Share

Episode 2

Hari ini harusnya begitu pulang sekolah gue mau langsung ke rumah Winanta, tapi ternyata Mama gue kebanjiran pesanan pancake. Oh iya, omong-omong kami punya usaha pancake durian.

Alhamdulillah udah berjalan satu tahun walaupun gak selalu ramai pembeli. Awalnya bikin usaha ini tuh karena dari dulu Mama pengen banget bikin pancake durian, tapi gak dibolehin sama Papa karena Papa beneran gak bisa nyium bau durian. Jadinya setelah mereka pisah karena Papa ketahuan selingkuh, beberapa bulan kemudian Mama mencoba bikin usaha kecil-kecilan.

Bersyukur banget walaupun dikerjakan sendiri, tapi masih bisa bertahan sampai sekarang. Yah gue sebagai anaknya juga bantu-bantu dong.. bantu mengemas dan antarkan pesanan naik Honda yang nganggur di rumah, satu-satunya harta yang ditinggalin Papa gue.

"Ma, mama gak ada lihat Winanta dari pagi?" tanya gue basa-basi sambil membungkus pancake.

"Enggak, Mama dari pagi di rumah gak ada lihat dia. Motor dia juga gak ada kelihatan." jawab Mama gue dan langsung mencicipi satu pancake.

"Memangnya dia gak sekolah?" tanya Mama

"Enggak ma. Katanya motornya mogok tadi pagi, jadinya di benerin dulu di bengkel."

"Oh..Eh! Astagaaa Mama baru sadar, kenapa kamu gak ganti baju dulu?! Sama gih ganti baju, mandi dulu habis itu baru langsung antarkan pesanan"

"Nanti aja ma, gak mandi juga gak apa-apa. Biar bantuin Mama dulu."

"Mama bisa kok sendiri, tinggal dikit lagi juga. Udah sana mandi. Masa mau mengantar makanan, penjualnya bau haha"

"Huh Mama..! Yaudah deh" gue beranjak dari meja makan dan langsung menunju kamar. Mencari baju, setelah itu meluncur ke kamar mandi.

Lima belas menit kemudian, semua udah stand by.

"Ini di antar kemana aja ma?" tanya gue yang udah siap dengan Honda menyala. Gue udah kayak abang-abang gojek aja.. pakai helm dan jaket wkwk.

"Udah Mama kasih kertas alamatnya. Langganan kita juga kok, liat yah jangan sampai salah."

Setelah gue lihat catatan alamatnya, beberapa memang adalah langganan pancake kami, cuma ada satu atas nama Dilla yang baru kali ini pesan.

*******

Kota Jakarta emang the best banget kalau soal panas. Ramalan cuacanya bilang kalau pukul empat sore bakalan turun hujan berpetir, sedangkan ini udah jam tiga lewat masih terik banget. But it's okey.. apapun bakalan gue lakuin demi cuan. Panas terik matahari bahkan badai sekalipun, bakalan gue terjang demi tabungan. Sebenernya kami bukan orang yang enggak mampu, cuma sejak di tinggal Papa, Mama berusaha bangkit dan mengajarkan anak satu-satunya ini menjadi wanita karir, biar enggak di permainkan para lelaki yang gak cukup satu wanita. Setidaknya mulai dulu dari bawah, alias dari nol. Yah, walaupun saat ini gue sangat yakin dengan Winanta kalau dia nya gak bakalan gitu. Udah tiga tahun pacaran, beberapa bulan lagi ujian kelulusan dan siapa tau kami langsung nikah haha.

Sekarang hanya ada tiga pesanan lagi dari 7 pesanan. Gue bakalan nganter atas nama Dilla, setelah itu ke dua pesanan lainnya yang didekat pusat kota.

*******

Rumah gedung tingkat satu berwarna abu-abu putih dengan beberapa pohon di halaman dan juga bunga-bunga mekar. Sekali lihat pun udah pasti tahu, pasti pemiliknya kaya. Bahkan ada Pajero di halaman dan juga-- tunggu.. itu kayak motor Winanta?. Sialan.. itu motor Winanta bukan sih? Mirip banget sumpah. Motor CB hitam dengan modifikasi lingkar ban warna merah dan plat BM.. astagaaa cewek apaan gue? Uda tiga tahun pacaran masa sering lupa nomor plat motor cowok sendiri..?

Biar mempersingkat episode karena waktu terus berjalan dan ini udah jam empat lewat lima, bahkan mendung mulai datang, gue langsung turun dari Honda squpy hijau dan melangkah ke depan pintu.

