Hujan gerimis membuat Kara jadi berlari kecil menuju lobby Apartemen sambil memeluk tasnya agar tak basah. Namun sebelum ia masuk ke dalam lift ia terhenti karena ada seseorang yang memanggilnya dari arah lobby.
“Bu Dean!” Bu Bambang melambaikan tangannya.
Kara pun jadi mundur selankah dari depan lift dan menunggu sampai Bu Bambang dan dua Ibu-ibu lainnya datang menghampirinya.
“Dari mana Bu Dean?” sapa Bu Haikal yang membawa plastik besar yang berisi banyak roti.
“Dari rumah temen, Ibu-ibu mau kemana?”
“Ini, kami mau ke rumahnya Jojo.” sahut Bu Rudi.
“Ke rumah Jojo?”
“Iya, sejak kejadian waktu itu kami gak sempat-sempat ke rumahnya Jojo buat minta maaf ke Bu Lucy.” ungkap Bu Haikal.
“Bukannya gak sempat, tapi Bu Rudi sama Bu Haikal masih gengsi kan?” seloroh Bu Bambang.
“Bukan gitu Bu, kan kita sibuk waktu itu, segala ngurus Bakti
Romlah : Kamu temui dulu Stela, jangan membantah perintah Mami.Jamal : Apa Mami serius? Mi aku ini udah menikah, bagaimana bisa Mami nyuruh aku ketemu wanita lain!Romlah : Apa salahnya? Kan hanya ketemu aja, siapa tau aja kalian bisa jadi teman baik.Jamal : Gimana kalau Jamila denger Mi? dia pasti akan sakit hati.Romlah : Jamila biar Mami yang urus, dia gak akan tau, lagian siapa suruh sampai sekarang belum juga hamil!Jamal : Mami benar-benar keterlaluan!“Hm… waktunya tepat gak ya buat munculin orang ketiga?” Kara mengoceh sendiri di depan komputernya, lebih tepatnya komputer Dean.“Apanya yang orang ketiga?” Dean yang sedang mengutak-atik laci rak bukunya jadi teralihkan sejenak.“Oh enggak, ini naskah gue.” sahut Kara lalu membetulkan letak kacamatanya dan kembali fokus ke layar komputernya.“Oh iy
Pelanggan terakhir Aprodite Café mulai bangun dari kursinya lalu keluar lewat pintu keluar yang ada di samping. Andrea pun segera bergegas menuju pintu depan untuk membalik papan tanda buka menjadi tutup agar tak ada pelanggan lain yang masuk.Dari mesin kasir, Rumi melirik ke arah Andrea yang tampak bekerja seperti biasa. Selama ini memang hanya ia sendiri yang bersikap berbeda, ia lebih sering menghindari tatapan mata dengan Andrea dan lebih banyak menyibukkan diri dengan melayani pelanggan.“Mbak Rumi, lampu neon box di depan mati.” teriak Andrea dari arah pintu.“Em… Iya Ndre, besok aja gantinya, gue beli lampunya dulu.” sahut Rumi.“Sekarang aja, toko listriknya masih buka.” balas Andrea lalu pergi begitu saja, padahal Rumi berniat ingin memberinya uang lebih dulu.Rumi pun menghela napas berat, sepertinya sikap Andrea menjadi lebih dingin padanya. biar bagaimanapun sudah seminggu lamanya ia me
Dean masuk ke dalam ruangan Dokter Helen setelah seorang perawat memanggil namanya. Setelah itu ia duduk di depan meja Dokter Helen yang sudah menyambutnya dengan senyuman hangatnya.“Siang Dok.” sapa Dean.“Siang Pak Dean, hm... kenapa baru ke sini sekarang? sesi kita harusnya 2 minggu yang lalu.” ucap Dokter Helen sambil memicingkan matanya.Dean tersenyum simpul, “Maaf Dokter, saya gak sempat, banyak kerjaan di kantor.”“Tapi sepertinya Pak Dean baik-baik saja, apa sudah gak ada keluhan sakit kepala lagi?”“Iya, saya rasa kondisi saya saat ini jauh lebih baik.”“Masih minum obat?”“Masih, tapi obat penghilang rasa sakitnya udah gak pernah saya minum dua minggu terakhir ini.” ungkap Dean.Dokter Helen pun mengangguk pelan, ia kemudian membuka map yang berisi rekam medis Dean dan mulai mencatat perkembangan terbaru Dean.“Gimana ka
Kara mengetuk pelan pintu ruang Dokter Helen begitu tiba gilirannya masuk. Seorang perawat pun langsung menyambutnya dan menyuruhnya masuk. setelah itu ia menurut saat Perawat itu menyuruhnya duduk sejenak karena Dokter Helen sedang keluar sebentar.Bisa ia lihat map rekam medis Dean sudah tergeletak di atas meja, map itu pun terlihat tebal, menandakan jika sudah banyak sesi yang Dean lewati bersama Dokter ini.“Bu Kara ya?” sapa seseorang yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan.Kara pun langsung berdiri untuk menyambut seserorang yang ia yakin adalah Dokter Helen.“Iya Dok.” sahut Kara sopan.“Silakan duduk.” ucap Dokter Helen lalu duduk juga di kursinya.“Pak Dean gak ikut?” tanya Dokter Helen.“Enggak Dok, dia masih ada kerjaan, gak apa-apa kan?” tanya Kara balik.“Gak apa-apa, saya memang mau ngobrol sama Bu Kara aja kok.” sahutnya sambil tersenyum hingg
