1 tahun yang lalu…
Afura berjalan dengan terengah-engah, wajah pucat dan air mata membenung di pelupuk. Melewati koridor berlantai keramik putih. Hatinya benar-benar runtuh saat mengetahui suaminya mengalami kecelakaan tragis.
Banyak orang berada di depan ruang operasi. Ada yang mondar-mandir, ada juga yang duduk dengan wajah gelisah.
“Mas Abizar…” pekik Afura dengan kaki bersimpuh di lantai. Perasaannya benar-benar hancur, sampai-sampai sendi2 kakinya melemas.
“Afura!” Umi membimbing Afura untuk bangkit dan duduk di sampingnya. Dia tahu perasaan menantunya itu. Karena hatinya sama-sama hancur seperti Afura. Bahkan saat pertama mendengar kedua putranya mengalami kecelakaan. Dia hampir saja pingsan.
“Mas Abizar…” Afura berusaha menahan isak tangisnya.
Satu jam kemudian, dokter bedah keluar dari ruangan. Memberitahu bahwa keadaan Abizar baik-baik saja. Tapi menunggu waktu untuk siuman. Rasa lega menyergap, walaupun bercampur dengan rasa was-was.
Satu minggu lebih Afura merawat suaminya. Terkadang Salman, Abah atau Umi menginap. Hari itu hujan pertama kali mengguyur kota di bulan Desember. Siang itu, setelah Afura menunaikan salat Dzuhur. Tidak lupa bermunajat pada Sang pencipta untuk memberi kesembuhan pada Abizar.
Tepatnya jam 12 lebih 30 menit, selesai Afura melipat mukenah. Dia mendengar suara lirih memanggil. Buru-buru dia menghampiri sumber suara. Ternyata bibir suaminya sudah bergerak. Seperti mencoba mengatakan sesuatu.
“Mas Abizar! Akhirnya kamu sudah sadar Mas.” Afura memencet bel di dekat tembol. Bel untuk memanggil Dokter jika ada sesuatu terjadi secara tiba-tiba.
Setelah Dokter datang dan memeriksa tubuh Abizar. Keadaanya sangat baik, dia telah sadar setelah penantian panjang. Rasa syukur benar-benar terpanjatkan. Allah telah mengabulkan doanya sepanjang malam.
“Makasih Dokter!”
“Tolong jaga suamimu 24 jam. Kalau ada apa-apa langsung hubungi saya.”
“Baik.” Wajah Afura berbinar, seperti mendapatkan emas berlian.
“Mbak, apa keluarga saya udah di hubungi?"
“Mbak?”
Dalam keadaan bengong, Afura masih mencerna kata-kata Abizar. Tapi pintu kembali terbuka. Keluarga Abah Rifai datang. Berhamburan memeluk Abizar. Tadi, saat Afura menunggu pemeriksaaan dokter. Dia menghubungi Abah dan Umi.
“Ya Allah Nak… untung kamu sudah sadar. Umi sangat cemas."
“Umi, kenapa aku bisa di sini.”
“Ceritanya panjang. Lebih baik kamu istirahat."
“Mbak, makasih udah hubungi keluarga saya,” kata Abizar, membuat semua orang tercengang.
“Abizar apa maksudmu?”
“Kenapa Umi?”
“Kamu nggak kenal dia siapa?”
“Dia cewek yang nolongin aku kan Umi?”
Mendengar perkataan Abizar membuat Afura tidak percaya. Jangan-jangan Abizar melupakan kenangan mereka berdua.
“Umi… Abah. Saya mau ke kantin dulu beli makan,” dusta Afura langsung meninggalkan kamar rawat suaminya. Samar-samar dia mendengar pertanyaan Abizar yang menanyainya.
“Umi, Abah udah kenal dia?”
Sakit rasanya tidak di ingat oleh suami sendiri. Berminggu-minggu selalu berada di samping Abizar untuk merawatnya. Tapi sekarang, lelaki yang dia rawat itu sama sekali tidak mengingatnya.
Afura memegang dadanya yang begitu sesak, berjalan tertatih-tatih ke arah toilet. Menahan air mata yang terbendung di pelupuk mata. Meraba-raba-raba pintu toilet dan akhirnya masuk ke dalam salah satu pintu.