Tok tok tok

Ketukan pertama gue di kacangin.. sama sekali gak ada respon ataupun tanda-tanda ada orang yg akan membuka pintu.

Tok tok tok

"Permisi~ orderan pancake durian~" gue mencoba ramah.

"Permisiii halo~ pesanan anda datang~!" Gue mulai meninggikan suara karena kesal. Rumahnya kan ga terlalu besar, cuma tingkat satu juga. Apa mungkin rumah ini kedap suara kali yah?

Gue mencoba melihat sekeliling siapa tau ada yang lewat. Saat mata gue menyapu ke sekeliling rumah, ternyata ada bel pintu di tembok yang gak terlalu jauh dari gue. Sialan.. dari tadi kemana nih mata? jelas-jelas kalau begitu masuk, bel nya keliatan.

Tanpa dramatis lagi, gue segera menekan bel pintu itu dan Alhamdulillah baru sekali tekan, gagang pintu bergoyang.

Gue dengan happy dan full senyum mencoba menyambut pelanggan

"Iya?"

Di dahului oleh suara yang familiar dari balik pintu dan berlanjut ke sosok cowok yang gue kenal. Dengan tinggi sekitar 178 cm rambut klimis berwarna hitam dengan poni yang sedikit berantakan. Saat ini dia sedang berdiri di hadapan gue dengan masih memakai seragam sekolah dan memasang wajah kaget.

Seketika senyum penarik pelanggan gue hilang di ganti dengan wajah datar sedikit kaget. Gue berusaha positif thinking kalau ini rumah temannya dan pelanggan Dilla adalah ibu temannya atau kakak.

"Win? Lo kok di sini?" tanya gue berusaha memasang senyum lagi

"Sayang? Kok lama banget?" suara dari dalam rumah mulai mendekat.

Winanta kelihatanya bingung harus bagaimana.

"Sayang, ngapain sih berdiri aja di depan pintu?" gadis berambut coklat sebahu tiba di hadapan gue dan langsung menggandeng tangan Winanta. Lalu ia pun melihat ke arah gue,

"Eh? pancake durian ya? Wahh akhirnya sampai~" ia melepas gandengan dan perlahan berjalan ke arah gue. Sementara Winanta masih membeku seolah sedang menyiapkan dialog.

" 'Sayang'?" tanya gue yang membuat cewek bernama Dilla itu mematung saat menjulurkan uang.

Dilla berbalik melihat Winanta yang masih mematung dengan mata yang mondar-mandir. Lalu Dilla melihat mata gue serius menatap Winanta.

"Kenapa mbak?" tanya Dilla sedikit ketus, berbeda dari nada ramah yg tadi.

Gue pun spontan melihat Dilla dengan sedikit menekuk alis.

"Ini uangnya. Makasih yah mbak"

Dilla memberikan paksa uang berjumlah lima puluh ribu dan gue menerimanya.

"Win, maksud Lo apa?" tanya gue ketika mereka mau masuk ke dalam sambil gandengan.

Winanta masih gak balik badan, berbeda dengan Dilla yang langsung berbalik dan bertanya,

"Kalian saling kenal?" tanya Dilla sok polos

Gue sedikit tertawa, "hah, saling kenal?" mata gue mulai memanas seakan siap menampung air mata.

"Kamu siapa nya Winanta? Ngapain gandengan gandengan gitu?" akhirnya gue kelepasan emosi

"Apa sih? Kamu yang siapa?! Ngapain marah-marah gak jelas gitu? Emangnya gak boleh kalau pacaran terus gandengan di depan kamu?" Dilla mempererat gandengannya.

"Hah? A-apa? 'pacar'??" tanya gue membelalak

"Win, apa maksudnya? apa-apaan ini?" Gue berusaha menahan tangis, jangan sampe Winanta sadar kalau gue udah mau nangis, karena Winanta Paling gak suka sama cewek yang cengeng.

"Apa sih? Dari tadi kamu seolah kenal dekat sama Winanta. Jelas-jelas Winanta sekalipun gak pernah ceritain tentang kamu selama lima bulan kami pacaran"

Gue tambah syok dengan apa yang Dilla katakan. Lima bulan?! Selama ini kami baik-baik aja kok. Kenapa Winanta bisa pacaran sama cewek lain selama itu tanpa sepengetahuan gue?! Mulus banget permainannya!

"Win, bangsad lo yah!" Gue mulai menatap tajam Winanta

"Udah cukup.. Hari makin sore. Lo anter dulu sana pesanan yang masih ada" akhirnya Winanta buka mulut dan seakan yang paling bijaksana.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status