Jamila : Bagaimana kalau kedua orang tuamu tidak setuju dengan hubungan kita? (Sambil mengeratkan genggaman tangannya sendiri dibawah meja makan) Jamal : (mengerutkan keningnya sambil menatap langit-langit restoran) Jangan kau pedulikan orang tuaku, mereka pasti akan menyukaimu. Jamila : Tapi Jamal, aku tidak mau jika setelah kita menikah harus tinggal bersama kedua orang tuamu! Jamal : Ibuku akan menyukaimu. Jamila : TIDAK JAMAL! (Berdiri dari duduknya sambil memelototi Jamal. Jamal : Kenapa kamu begitu takut dengan orang tuaku? Jamila : Cukup, sekarang jawab pertanyaanku, kamu pilih IBUMU atau AKU!? (teriak sambil menatap Jamal dengan nanar). BRAK!!! Kara menggebrak mejanya dengan keras hingga gelas kopinya bergeser satu centi. Setelah itu ia bangun dari duduknya dan berjalan mondar-mandir di depan komputernya sambil bertepuk tangan heboh. Namun
Kara mencoba mengatur napasnya, hatinya gondok bukan main. Salah satu kakinya tak bisa diam dan terus bergoyang karena menahan amarah saat wanita yang menyebabkan semua ini masih saja meneriakinya dengan berbagai umpatan.“Bu, sabar, tenang dulu, kita bicara baik-baik dulu.” Seorang petugas polisi mencoba menenangkan kembali wanita itu. Ya, setelah menyiram Kara dengan air kopi dan menamparnya, tanpa babibu lagi, wanita itu langsung menyeret Kara ke pos polisi terdekat tanpa membiarkan Kara bicara atau membela diri.“Bu, kalau Ibu gak tenang, gimana masalahnya selesai, kita dengar dulu penjelasan Mbak ini.” bujuk polisi itu lagi.“Penjelasan? Apa yang keluar dari mulutnya pasti kebohongan, ngapain sih memperpanjang masalah, udah jelas dia penipu, perebut suami orang, masukin aja ke penjara, apa susahnya sih! Nyesel saya bawa dia ke sini, aturan saya bawa aja langsung ke polsek!” cerocosnya tak terima.“Ya sa
Kara menarik Rumi ke dalam dapur begitu mereka sampai di Café milik Rumi. Ia langsung memojokkan Rumi di balik kulkas agar Sang Pengacara yang kini sedang duduk di area Café tak mendengar percakapan mereka.“Heh, sebenarnya ada apaan sih? Jelasin ke gue!” pekik Kara pelan.Rumi menatap penampilan Kara yang kacau akibat ulahnya lalu mulai menangis.“Dih malah nangis lagi, jawab gue!” sengit Kara gemas.“Sorry, harusnya gue langsung keluar belain lo, tapi Mas Fatur ngelarang dan malah nyuruh ngumpet.” jawab Rumi yang selalu takut pada Kara yang sedang marah, baginya Kara seperti penyihir yang bisa menelannya bulat-bulat.“Terus kenapa lo malah keluar! Udah bener-bener ngumpet!”“Tadi Gue sebenarnya udah mau pergi, tapi tuh orang keburu muncul, alhasil gue terpaksa ngaku.”Sebenarnya Rumi dan Fatur mendengar keributan Kara dan Wilson, dan mereka pun
Romlah : Apa bagusnya wanita itu Jamal? Begitu banyak wanita lain di dunia ini dan kamu memilih gadis kampung itu? (Berdiri sambil memegang kening) Jamal : Mami, Jamila adalah wanita yang baik, dia pasti akan menjadi menantu yang bisa mengangkat derajat keluarga kita. (Menatap Romlah dengan tatapan lirih dan sendu) Romlah : Persetan dengan derajat! Derajat dia saja jauh dibawah kita! Jamal : Mami Please, tolong sekali ini percaya pada Jamal, Jamal begitu mencintai Jamila. (merangkul lengan Romlah) Romlah : Kamu tau apa tentang cinta, Mami akan jodohkan kamu dengan keluarga terpandang di Depok, bukan dengan Jamila yang gak jelas asalnya! (Menepis tangan Jamal) Jamal : (Mulai menangis) Suara keripik kentang yang dikunyah Rumi terdengar jelas dari ruang tengah karena suasana rumah Kara sangat sunyi saat ini. Sementara matanya tak lepas dari layar TV yang tengah mem