Share

Harus Mengadu pada Siapa?

"Kata siapa? Gak gitu juga maksudnya, mas. Ini hanya telpon biasa"

"Biasa apanya? Biasa berduaan? Biar bisa baikan? Hah!"

"Sini, biar aku jelasin mas."

"Jelasin, apa? Kamu pikir aku gak cemburu?!"

    Semakin lama, nada bicara Antony semakin tinggi. Dengan suaranya itu, Nakula pun terbangun dari tidurnya. Gema tangis balita itu bercampur dengan pertengkaran kedua pasangan suami istri ini.

    Bu Firah yang mendengar tangis dan pertengkaran, langsung naik pitam menghampiri mereka. Tadinya, ia ingin melerai mereka atau sekadar menggendong balita yang tak tahu apa-apa. Entah, ada bisikan apa di telinga beliau.

  Tamparan keras dari tangan kanannya terdampar di wajah Aurora. Ia tak bisa menolak dan diam sejenak. Lalu, menatap sang mertua dengan penuh rasa takut. Di luar dugaan, pertengkaran kecil ini melibatkan sang ibu mertua yang tak tahu benang merahnya.

"Jangan sekali-kali membentak suamimu, Aurora. Ia adalah anakku satu-satunya!"

"Siapa juga yang membentak? Anak ibu sendiri yang naik darah. Saya ingin bicara baik-baik, ini semua hanya salah paham."

"Aaaarrgh!" ucap Antony sambil keluar meninggalkan kamar.

   Tak sendiri, Bu Firah juga ikut keluar. Tinggal Aurora dan anaknyalah yang diam di kamar. Entah, drama macam apa yang menimpa keluarga ini. Ervin yang pada saat itu belum mematikan panggilan hanya bisa mengelus dada.

  Ia tak menyangka, wanita yang dulu ia jaga dan kagumi itu disakiti oleh orang terdekatnya. Geram rasanya, ia ingin membantu tapi tak punya kuasa. Dirinya bukan orang yang berhak melerai kesalah pahaman mereka.

   Lalu, ia bergegas mematikan panggilan. Asanya benar-benar bergejolak inginkan marah. Lagi-lagi, ia hanya bisa diam tanpa sepatah kata atau ucapan maaf kepada Aurora.

" Sialan! Pria semacam dia dan keluarganya tega lukai Aurora? Aduh, gak habis pikir. Maafkan aku, Aurora. Hadirnya aku di waktu tepat ternyata belum tentu tepat bagimu. Kudoakan semoga kamu bahagia dan keluarga kecilmu tetap utuh"

    Ervin hanya bisa terdiam cukup lama di kasur. Lalu, ia bergegas untuk ambil wudu dan salat magrib. Tak henti-hentinya, doa Ervin tak pernah putus untuk orang terkasih, tanpa kecuali Aurora.

    Ya, cinta memang tak selamanya harus dimiliki dengan utuh. Tapi setidaknya, doanya mungkin bisa sampai sebagai bentuk cinta yang tak pernah putus. Entah seperti apa jawabannya, Ervin hanya bisa memelas kasih pada Sang Pemilik Cinta.

"Ya Allah, berikan cinta-Mu pada seorang hamba yang bernama Aurora Annisa. Utuhkan kasihnya bersama anak dan suaminya. Lalu, lapangkan hatiku seluas-luasnya demi cinta yang Kau ridhai, Aamiin."

   Perasaan Ervin sepertinya sudah mulai lega. Ia merapihkan sajadah dan bergegas ke dapur untuk memasak bihun goreng instan kesukaannya. Proses memasak makanan yang satu ini memang cukup sederhana tanpa banyak membuang waktu.

  Ervin sudah menyimpan beberapa stok bihun instan yang sudah dilengkapi bumbu. Selebihnya, ia menambahkan telur, irisan sawi hijau, dan cabai rawit. Dengan proses masak 3 menit, Ervin sudah bisa mengenyangkan perutnya.

  Disela-sela suapan bihun goreng itu, ponselnya berbunyi. Ada notifikasi dari grup sahabat kantornya. Mereka meminta untuk video call melalui zoom sambil membahas bonus tambahan yang akan dikeluarkan oleh kantor. Dengan penuh antusias, Ervin mengambil leptop dan masuk ke dalam ruang zoom melalui link yang sudah dibagikan.

"Baru makan, Vin?" tanya salah satu atasan yang masuk ke dalam percakapan keempat sahabat Ervin.

"Nggak, pak. Ini piring bekas teman saya." jawab Ervin dengan senyum terpaksa sambil menunjukkan piring yang tergeletak di kasur.

