Satu tahun lalu
Gadis berkerudung itu keluar kamar. Matanya terbelalak melihat sang suami meletakkan kepalanya di atas meja. Membuatnya menghelai nafas panjang. Hafal dengan kelakuan suaminya satu ini. “Ngapain tidur di meja?”
Pria itu mengangkat miring kepalanya. Membuat satu matanya memandang Afura. “Laper!”
“Kalau lapar, ya makan dong!” Abizar memonyongkan bibir seperti ada satu permintaan tidak tersirat. “Yaudah, aku ngambilin.” Afura dengan cekatan mengambil piring di rak dapur. Menuangkan nasi dan lauk pauk di atasnya. “Ini di makan.”
“Suapin.”
“Suamiku manjang banget,” omel Afura tapi tetap menyuapi suaminya. Melihat tingkah pria itu membuatnya gemas.
Saat Istrinya menyuapi sesendok nasi dan lauk. Pria itu mengeluarkan ponsel. Membuka WA ataupun I*. Lalu Afura mengambil ponselnya. Mengatakan bahwa tidak bagus makan sambil main ponsel.
“Iya, Habibii.” Kata sayang dalam bahasa Arab.
“Gombal.”
“Nggak gombal. Kan, emang benar kamu kekasih yang di pilih Allah untukku di dunia dan akhirat.”
Wajah Afura kembali bersemu merah. Walaupun usia pernikahan mereka sudah dua tahun. Tapi rasanya masih penganti baru. Suami Afura sering sekali mengeluarkan kata-kata gombal untuk menggodanya. Membuat pernikahan mereka tetap harmonis.
Hingga suapan terakhir, Afura kemudian beranjak ke tempat pencuci piring. Walaupun Abizar melarang untuk mencuci piringnya. Tapi Afura tetap suka rela menyuci piring milik suaminya.
Afuramenyalakan kran air. Membasahi piring keramik. Mulai menyabuni setiap noda kotor di piring. Tiba-tiba sebuah tangan besar melingkar di perutnya. “Mas, aku lagi nyuci piring loh. Nanti tanganmu kenak sabun.”
“Nggak papa.Pingen nempel terus.”
“Kamu kan, habis ini mau jadi imam sholat Jum’at. Lebih baik mandi gih!”
“Nanti.”
“Nanti Abah marah loh.”
“Kan harus maklum pengantin baru.”
Perut Afura kembali bergetar. “Haha…kamu ada-ada aja.Orang udah nikah dua tahun masih di bilang pengantin baru.”
“Ngerasa baru kemarin, Mas ucapin ijab Kabul.”
“Iya sih Mas. Kok, kayaknya baru kemarin Mas Abizar sama Umi ke rumah buat ngelamar aku.” Masih terbayang wajah Abizar yang datang ke rumahnya. Wajahnya datar dan dingin. Dia bahkan ragu untuk menerima lamaran Abizar karena sosoknya yang menakutkan. Tapi ternyata, setelah menikah pria itu seperti bayi besar yang selalu nempel.
“Kan, berarti masih pengantin baru.” Abizar meletakkan kepalanya di atas bahu sang istri. “Mau ke mana wangi banget?”
Kedua telapak tangan basah Afura itu langsung di keringkan pada haAfura kecil yang menggantung di samping wastafel. “Mau ke pondok.”
“Temenin Mas bentar.”
“Ayo Mas. Kamu mau salat jum’at loh.” Afura melepas paksa tangan suaminya yang melingkar di perut. Kemudian menarik ke kamar mandi untuk mandi. “Jangan rewel Mas!”
“Aku mau mandi kalau...” Abizar mulai mengedipkan satu mata.
“Mas Abizar Nakal. Mending mandi dulu buat salat.”
“Tapi habis salat jum’at mau kan?”
“Insya’Allah.”
Afura mendorong pinggung Abizar masuk ke kamar mandi. “Pokoknya di pondok jangan lama-lama.”
“Iya, makanya cepatan mandi.”
Gadis itu berbalik badan. Mulai menyungging senyum. Merasa gemas dengan pola tingkah laku suaminya. Benar-benar manja dan nggak mau lepas.