Menguci rapat-rapat pintu bilik toilet, isak tangis tidak bisa di cegah. Di rogohnya saku baju. Ada pembukus test pack.
“Padahal, aku ingin menunjukan ini Mas saat kamu bangun. Tapi, jika kau tidak mengingatku. Apa aku bisa mengatakan bahwa aku hamil.” Sebelum kejadian tragis itu. Afura sangat senang karena mengetahui bahwa dirinya sudah berbadan dua. Namun sekarang kebahagian yang selama ini di nanti itu seakan sirna.
Setelah Dokter memeriksa,ternyata kepala Abizar sedikit bermasalah. Ternyata dia melupakan kejadian 3 tahun kebelakang. Membuatnya melupakan semua kenangannya dengan Afura.
***
5 Bulan kemudian...
“Kamu sampai kapan berada di rumah ibu?”
“Ibu mau makan apa?” Afura tampak mengalihkan pembicaraan. Setelah kejadian amesia Abizar, gadis itu tidak pernah mengunjungi suaminya.
“Nggak usah mengalihkan pembicaraan.”
Perut Afura tiba-tiba sakit. Dia pergi kekamar mandi. Sambil memegang perutnya yang membesar, dia masuk ke dalam toilet yang berada di belakang rumah tanpa keramik. Yang masih sangat kuno.
Bruk!
Afura jatuh di kamar mandi setelah buang air besar. Rasa nyeri menyeruak di perutnya. Darah segar mengalir di selangkangan.
“Astagfirullah!” teriak Ibu Afura. Dia segera memanggil anak sulungnya dan menyuruh Afura segera di bawa ke dokter. Melihat kondisinya yang sudah sangat parah.
Bidan keluar dalam ruang periksa. “Maaf Bu! Janin yang di perut anak ibu tidak bisa di selamatkan. Harus melakukan operasi untuk mengangkat janin.”
“Nggak mungkin Dok, cucu saya nggak mungkin meninggalkan. Coba Dokter periksa ulang.” Karena tidak percaya, akhirnya dokter menuruti permintaan pasien. Dan ternyata benar, bayi yang sudah di kandung Afura selama 7 bulan sudah tidak bisa di selamat.
Delisa menangis karena akan kehilangan cucunya. Dia memikirkan bagaimana perasaan Afura jika tahu bahwa anaknya telah tiada. Setelah suaminya amesia, sekarang dia harus kehilangan anaknya.
“Udah Bu jangan nangis. Ini semua demi kesehatan mentak Dek Afura." Anak sulungnya mencoba menghibur.
“Apa yang udah? Kamu lihat sekarang, adikmu kehilangan anak dan suaminya. Mana ada ibu yang membiarkan ini semua terjadi pada anaknya.”
“Ibu harus kuat. Biar adek juga kuat Bu. Mungkin, ini adalah cobaan Dek Afura buat dapat pahalanya Allah Bu.”
Setelah mendengar kata-kata dari putranya. Bu Delisa akhirnya mau di bujuk untuk duduk. Dan menyetujui untuk segera mengangkat janin di perut Afura.
Setelah di bius, perut Afura di bedah. Mengeluarkan janin yang masih berusia tujuh bulan. Sebenarnya, bukan faktor jatuh saja yang menyebabkan janin itu meninggal. Tapi, keadaan sang ibu yang stress dan memiliki tekanan batin yang kuat. Membuat bayi yang ada dalam kandungannya tidak bisa bertahan.
Operasi pengangkatan janin telah berhasil. Tinggal menunggu waktu Afura sadarkan diri. Ibu dan kakaknya menunggu di samping anaknya.
Lima jam kemudian, Afura terbangun dengan keadaan bingung. Apalagi, saat mengetahui bahwa perutnya sudah kempes.
“Bu! Mana bayi di dalam perut Afura?” Afura meraba-raba perut ratanya yang masih sakit.
“Maaf sayang, Bayi kamu sudah nggak ada.”
“Ibu jangan bohong, tadi dia masih bergerak-gerak loh bu dalam perut Afura. “
“Tadi, kamu kepeleset di kamar mandi. Terus bayi dalam kandungan kamu ternyata udah nggak bisa di selamatkan.”
Afura yang mendengar perkataan Ibunya itu langsung menangis histeris kemudian pingsan sampai berkali-kali.
