"Hmm, boleh juga. Saya terima tawarannya. Semoga setelah bergabung, girl band ini semakin sukes!" ujar Antony. "Serius, pak?!" Rupanya Antony dengan mudahnya menerima mereka untuk bergabung di agecy ini. Selanjutnya, ia meminta sekretarisnya untuk mengeprint berkas persetujuan yang akan langsung mereka berdua tanda tangani. Wanita yang mengenakan pakaian semi formal itu mengangguk. Lalu, berjalan menuju meja kerjanya. Ikuti perintah Antony dengan menggerakkan jari-jarinya di keyboard. Sesekali ia mendengar obrolan Antony yang terdengar so asyik. Tapi memang benar, obrolannya terasa hangat. Hal itu membuat salah satu leader terpukau. Mereka sesekai curi pandang dan digoda oleh anggota lain. "Kayanya kita bakalan betah deh kalau gabung di agency ini.""Jelas, harus dong!""Oh, iya untuk keperluan administasi lanjutan, kamu bisa share nomor teleponmu?" Baru saja sang leader akan mengambil ponsel Antony, sekretarisnya datang. Ia memberikan berkas untuk mereka tandatangani
"Aduh, kok dia pulangnya cepet? Tumben banget!" gumam Aurora sambil menutup tirai karena sudah di penghujung magrib. Lalu, ia bergegaske dapur untuk memasak beberapa lauk favorit Antony. Tepat saat ia selesai memasak sambal petai, terdengar suara bel di pintu berdering. Bu Firah menyuruh Aurora untuk segera membukanya. Tanpa penolakan, Aurora berjalan ke arah pintu dan langsung membuka pintu. Ya, senyum merekah hiasi wajah Aurora. Ia terlihat sumringah menyambut kedatangan suami yang sudah lama tak ia temui. Perlahan Aurora mendekat dan menawar pelukan. Sayangnya, pelukan itu ditolak. Antony melepasnya langsung dan menutup hidung. "Kamu bau bawang banget, sih! Emang belum mandi ya?""Aku sudah mandi, mas. Cuman barusan aku masak samba petai kesukaan kamu.""Ya ampun, ngapain sih masak sambal kampung kaya gitu? Jangan bilang ditambah ikan asin, sekarang kita tinggal di kota. Kamu mau suamimu ini hipertensi?! Hah. Suami datang bukannya disambut cantik malah bau dapur gak jelas!
"Gak kok, bu. Aman!" Saut Neira yang tiba-tiba datang mendekat. Entah, sejak kapan dia ada di samping ibunya. Kini, Neira kembali seperti semula. Meski begitu, wajahnya tampak lemas. Ibunya menyuruh Neira untuk segera mengisi perut. Mertua ervin itu duduk di ujung meja makan seorang diri. Sedangkan Ervin, berada di dekat beliau namun tak saling menghadap karena beda posisi. Perlahan, ia mendekat ke arah meja Neira, sayangnya ia justru ditolak mentah-mentah. Neira pindah tempat duduk melewati 3 kursi di sampingnya. Tangan kanannya mendorong ke arah Ervin memberi sinyal untuk jangan mendekat. Meski begitu, ibunya tak pedulikan tingkah mereka. Dalam benaknya, ia hanya tak ingin anaknya hamil sebelum resmi jadi istri Ervin secara negara. "Awas aja ya, Vin. Kalau ngebobol anak gue sebelum resmi secara negara.""Hmm.. tapi kalau memang kebobolan gimana ya? Ah, harus dipaksa sidang pokoknya!"Isi kepala ibu Neira terus saja berputar sambil sesekali menatap ke arah mereka. Per
"Ibu mau ikut juga?" tanya Aurora"Yaiyalah..""Maaf ya, bu. Kirain ibu udah tidur. Ibu gapapa keluar malam?""Ibu masih kuat, kok!" Bu Firah memaksakan diri dan langsung mengambil hijab yang ada di kursi. Lalu, ikut berjalan bersama anak dan menantunya untuk naik mobil. Sesampainya di depan mobil, Aurora membukakan pintu belakang untuk beliau. Bukannya diterima dengan senyum, Bu Firah justru memasang wajah ketus. Bahkan ketika baru saja Antony menyalakan mobil, celetukan Bu Firah keluar tanpa jeda. "Antony itu pinter, lho ra. Dalam beberapa bulan dia bisa adaptasi kerja di perusahaan sebesar itu.""Iya, alhamdulillaah. Saya juga bangga bu.""Makanya, kamu juga harusnya bisa imbangi Antony. Masa mau jalan ke mall aja kucel gitu?""Ekhem!" Antony menyela mereka. Beberapa kalimat pujian untuk Antony terus saja terdengar. Lagu yang diputar dlam mobil pun kalah oleh seruan memuji Antony. Ditengah-tengah percakapan, Bu Firah meminta Aurora untuk tukar posisi duduk. Ia ingin
