dan kamu penasaran, gitu?” tuduh Mita. Kalau dipikir-pikir, kenapa Rayyan membahasnya jika bukan karena penasaran? Rayyan terkekeh. “Gue? Penasaran sama cewek cupu macam lo? You wish,” gumamnya sembari melanjutkan langkah. “Sombong banget kamu ngatain aku cupu. Kamu belum tahu aja siapa aku, Rayyan,” batin Mita kesal. Gadis itu pun membalikkan badan sembari mengentakkan kakinya menuju kelas. “Demi Demian Adit yang gantengnya selangit, balik dari ruang kepsek kenapa lo jadi manyun gitu, Mit? Dan demi Tuhan Yang Maha Esa, gue jadi risi lihatnya,” se
Mita dipaksa mengikuti Lia memasuki ruang dengan cahaya remang-remang. Suasana ingar-bingar yang begitu ramai membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Belum lagi dengan dentuman irama musik DJ yang terdengar kencang, membuat sakit gendang telinga Mita. Tidak pernah terpikirkan dalam benak Mita bahwa Lia akan membawanya ke tempat seperti ini. Lia dengan kuat mencengkeram lengan Mita. Membuat gadis itu sulit melepaskan diri. Terlebih, ada seorang laki-laki yang sejak tadi mengikuti Lia, seolah-olah dia adalah seorang body guard yang bertugas mengawal manjikannya. "Lepasin, Tante! Sakit," seru Mita setengah berteriak karena merasakan panas pada lengan yang sejak tadi menjadi sasaran empuk Lia. "Kamu mau kerja, kan?" Lia menarik paksa Mita ke dalam sebuah dalam ruangan yang cukup luas, barulah lengan Mita dia loloskan dari cengkeraman. Dalam ruangan itu tampak beberapa laki-laki sedang bermain kartu sambil menikmati berbagai botol minuman keras. Mereka sama-sama terkejut melihat Lia yan