Dunia rutuh di mata Delisa saat melihat keadaan putrinya. Putri yang sangat dia sayang dan hargai mengalami cobaan bertubi-tubi. Untung ada putra sulungnya yang mengungatkan.
Setelah 2 bulan meratapi kepergiaan anaknya. Afura bisa bangkit setelah menerima nasehat dari Ustadz.
“Apa kamu nggak mau kasih tahu keluarga Nak Abizar tentang anakmu?”
“Nggak usah Bu. Keluarga Umi Ima masih sedih setelah di tinggal putra pertamanya. Dan kemudian, putra keduanya mengalami lupa ingatan.”
Delisa benar-benar ingin marah pada putrinya. Karena dalam keadaanya yang seperti ini, dia masih memikirkan orang lain. “Kenapa kamu masih perdulikan mereka Afura. Sedangkan, yang paling menderita atas tragedy itu adalah kamu.”
“Ibu!”
Afura menyeka air matanya yang menetes. Membayangkan masa-masa berat saat kehilangan anak pertamanya. Rasa sakit itu masih terasa jelas dan dia menanggung semuanya sendiri. Sudah jam setengah dua belas malam tapi suaminya tidak kunjung pulang. Bahkan makanan di atas meja itu sudah dingin. “Jangan-jangan Mas Abizar nggak tidur di rumah. Kukira hubungan kita sudah membaik. Tapi nyatanya...” menahan kegetiran di dada. Tap! Lampu seketika mati yang membuat Afura terkejut. Buru-buru mencari ponselnya yang di letakkan di atas meja. Dengan gerakan absurd Afura menyalakan lampu. Menyoroti seisi ruangan dengan tangan mengigil. Dia paling tidak bisa di tinggal sendiri dalam ke gelapan. Membuat seluruh sarafnya menegang. Dengan panik Afura berlari ngos-ngosan keluar dari dalam rumah. Karena saking paniknya, dia tidak bisa melihat batu besar di depannya. Membuat kakinya tersandung dan jatuh menggelinding di rerumputan. “Hiks
Satu tahun lalu Gadis berkerudung itu keluar kamar. Matanya terbelalak melihat sang suami meletakkan kepalanya di atas meja. Membuatnya menghelai nafas panjang. Hafal dengan kelakuan suaminya satu ini. “Ngapain tidur di meja?”Pria itu mengangkat miring kepalanya. Membuat satu matanya memandang Afura. “Laper!”“Kalau lapar, ya makan dong!” Abizar memonyongkan bibir seperti ada satu permintaan tidak tersirat. “Yaudah, aku ngambilin.” Afura dengan cekatan mengambil piring di rak dapur. Menuangkan nasi dan lauk pauk di atasnya. “Ini di makan.” “Suapin.” “Suamiku manjang banget,” omel Afura tapi tetap menyuapi suaminya. Melihat tingkah pria itu membuatnya gemas. Saat Istrinya menyuapi sesendok nasi dan lauk. Pria itu mengeluarkan ponsel. Membuka WA ataupun Ig. Lalu Afura mengambil ponselnya. Mengatakan bahwa tidak bagus makan sambil main ponsel. “Iya, Habibii.” Kata sayang dalam bahasa Arab. “G
Selesai Salat Subuh, Abah mengiring putranya duduk di depan teras masjid. Melihat para santri satu persatu keluar dari masjid dengan berlari. Di pagi hari, ada kewajiban bagi santri untuk belajar di luar Asrama. Jadi seluruh santri cepat-cepat berlari agar tidak telat belajar. Jika telat, ada bagian pengajaran yang menghukum mereka. “Man Jadda, wa Jadda!” teriak salah satu santri menggema di tengah-tengah lapangan. “Fakkir Kobla…” timpal santri lain membuat suasana pondok ramai dengan hafal-hafalan. Abah menatap putranya. “Bagaimana Le, hubunganmu dengan istrimu.” “Baik-baik saja Bah!” “Bohong! Matamu jelas mengatakan hal lain.” “Wajar Bah, kalau hubunganku dengannya itu nggak baik-baik saja. Aku juga nggak kenal dia Bah.” “Dia istrimu Le, coba kamu belajar untuk menerima semuanya.” “Semua ini seperti mimpi Bah. Tiba-tiba aku punya istri yang sama sekali nggak aku ke