"Ngapain chat segala, sih?" gumam Antony yang kesal. Ia membuka ponsel tersebut tanpa diketahui Aurora. Istrinya itu justru melepas genggamannya dan beralih memegang tangan Bu Firah. Sayang, pesan itu memang hanya dibaca tanpa membalasnya. Ia mencari genggaman tangan Aurora. Kini, kedua tangan Aurora dipegang sekaligus oleh suami dan mertuanya. Ia tersenyum tipis dan sesekali menatap ke arah mereka. Ada hal lucu yang menghiasi suasana menonton. Tangis Bu Firah terdengar cukup kencang karena menghayati jalannya cerita. Sontak membuat orang-orang di sekitarnya kaget. "Sabar bu, ini hanya film." Aurora melepas sejenak genggaman Antony. Ia memilih mengelus kepala mertuanya itu agar tenang. "Dia jahat banget, sih! Beraninya bawa pasukan, kalau lawan sendiri pasti dia ciut. Mana beraninya sma perempuan. Dasar cemen!""Ya ampun, ibu.." Antony menggelengkan kepala sambil memijat jidatnya sendiri. Selama hampir 2 jam lamanya, Bu Firah terus saja bergelut dengan perasaanya. Tang
"Maksud ibu apa, ini? Masa iya aku hamil?" Neira terus bertanya-tanya.Sayangnya, ia tak membalas pesan ibunya sama sekali. Meski sudah dibaca, Neira langsung mematikan ponsel sekaligus mematikan lampu untuk mengelabui ibunya bahwa ia sudah tidur. Sementara itu, ibunya mencoba mengetuk pintu beberapa kali. Beliau datang untuk mematstikan anaknya baik-baik saja. Sesekali ia mengintip ke arah jendela dimana kamar Neira masih terlihat sedikit terang dengan lamput tidurnya. "Ouh apa dia tadi mengigau ya? Hmm." Setelah melihat Neira sudah terlelap tidur sambil memeluk guling, beliau pergi. Tak ada lagi ketukan pintu yang terdengar beberapa kali. Ervin yang juga belum tidur hanya bisa mendengar suara mertuanya dari dalam kamar. Ia juga keheranan, kenapa mertuanya bisa menduga-duga anaknya hamil. Dalam benak Ervin, tak mungkin rasanya seorang wanita bisa hamil hanya melakukan satu kali berhubungan. Sambil mengubah posisi dari tidur menjai duduk, Ervin mulai berpikir keras.
"Kamu kenapa, sih? Makanya kalau jalan itu harus berdekatan. Jangan sok jual mahal gitu.""Siapa juga yang jual mahal. Kamu harus ngerti, Vin. Aku lagi sensi aja sama aroma kamu!""Halah, aneh banget. Udah, kasih tahu aku. Kamu lagi dimana sekarang?" Ervin terlihat cukup kesal. Ia baru saja sampai di depan pintu apartemen dan menyimpan beberapa barang lebih dulu. Sesekali ia menyeka keringat dan menatap area linkungan apartemen yang cukup sepi. Dalam perjalanannya menuju tempat Neira berada, ia juga menoleh ke beberapa pintu. Berharap bisa bertemu dengan sosok teman lama sekaligus manta pacarnya, Aurora. Sayang, lirikan itu tak cukup membuat matanya puas. Ponselnya berdering karena Neira yang terus saja memanggil. Tak langsung diangkat, Ervin mempercepat langkahnya untuk menemui Neira. "Hmm.. sabar dikit bisa kan, Nei?" Ervin menggerutu di hati kecilnya. Sementara itu, Aurora yang sedang duduk di salah satu area loby bersama Neira tampaknya sedang asyik ngobrol. Kedua
"Sebentar, kamu kok kelihatan pucat?""Biasa, mas. Gara-gara kurang minum kayanya. Belum lagi hari ini banyak kerjaan dan rapat terus. Menguras energi kan?""Oh, pantesan." Sekretarisnya mulai terkecoh. Antony menawarkan diri untuk mengantarkan wanita pujaannya itu pulang bareng. Tanpa penolakan, mereka pun pergi bareng dalam satu mobil. Sepanjang perjalanan jalan kaki menuju parkiran, kantor tempat Antony kerja itu sudah cukup gelap. Tersisa hanya beberapa petugas kebersihan dan satpam yang berjaga. Mereka mengucapkan salam kepada Antony dan sekretarisnya dengan hangat. "Baru pulang, pak?""Oh, iya pak." Setelah mereka pergi menaiki mobil, sisa petugas tadi berkumpul di pos. Mereka tampak semangat ngobrol dan mungkin sedang membicarakan Antony. Seolah tak peduli, Antony hanya fokus pada jalanan dan wanita yang duduk di sampingnya. Tangan wanita itu Antony pegang dan sesekali menciumnya. "Gak inget istri ya, pak?""Ingetlah..""Kalau ingat, harusnya dilepas dulu.""Heh