"Temen apa teman?"

"Ah, bapak dia jomblo baru ditinggal nikah, lho."  celetuk Tio dengan nada datar.

"Oh iya? maaf.. Ervin. Yaudah, boleh sambil makan dan simak pengumuman ini  baik-baik."

"Iya, pak." jawab yang lain dengan nada kompak.

    Selama berlangsungnya rapat, Ervin dan teman-temannya itu memasang wajah serius tanpa senyum sama sekali. Hal ini sangat berbeda jauh ketika mereka membahas masalah asmara atau pun makanan. Terlihat dari layar komputer Ervin, hidung Naka sesekali mekar seolah ingin menyanggah pembicaraan atasan.

    Mungkin, ia masih kurang setuju dengan terpilihnya Ervin menjadi kandidat perwakilan kantor ke kota New York bulan depan. Rasanya, masih ada orang yang lebih pantas mewakili kantor. Salah satunya, dia sendiri.

    Namun, rapat hanyalah rapat dengan isi kepala berbeda-beda. Ketika atasannya itu sudah pergi meninggalkan area zoom, obrolan pun masih berlangsung. Tapi, dengan topik berbeda.

"Widih, keren banget bontot yang satu ini. Nanti gue sama Neira boleh dong nyusul?" tanya Naka.

"Ya, boleh.. tapi, jangan berdua. Gue sama Tio juga ikut, ya!" saut Nugroh.

"Ampun, para suhuuu. Baginda hanya menerima tugas." jawab Ervin sambil menyilangkan tangan dan menuduk.

"Ah, elaaah. Semuanya wajib ikut ya?! Kita patungan nabung dari sekarang, itung-itung liburan akhir tahun."

"Hmm.. Pak Nugroh bisa aja. Udah minta izin belum sama bini?" tanya Ervin.

"Nah.. lhooo.." saut lainnya dengan kompak dan menujukkan jari telunjuk arah kamera komputer. Nugroh pun tersipu malu.

   Canda tawa itu ternyata hanya sementara. Tepat pukul 12 malam, Ervin tak bisa menutup matanya untuk tidur. Malam itu, ia masih bertemankan leptop.

   Di sana, ia membuka beberapa file lama yang berisi foto masa muda-mudi di salah satu SMK Kota Malang. Ia tak bisa berbohong, paras cantik Aurora saat itu memang jadi primadona sekolah.

   Senyum teduhnya pun masih saja ia ingat. Entah, ada apa dengan Aurora. Wanita secantik dia, rela menikah di usia yang sangat muda. Sambil membayangi senyum teduh Aurora, memori Ervin kembali berputar ke masa lalu. Ia mengingat kisah ambisius mereka untuk kuliah.

"Aurora, boleh pinjem buku paket tesnya gak?"

"Nih, boleh. Tapi, jangan dicorat-coret"

"Tenang, buku paket milikmu itu pasti bisa kuganti dengan sebongkah berlian dan pelaminan mewah."

"Ah, gembel.. Belajar dulu, Vin"

"Gombal, Aurora.."

"Nah, itu maksudnya."

   Foto dengan posisi memegang buku paket tebal itu masih tersimpan di leptop Ervin. Tak heran, Ervin takkan bisa melupakan senyum teduh milik Aurora sampai saat ini. Tak lama setelah membayangkan memori itu, ia pun tertidur lelap dengan leptop yang masih menyala.

    Tak jauh dengan Ervin, Aurora pun sebenarnya masih terjaga dalam pandangannya. Ia masih termenung seorang diri sambil sesekali menatap wajah Antony dan Nakula yang sudah tidur. Ia masih dibuat terpukul oleh kejadian dirinya yang baru pertama kali ditampar oleh sang ibu mertua.

  Ribuan pertanyaan untuk kabur sudah mengelilingi isi kepala. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa. Hingga akhirnya, ia nekat untuk menghubungi nomor kedua orang tuanya secara bergantian.

"Ayah, ibu, kalian lagi apa? Udah tidur, ya? Hmm.. Andai saja ibu dan ayah tahu tentang romansa pernikahanku, ternyata sama saja. Alurnya masih seputar pertengkaran. Sama, seperti ibu dan ayah dulu. Beruntung, kalian berdua kini berpisah dan bahagia dengan keluarga baru. Bisakah kalian luangkan waktu sebentar saja untuk mendengar keluh kesahku saat ini?" gumam Aurora sambil sambil menatap foto pernikahan dirinya dengan Antony yang terpasang sebagai walpaper ponsel.

Bersambung..

  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status