***
Kembali kemasa sekarang…
“Umi!” Afura benar-benar memergoki Umi Ima sedang meletakkan buah-buahan dan bubur hangat.
“Afura.”
“Jadi yang mencoba perhatian sama aku itu Umi. Bukan Mas Abizar?”
“Umi ngelakuin Ini agar kalian tetap bersama!”
Afura menghelai nafas panjang dan kemudian menjatuhkan pantatnya di kursi. “Percuma Umi. Melakukan apa saja Mas Abizar nggak mungkin jatuh cinta padaku lagi.”
“Kamu omong apa? Ingat Afura Takdir Allah itu indah. Mungkin ini hanya ujian untuk mengukuhkan imanmu. Allah sedang menguji cinta kalian. Jangan sampai ada kata putus asa dari mulutmu. Umi akan memarahi Abizar jika mengabaikanmu, Afura.”
“Jangan Umi, Nanti Mas Abizar semakin membenci aku jika Umi memerahinya seperti kemarin.”
“Umi nggak habis pikir dengan kelakuan Abizar. Kok, bisa dia kemarin meninggalkan mu sampai seperti itu.”
“Itu kecerobohan Afura, Umi… jadi tolong jangan marahi Mas Abizar lagi.
“Baiklah, Umi akan mendoakanmu dari pondok. Kamu jangan lupa ke pondok. Sudah beberapa hari kamu jarang berkunjung ke pondok.”
“Insya’Allah Umi.”
***
Senyum Afura mengembang saat satu bento makan yang sudah di siapkan dari subuh sudah jadi. Seluruh dapur menjadi berantakan karena ulahnya. Dia tau suaminya masih nggak makan makanan yang di buat tangannya setelah kejadian beberapa hari lalu.
Jam setengah tujuh pagi. Abizar sudah keluar dari dalam kamar dengan pakaian yang sangat rapi. Seperti hari-hari biasanya. Senin sampai kamis jadwal mengajarnya di pondok putra. Sedangkan Jum’at terkadang mengisi tausiyah di Masjid pondok atau di desa lain.
“Mas!” Afura buru-buru memberikan tote bag berisi bento. Wajahnya terlihat kusam dengan bau asem menyengat di ketiak. “Ini di makan Mas! Karena Mas Abizar nggak makan di rumah kan.”
Abizar sampai menutup hidungnya dengan pandangan acuh tak acuh. “Ganggu!”
“Bau ya Mas, Maaf. Belum sempat mandi.”
“Jadi Istri itu bukan hanya masak. Tapi harus pinter merawat diri.”
“Jadi, Mas Abizar udah ngakuin aku jadi istrinya dong.”
“Belum. Udah, saya berangkat dulu.”
Saat Afura hendak mengambil tangan Abizar untuk di cium. Pria itu buru-buru menjauhkan tanganya dan kemudian menangkupkan kedua tangan. Seperti Afura adalah bukan muhrimnya..“Hati-hati Mas!” Walaupun sakit saat suaminya menangkupkan tangan tapi dia mencoba lapang. Karena tau bahwa lelaki itu belum mengingatnya.
Dia masih ingat, dulu pria itu selalu memberikan kecupan manis di dahi dan pipinya sebelum berangkat ke pondok. Tapi sekarang, menyentuh tangannya saja enggan.
Setiap hari kejadi itu terus berulang-ulang. Dia membuatkan suaminya bento. Mengantar ke depan rumah tanpa kecupan.
Hingga suatu hari, Afura baru pulang dari rumah Ibunya karena ibunya sakit dan kakaknya berada di luar kota. Membuatnya harus kembali sore hari, saat Adzan Magrib berkumandang. Dia berjalan menuju rumahya. Ternyata di depannya adalah Abizar yang baru pulang dari pondok. Hatinya benar-benar berbunga karena bisa melihat punggung Abizar. Walaupun hanya dari belakang.
Ingin rasanya di hampiri atau berjalan beriringan dengan pria itu. Tapi niatnya terurungkan karena tahu Abizar pasti menolaknya. Lebih baik tetap berada di belakangnya.