Hari ini adalah hari pertama Afura kembali mengajar di pondok sebagai Ustadzah pembimbing. Para santri menyambutnya dengan penuh antusias. “Alhamdulilah… Ustadzah Afura kembali ngajar.” “Maaf, kemarin Ustadzah lagi sibu.” “Hmm… hmm… sibuk berduaan sama Ustadz Abizar,” bisik Hanina, Ustadzah yang sudah mengabdi 2 tahun.Afura hanya membalas dengan tatapan melotot kemudian menyuruh Santriwati berkerudung putih senada masuk ke dalam ruang komputer. Menyuruh mereka memakai earphone yang sudah tersambung dengan kom
[Beberapa Tahun Lalu]Mobil taksi berwarna biru itu berhenti di depan perkarangan rumah Belanda. Dengan tergesa-gesa seorang pria keluar dari dalam taksi sambil menyeret koper dan mengenggam erat selembar kertas. Senyum mengembang di bibirnya saat menarik koper menuju rumah belanda itu. “Assalamualaikum!” teriak Pria bertubuh bongsor. Rambut di potong rapi. Dengan kemeja kotak-kotak.Dua jam berdiri di depan rumah pujaan hati. Tapi sayang, pemilik rumah tidak kunjung menyahut panggilannya. Membuat hatinya risau. Tiba-tiba terdengar suara motor matic memasuki perkarangan. Membuatnya langsung menoleh kebelakang. “Alhamdulilah aku bisa ketemu kamu.” Salman buru
“Ma..maaf Mas! Aku ngambilin serbet ya?” Afura bergegas pergi ke daput dengan tergopo-gopo. Sampai-sampai menyandung meja dapur dan kursi. “Ini Mas!” Menyerahkan kain pada suaminya.“Kamu masih nyuruh saya bersihin?”“Maaf.” Afura langsung jongkok dan membersihkan kaligrafi Abizar yang tersiram kopi.“Saya udah bilang nggak butuh kopi. Tapi lihat, kamu tetap buat kopi sampai kaligrafi saya kotor!” jelas Abizar panjang lebar saking marahnya. “Kamu itu emang keras kepala. Seperti bekal yang biasa kamu bikin. Saya udah bilang nggak mau tapi tetap kamu bawain. Dan saya kemarin sengaja buang bekal itu di depanmu agar kamu sedikit sadar bahwa perjuanganmu sia-sia. Saya tetap tidak akan pernah mengingatmu.”Mendengar ucapan Abizar yang menusuk dadanya. Afura langsung beranjak pergi ke kamar. “Hiks…hiks…”&
“Keluar kamu Afura! Jangan rusak acara ini.” “Diam kau mas, aku tidak berurusan denganmu.” “Apa?” teriak rahang Abizar mengeras menahan amarah. “Kamu berani dengan suamimu Afura?” Afura tidak menghiraukan perkataan Abizar. Malahan menggeser lengan Abizar agar tidak menghalangi jalannya. “Kamu kemarin nanyak gimana perasaanku terhadapmu?” tanya Afura pada Salman yang langsung merespon dengan berdiri. “Aku masih mencintaimu, batalkan pernikahanmu.” “Lalu, Mas Abizar?”&nb
“Diam! Kepala pusing mendengar ocehanmu.” “Mas, awas!” Afura mendorong kuat lengan Abizar membuat pria itu terpental. Bruk! Satu batang bambu yang di gunakan untuk menyanggah bangun jatuh tepat di atas kaki Afura. Untung saja, gadis itu segera mendorong Abizar. Sehingga pria itu terhindar dari bahaya. Sayangnya, kaki Afura yang menjadi penggantinya. “Aw..aw...” Afura mengigit ujung bibirnya sambil menahan rasa sakit di kakinya. Melihat Hal itu, membuat Abizar panik. Dia segera mengangkat bambu menjauh dari atas kaki Afura. “Kamu bodoh, ngapain pakai ngorbanin diri.” “Yang penting, Mas Abizar nggak kenapa-kenapa.” “Dasar bodoh, aku baru melihat gadis sebodoh dia,” batin Abizar. “Bentar, aku panggilan santri untuk membawamu ke rumah.” “Jangan Mas, takutnya masalah ini tambah heboh. Kemarin aja ada tukang yang jatuh wali santri heboh. Mereka berniat mencabut anak mereka dari pondok. Apalagi para donator, yang mengatak