Tiba-tiba Afura melihat Abizar berhenti melangkah. Membuatnya buru-buru sembunyi di balik pohon takut pria itu melihatnya. Diam-diam setengah kepalanya keluar dari balik pohon untuk mengintip. Terlihat pria itu mengeluar sesuatu dari dalam tasnya. Ternyata kota makan yang biasa di siapkannya. Dia buang semua isi kota makan tanpa tersisa.
Sesak rasanya melihat Abizar membuat makanannya secara sembunyi. Jelas saja lelaki itu tidak pernah mengomplen apa-apa tentang masakannya. Ternyata Abizar tidak pernah memakan bekal yang di siapkannya.
Di dalam rumah Afura buru-buru masuk ke dalam kamar untuk mandi. Kemudian keluar untuk cuci piring. Ternyata benda kota itu ada di samping wastafel. Rasanya perih. Air matanya bercucuran. Mengingat Abizar membuang makanannya di tong sampah.
“Bilang Mas! Kalau kamu nggak mau makan makananku. Jangan di baung kayak gitu,” ujarnya dalam hati sambil menangis.
Selesai Salat Subuh, Abah mengiring putranya duduk di depan teras masjid. Melihat para santri satu persatu keluar dari masjid dengan berlari. Di pagi hari, ada kewajiban bagi santri untuk belajar di luar Asrama. Jadi seluruh santri cepat-cepat berlari agar tidak telat belajar. Jika telat, ada bagian pengajaran yang menghukum mereka. “Man Jadda, wa Jadda!” teriak salah satu santri menggema di tengah-tengah lapangan. “Fakkir Kobla…” timpal santri lain membuat suasana pondok ramai dengan hafal-hafalan. Abah menatap putranya. “Bagaimana Le, hubunganmu dengan istrimu.” “Baik-baik saja Bah!” “Bohong! Matamu jelas mengatakan hal lain.” “Wajar Bah, kalau hubunganku dengannya itu nggak baik-baik saja. Aku juga nggak kenal dia Bah.” “Dia istrimu Le, coba kamu belajar untuk menerima semuanya.” “Semua ini seperti mimpi Bah. Tiba-tiba aku punya istri yang sama sekali nggak aku ke
Hari ini adalah hari pertama Afura kembali mengajar di pondok sebagai Ustadzah pembimbing. Para santri menyambutnya dengan penuh antusias. “Alhamdulilah… Ustadzah Afura kembali ngajar.” “Maaf, kemarin Ustadzah lagi sibu.” “Hmm… hmm… sibuk berduaan sama Ustadz Abizar,” bisik Hanina, Ustadzah yang sudah mengabdi 2 tahun.Afura hanya membalas dengan tatapan melotot kemudian menyuruh Santriwati berkerudung putih senada masuk ke dalam ruang komputer. Menyuruh mereka memakai earphone yang sudah tersambung dengan kom
[Beberapa Tahun Lalu]Mobil taksi berwarna biru itu berhenti di depan perkarangan rumah Belanda. Dengan tergesa-gesa seorang pria keluar dari dalam taksi sambil menyeret koper dan mengenggam erat selembar kertas. Senyum mengembang di bibirnya saat menarik koper menuju rumah belanda itu. “Assalamualaikum!” teriak Pria bertubuh bongsor. Rambut di potong rapi. Dengan kemeja kotak-kotak.Dua jam berdiri di depan rumah pujaan hati. Tapi sayang, pemilik rumah tidak kunjung menyahut panggilannya. Membuat hatinya risau. Tiba-tiba terdengar suara motor matic memasuki perkarangan. Membuatnya langsung menoleh kebelakang. “Alhamdulilah aku bisa ketemu kamu.” Salman buru
“Ma..maaf Mas! Aku ngambilin serbet ya?” Afura bergegas pergi ke daput dengan tergopo-gopo. Sampai-sampai menyandung meja dapur dan kursi. “Ini Mas!” Menyerahkan kain pada suaminya.“Kamu masih nyuruh saya bersihin?”“Maaf.” Afura langsung jongkok dan membersihkan kaligrafi Abizar yang tersiram kopi.“Saya udah bilang nggak butuh kopi. Tapi lihat, kamu tetap buat kopi sampai kaligrafi saya kotor!” jelas Abizar panjang lebar saking marahnya. “Kamu itu emang keras kepala. Seperti bekal yang biasa kamu bikin. Saya udah bilang nggak mau tapi tetap kamu bawain. Dan saya kemarin sengaja buang bekal itu di depanmu agar kamu sedikit sadar bahwa perjuanganmu sia-sia. Saya tetap tidak akan pernah mengingatmu.”Mendengar ucapan Abizar yang menusuk dadanya. Afura langsung beranjak pergi ke kamar. “Hiks…hiks…”&
“Keluar kamu Afura! Jangan rusak acara ini.” “Diam kau mas, aku tidak berurusan denganmu.” “Apa?” teriak rahang Abizar mengeras menahan amarah. “Kamu berani dengan suamimu Afura?” Afura tidak menghiraukan perkataan Abizar. Malahan menggeser lengan Abizar agar tidak menghalangi jalannya. “Kamu kemarin nanyak gimana perasaanku terhadapmu?” tanya Afura pada Salman yang langsung merespon dengan berdiri. “Aku masih mencintaimu, batalkan pernikahanmu.” “Lalu, Mas Abizar?”&nb
“Diam! Kepala pusing mendengar ocehanmu.” “Mas, awas!” Afura mendorong kuat lengan Abizar membuat pria itu terpental. Bruk! Satu batang bambu yang di gunakan untuk menyanggah bangun jatuh tepat di atas kaki Afura. Untung saja, gadis itu segera mendorong Abizar. Sehingga pria itu terhindar dari bahaya. Sayangnya, kaki Afura yang menjadi penggantinya. “Aw..aw...” Afura mengigit ujung bibirnya sambil menahan rasa sakit di kakinya. Melihat Hal itu, membuat Abizar panik. Dia segera mengangkat bambu menjauh dari atas kaki Afura. “Kamu bodoh, ngapain pakai ngorbanin diri.” “Yang penting, Mas Abizar nggak kenapa-kenapa.” “Dasar bodoh, aku baru melihat gadis sebodoh dia,” batin Abizar. “Bentar, aku panggilan santri untuk membawamu ke rumah.” “Jangan Mas, takutnya masalah ini tambah heboh. Kemarin aja ada tukang yang jatuh wali santri heboh. Mereka berniat mencabut anak mereka dari pondok. Apalagi para donator, yang mengatak
3 tahun lalu…. Wanita berkerudung panjang dengan kerutan di dahi itu merasa pusing memikirkan anaknya yang tidak mau kuliah. Entah, setan apa yang menghasutnya. Jangan-jangan ini semua atas hasutan teman-teman nongrkongnya yang ada di dekat pasar itu. “Assalamualaikum!” suara parau Salman yang baru pulang. “Dari mana saja kamu?” “Dari berdakwah Umi.” “Berdakwah apa? Orang kerjaanmu duduk di dekat pasar sana!” “Umi, aku hanya ingin dekat ke warga agar tahu permasalahan mereka yang sebenarnya. Juga sebagian dari mereka adalah temanku sd.”” “Omong kosong! Lebih baik kamu lanjutkan kuliahmu sana!” “Umi, aku ingin fokus berdakwah. Lihat! Aku sampai bikin chanel youtube bareng masyarakat. Kami bahkan mencoba untuk berdakwah di tempat balapan liar.” “Astaga! Kamua sampai masuk ke tempat kotor itu. Mending kamu fokus kejar masa depanmu. Janga
Umi Ima mengoyang-goyangkan tubuh putranya. “Sadar Salman! Umi memang merasa bersalah selama ini tanpa sadar membuatmu terluka. Tapi, apa mungkin kamu menikah dengan istri kakakmu sendiri?” “Salman tahu, Kak Abizar belum bisa mengingat dan bahkan mencintai istrinya.” “Semuanya butuh proses Salman, tidak mungkin kita dapat uang tanpa bekerja.” “Tapi, Salman nggak mau lihat Afura terluka dan pingsan seperti kemarin. Salman nggak mau dia menderita Umi.” “Jaga ucapanmu, menikah bukanlah hal yang mudah. Dan sebuah rumah tangga pasti ada naik tu